Kemarin, ada dua kegiatan yang kembali menggugah memori saya tentang fenomena politik identitas. Pertama, berkaitan dengan isi sambutan Pak Kapolri Listyo Sigit Prabowo saat diberi kesempatan oleh panitia untuk menyampaikan pidato pada acara peresmian gedung Pemuda Pancasila di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu tanggal 1/10/2022.
Mengutip tayangan Kompas.com 02/10/2022, dalam acara tersebut secara tersirat Kapolri menyinggung soal bahaya politik identitas.
Kata Pak Kapolri “Jadi ini kesempatan saya juga untuk mengingatkan, mohon maaf ada Pak Anies, ada rekan-rekan yang lain. Sebentar lagi kita masuk di dalam tahun politik. Tahun 2019, kita sudah merasakan bagaimana waktu itu kita asik terlarut dengan kondisi pemenangan terhadap calon masing-masing”.
Atas sambutan Kapolri tersebut, yang menarik bagi saya adalah tentang permohonan maaf Kapolri yang secara khusus, entah karena disengaja atau hanya kebetulan saja, menyebut nama Anies Baswedan sebelum meneruskan masukannya soal politik identitas.
Seakan-akan, dalam persepsi saya, Pak Kapolri memberi penekanan tersendiri pada Gubernur DKI yang akan lengser pada tanggal 16 Oktober 2022 ini.
Memori saya lalu teringat pada pelaksanaan pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam. Sudah maklum, pasca pilkada sebagian orang memberi julukan Bapak Politik Identitas kepada Pak Anies. Ini tak lain karena ulah beberapa pendukung beliau. Yang menjadikan agama (islam) sebagai “senjata” menjaring vox pop warga DKI.
Anda masih ingat ketika itu.? Kalau saya masih. Yang membekas dipikiran saya adalah ketika ada seorang warga muslim meninggal dunia. Setelah dikafani dan hendak disholatkan dalam sebuah masjid, ditolak oleh warga sekitar.
Penyebabnya, karena dianggap bukan pendukung Pak Anies. Mengenaskan bukan..? Hanya gara-gara beda pilihan yang tak lebih dari lima menit dibilik suara, urusan syariat jadi korban. Padahal, mensholatkan janazah hukumnya fardlu kifayah.
Itu yang pertama. Kegiatan kedua yang kembali menggugah memori saya adalah pernyataan Pak Anies Baswedan di hadapan ratusan anak muda para peserta Indonesia Millenial And Gen Z Summit di Jakarta selatan pada 30/09/2022. Disini, lagi-lagi soal politik identitas. Selaras dengan persoalan yang terjadi pada warga DKI sebelum dan pasca pilkada tahun 2017.
Meringkas laporan Tempo.co 1 Oktober 2022, pada kesempatan tersebut Pak Anies memberi gambaran. Bahwa dalam kenyataan, ketika kampanye ada unsur emosi dan programatik.
Soal politik identitas terdapat unsur emosi. Jika calon yang bertarung adalah laki perempuan, maka isu gender yang muncul. Jika orang Jawa atau Sunda, maka isu etnis yang ditampilkan. Dan jika beda agama, maka isu agama yang keluar.
Selanjutnya, masih kata Anies diacara itu, ada sandingan aspek program. Jadi perlu ada dorongan agar makin hari kita perlu melihat satu rekam jejak dari siapapun yang berada di lapangan pertandingan pemilu. Sebab dimasa kampanye, masing-masing pihak akan menonjolkan kekuatan serta memberi cap, label dan membangun opini negatif terhadap lawan.
Kalau tidak salah persepsi, Pak Anies hendak memberi pemahaman. Bahwa yang namanya politik identitas merupakan unsur dari emosi manusia. Dalam hal ini tentu emosi para pemilih.
Jika benar demikian, maka munculnya politik identitas adalah sesuatu yang tak terelakkan. Akan selalu ada pada tiap kontestasi pemilu seiring dengan jati diri yang melekat pada calon. Apakah dari segi jenis kelamin, asal daerah dan agama yang dianut.
Perlu dimaklumi, emosi adalah pemberian Tuhan yang bersifat sunnatullah. Artinya, pasti ada dalam diri tiap manusia. Jika benar merupakan unsur dari emosi sebagaimana kata Pak Anies tadi, maka munculnya politik identitas juga merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Para pemilih dipastikan mengalami hal ini. Maka solusinya adalah, bagaimana mengelola politik identitas agar tidak merusak.
Masalahnya sekarang, yang terjadi dilapangan menunjukkan fakta berbeda. Politik identitas seringkali memicu terjadinya destruksi sosial politik. Mengancam ketentraman, terjadi adu domba, redupnya pluralisme, ada polarisasi ditengah masyarakat, muncul perselisihan, merusak tatanan persaudaraan, menggerus toleransi dan mengikis rasa kebangsaan.
Jika hal ini dibiarkan terus membesar tak diatasi, menyebabkan chaosnya sebuah negara. Tentu kita tak mau hal ini terjadi dinegara kita Indonesia.
Sebenarnya, memakai politik identitas sebagai alat menggaet suara menunjukkan ketidak mampuan calon atau tim dalam menyusun strategi. Juga tak punya ide untuk menumbuhkan kreasi dan program baru untuk diadu dengan lawan. Maka agar secepatnya bisa bergerak tanpa perlu berpikir keras, ya pilih saja yang instan. Yakni politik identitas tadi. Dan ternyata, dalam beberapa situasi ampuh juga memenangkan pertarungan.
Tapi ketika sudah menang, mengaca pada strategi yang pernah dipakai dalam pencalonan, saat menjalankan amanat sebagai pejabat, kebiasaan mencari yang instan-instan itu kadang terbawa juga. Minim kreatifitas dan tak punya program baru. Jadinya, yang ada hanya tiru-tiru, rubah nama sesuatu yang sudah jadi dan tak mau pakai istilah serupa.
Padahal, apa yang dilakukan hakikatnya tak beda jauh. Atau bahkan sama persis dengan apa yang dirintis pendahulunya. Cuma istilahnya saja yang beda.
Jika demikian yang terjadi, maka politik identitas yang merupakan unsur dari emosi itu ternyata tak baik untuk dijadikan salah satu instrument menggaet vox pop. Karena disamping dapat menganggu hingga merusak eksistensi sebuah negara, pada situasi lain dapat menjadikan seorang politisi minim ide serta rendah inovasi.
Ironisnya, meskipun tak semua, kebanyakan politisi ya punya sikap demikian. Bahkan ada diantaranya yang menjadikan hal instan macam itu sebagai pola hidup. Maunya praktis dan serba cepat. Praktik jual beli suara saat bertarung di pemilu dan melakukan korupsi ketika sudah menjabat adalah salah satu contoh. Disamping politik identitas tadi.
Karena itu, kita selaku pemilik elektoral mesti jeli saat hendak menentukan keputusan. Baik kepada calon anggota legislatif terlebih capres-cawapres. Harus kita amati betul siapa yang bersangkutan.
Seperti apa riwayat perjalanan politik yang sudah dijalani. Juga inovasi program yang pernah dilakukan hingga mampu mengatasi masalah serta memajukan wilayah. Kalau tak ada, bisanya cuma menonjolkan sisi-sisi agama dan piawai tiru-tiru atau rubah nama, ya abaikan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H