Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Nasdem PKS Demokrat yang Tak Kunjung Jadi

30 September 2022   07:59 Diperbarui: 30 September 2022   08:23 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asik juga mengikuti perkembangan soal koalisi parpol menjelang pilpres 2024. Bagai prediksi cuaca oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Sering akurat, tapi kadang meleset. Koalisi politik demikian pula. Suatu ketika sudah dianggap pakem. Namun pada saat yang lain, belok kiri kanan berubah arah. Ya begitulah. Namanya juga memperjuangkan kepentingan.

Saat ini, yang relatif tidak ada gonjang ganjing adalah Koalisi Indonesia Raya atau KIR. Perkawanan yang dibentuk oleh Gerindra PKB ini kelihatan punya soliditas kuat. Mungkin karena tak terlalu ribet bicara soal paket. Karena cuma ada dua partai. Jadi tak sulit menentukan sikap.

Untuk PDIP harus dikecualikan. Sebab partai yang katanya membela wong cilik ini, bisa berangkat sendiri. Mau ngajak partai mana terserah. Kita tinggal lihat, siapa nanti yang akan di usung sebagai paket. Keyakinan banyak orang, PDIP pilih kader sendiri. Sangat kuat Puan Maharani. Kecuali pada detik-detik akhir, Megawati punya pikiran realistis tentang vox pop masyarakat.

Naah, ini yang sekarang lagi terindikasi mau cair lagi adalah Koalisi Indonesia Hebat atau KIB hasil racikan PPP Golkar PAN. Cairnya dalam situasi hendak nambah anggota baru, atau salah satu diantaranya mau hengkang gabung pada kelompok lain..? Jika melihat statemen Waketum PAN Viva Yoga Mauladi beberapa waktu lalu, nampaknya akan nambah PKS.

Tapi kalau tengok pertemuan Prabowo dengan Ketum Golkar di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian dan rencana Puan Maharani jumpa Airlangga Hartarto, nampaknya harus ada satu pertanyaan. Apakah Golkar mau nyebrang ke KIR...? Ingat, Gerindra PKB kelihatan tak mudah dipecah. Jadi agak sulit menarik KIR ke KIB atau pada salah satu anggotanya. Kecuali Cak Imin mau ngalah. Yang agak realistis, Golkar gabung bersama Gerindra PKB.

Demikian pula soal rencana Airlangga Hartarto mau jumpa Puan Maharani pekan depan. Sama dengan yang tadi, apakah Golkar hendak satu gerbong dengan PDIP..? Kalau benar, relatif lebih gampang bagi partai warna kuning ini. Sama dengan KIR, paket capres cawapres mudah di tentukan. Karena cuma ada dua parpol. Tinggal tunggu, siapa nama yang akan dimunculkan.

Kalau prediksi diatas terjadi, maka KIB bisa kocar-kacir. Para anggotanya tentu akan mencari labuhan baru. Atau melakukan penggantian partai yang keluar. Kalau tidak, bakal ketinggalan kereta. Tak bisa ikut bersaing mengusung paket capres cawapres. Dan kondisi ini pastilah sangat merugikan dari segi elektoral. Suaranya tak bakalan terdongkrak karena faktor efek ekor jas.

Yang lebih tak pasti lagi adalah rencana koalisi Demokrat PKS Nasdem yang hingga kini belum ada tanda-tanda mau diresmikan. Bukan hanya nampak sedang mencair, bahkan calon anggotanya terindikasi hendak belok kanan kiri. PKS, sebagaimana kata Viva Yoga, ada rencana bergabung ke KIB. Kalau betul, bisa jadi pengganti Golkar jika partai ini benar-benar keluar. Meskipun jumlah gabungan suaranya mepet, yaitu 19.57 persen.

Lalu Nasdem. Sejak Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Pak SBY mengeluarkan statemen bahwa ada tanda-tanda pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil, Nasdem kelihatan mulai jaga jarak. Yang awalnya terbuka soal koalisi, ditandai ketemunya SBY dan AHY dengan Surya Paloh, kini nampak sedikit tertutup.

Disarikan dari tayangan Kompas.com 28 September 2022, salah seorang Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya serta Sahroni Bendahara Umum partai ini menyebut, Nasdem akan mengumumkan soal koalisi pada bulan November. Padahal sebelumnya, dilingkungan Nasdem sempat mencuat nama paket Anies-AHY. Yang artinya, Nasdem tak keberatan berkoalisi dengan Demokrat PKS.

Apa yang sebenarnya terjadi..? Mengapa rencana koalisi selain KIR dan Poros PDIP tak menemukan ritme yang rigid..? Jika menyimak pernyataan Willy Aditya dan Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, penyebabnya ada di paket yang hendak dimajukan sebagai capres cawapres. Pada soal inilah sebenarnya yang membuat rencana koalisi PKS Demokrat Nasdem jadi alot.

Bagi PKS, Nasdem dan Demokrat, soal capresnya mungkin tak masalah. Hanya cawapresnya yang “bermasalah”. Bisa jadi, Nasdem kurang sreg sama Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Sementara Demokrat, jelas pakem pada Ketumnya itu. Lha bagaimana mau cari yang lain, wong dia anak Pak SBY. Gak enak hati kan kalau sampai kursi cawapres diduduki orang lain..? Itu mungkin yang ada di pikiran para petinggi Demokrat.

Pilpres 2024 memang masih jauh. Ada yang berpendapat terlalu dini mengumumkan paket capres cawapres pada saat ini. Cuma bagi parpol yang tak cukup suara untuk daftar sendiri ke KPU, kalau terlalu dekat juga tak baik. Bisa ketinggalan kereta, karena tak dapat lagi mengajak partai lain yang sudah sreg bergabung ke satu koalisi. Jangan tiru PDIP yang bisa berangkat tanpa perkawanan.

Dalam konteks tersebut, sebenarnya bagus kalau Nasdem segera keluarkan keputusan. Baik nama paket maupun partai koalisi yang akan diajak bergabung. Maka menjadi tanya tanya, mengapa masih tunggu bulan November.? Apakah Nasdem tak khawatir ketinggalan kereta..? Ataukah partai ini sebenarnya punya cadangan.? Biarkan saja ketinggalan kereta dari satu kelompok. Toh ada jaminan dari kelompok lain yang menggaransi pasti tak akan ketinggalan kereta..?

Dalam politik sikap-sikap demikian sah. Sesuatu yang dianggap wajar. Maka bagi parpol yang memang suaranya tak cukup, ya mestinya sadar diri. Bahwa apapun situasi yang dihadapi, itu adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin bisa dihindari. Kalau tak senang dengan kondisi tak pasti yang kerap terjadi didunia politik, ya mundur saja. Dan mestinya, yang begini ini sudah menjadi pemahaman yang disadari sejak awal dulu ketika mendirikan parpol.

Menjadi tokoh politik juga jangan cengeng. Dikit-dikit nyalahkan orang atau kelompok lain. Apalagi misalnya hingga menuduh dijegal. Padahal yang ada memang tak memenuhi syarat. Beropini demokrasi dikuasai oligarki. Padahal memang tak ada yang bersimpati dan tertarik untuk milih. Menuduh terjadi kecurangan. Padahal sebenarnya memang kalah. Anda tahu, yang begini ini adalah mental baperan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun