Apa yang sebenarnya terjadi..? Mengapa rencana koalisi selain KIR dan Poros PDIP tak menemukan ritme yang rigid..? Jika menyimak pernyataan Willy Aditya dan Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, penyebabnya ada di paket yang hendak dimajukan sebagai capres cawapres. Pada soal inilah sebenarnya yang membuat rencana koalisi PKS Demokrat Nasdem jadi alot.
Bagi PKS, Nasdem dan Demokrat, soal capresnya mungkin tak masalah. Hanya cawapresnya yang “bermasalah”. Bisa jadi, Nasdem kurang sreg sama Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Sementara Demokrat, jelas pakem pada Ketumnya itu. Lha bagaimana mau cari yang lain, wong dia anak Pak SBY. Gak enak hati kan kalau sampai kursi cawapres diduduki orang lain..? Itu mungkin yang ada di pikiran para petinggi Demokrat.
Pilpres 2024 memang masih jauh. Ada yang berpendapat terlalu dini mengumumkan paket capres cawapres pada saat ini. Cuma bagi parpol yang tak cukup suara untuk daftar sendiri ke KPU, kalau terlalu dekat juga tak baik. Bisa ketinggalan kereta, karena tak dapat lagi mengajak partai lain yang sudah sreg bergabung ke satu koalisi. Jangan tiru PDIP yang bisa berangkat tanpa perkawanan.
Dalam konteks tersebut, sebenarnya bagus kalau Nasdem segera keluarkan keputusan. Baik nama paket maupun partai koalisi yang akan diajak bergabung. Maka menjadi tanya tanya, mengapa masih tunggu bulan November.? Apakah Nasdem tak khawatir ketinggalan kereta..? Ataukah partai ini sebenarnya punya cadangan.? Biarkan saja ketinggalan kereta dari satu kelompok. Toh ada jaminan dari kelompok lain yang menggaransi pasti tak akan ketinggalan kereta..?
Dalam politik sikap-sikap demikian sah. Sesuatu yang dianggap wajar. Maka bagi parpol yang memang suaranya tak cukup, ya mestinya sadar diri. Bahwa apapun situasi yang dihadapi, itu adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin bisa dihindari. Kalau tak senang dengan kondisi tak pasti yang kerap terjadi didunia politik, ya mundur saja. Dan mestinya, yang begini ini sudah menjadi pemahaman yang disadari sejak awal dulu ketika mendirikan parpol.
Menjadi tokoh politik juga jangan cengeng. Dikit-dikit nyalahkan orang atau kelompok lain. Apalagi misalnya hingga menuduh dijegal. Padahal yang ada memang tak memenuhi syarat. Beropini demokrasi dikuasai oligarki. Padahal memang tak ada yang bersimpati dan tertarik untuk milih. Menuduh terjadi kecurangan. Padahal sebenarnya memang kalah. Anda tahu, yang begini ini adalah mental baperan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H