Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akankah SBY Membawa Demokrat Tetap Melankolis?

27 September 2022   08:30 Diperbarui: 27 September 2022   09:40 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penentu kekuasaan partai politik atau parpol di Indonesia setidaknya berasal dari tiga sumber. Satu patronase. Keputusan, sikap dan ketetapan yang dikeluarkan tergantung kehendak perorangan. Dua kelembagaan. Yang ini didasarkan pada keputusan bersama. Tiga, gabungan dari keduanya. Patronase memang kuat. Namun masukan dari anggota pengurus lain juga bisa memberi pengaruh.

Demokrat tergolong sebagai parpol yang bergantung kepada patronase. Dalam hal ini adalah sosok Ketua Dewan Pembina. Yaitu Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Dalam pandangan saya, kekuasaan Pak SBY jauh mengalahkan anaknya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Meskipun dia ini adalah Ketua Umum/Ketum.

Seperti apa karakter Pak SBY.? Meski presiden kelima Indonesia ini punya latar belakang militer, Pak SBY orangnya lembut. Nada bicaranya disamping tertata rapi, yang tak kalah menonjol adalah kalem. Meski dalam kondisi marah sekalipun, tak pernah saya temukan Pak SBY ini teriak-teriak atau gebrak meja didepan forum.

Karakter itu sebenarnya bagus. Menampilkan sisi-sisi kemanusiaan seseorang. Cuma jangan sampai over using. Sebab bisa menimbulkan kesan melankolis. Yang tampak jadinya seperti lamban, diam, lemah, sedih dan sayu. Jika diterus-teruskan lagi, dapat menggugah keluarnya sifat kurang baik. Seperti mudah tertekan dan merasa diri terdholimi.

Dasar pembawaan sebuah parpol dipengaruhi oleh sumber kekuatan yang menguasainya, maka karakter itulah yang saya lihat dari partai Demokrat. Lebih kental merujuk pada sifat-sifat SBY. Baik sejak awal berdirinya hingga masuk usia hampir duapuluh tahun saat ini. Gerak langkah partai berlambang mercy tersebut cenderung adem. Jarang menunjukkan sisi perlawanan yg sangat keras.

Dulu ketika ikut pemilu tahun 2004, tak disangka demokrat mampu menjadi partai menengah. Jauh mendahului beberapa partai baru lainnya. Partai ini sanggup menjaring vox pop masyarakat sebesar 8.455.225. Setara dengan 7.45 persen. Sebagai parpol yang sebenarnya masih yunior, ini tergolong bagus. Dari tidak ada, langsung menempati peringkat kelima dibawah Golkar, PDIP, PKB dan PPP.

Lebih hebat lagi ketika itu, bisa menjadikan SBY sebagai presiden. Yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, dipilih langsung oleh rakyat. Anda tahu apa salah satu faktor dominan hingga Demokrat punya prestasi bagus..? Tak lain dan tak bukan adalah pembawaanya yang seirama dengan sikap SBY tadi.

Ya benar. Simpati rakyat kepada demokrat saat pemilu legislatif dan pilpres 2004 mengalir deras karena adanya faktor terdholimi. Diketahui, SBY ketika itu memang terkesan diabaikan oleh Presiden Megawati. Padahal, Pak SBY adalah salah satu pembantunya sebagai Menteri. Entah apa masalah sebenarnya, yang jelas keinginan SBY untuk menghadap Presiden Megawati selalu gagal.

Paling kentara adalah soal surat SBY. Mungkin karena sudah merasa tak kerasan jadi menteri karena perseteruannya dengan Mega, SBY membuat surat pengunduran diri sebagai Menko Polkam. Saat ini sama dengan Menkopulhukam yang dijabat Mahfudz MD. Bukannya ditanggapi secara formal, surat itu justru “dicampakkan” oleh presiden Megawati.

Dilalah, kondisi terdholimi itu di ekspose besar-besaran. Beritanya sering muncul di berbagai media cetak maupun elektronik. Pokoknya, perseteruan apapun yang terjadi antara SBY Mega, selalu menjadi konsumsi publik. Bagaimana SBY sebagai pembantu presiden yang berkali-kali minta menghadap ke Megawati tapi tak ada tanggapan. Keinginannya bertepuk sebelah tangan. SBY juga sering mengeluh dikucilkan oleh Mega.

Diantaranya, SBY tak dilibatkan dalam pembahasan soal Peraturan Pemerintah tentang Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Suami Megawati Bapak Taufik Kiemas yang ketika itu masih ada, menganggap SBY tak bersikap dewasa. “Jenderal kok kayak anak kecil” (DetikNews, 16 Maret 2009). Tak patah arang, SBY kirim surat lagi ke presiden Mega. Isinya tanya soal tugasnya sebagai Menko Polkam. Tapi lagi-lagi tak ada tanggapan.

Puncak dari semua itu, akhirnya SBY meresmikan secara formal partai Demokrat. Dan hasilnya sangat bagus sebagaimana saya sampaikan diatas tadi. Prestasi bagus ini berlanjut pada pemilu legislatif dan pilpres 2009. Demokrat  berhasil menjadi pemuncak klasemen. Sebagai pemenang pertama, dengan meraih 21.703.137 suara. Atau 20.85 persen dan 148 kursi legislatif DPR RI.

Pak SBY juga menang pertarungan pilpres 2009. Kembali duduk sebagai presiden untuk periode kedua. Dalam pandangan saya, kesuksesan Demokrat dan SBY kali ini salah satunya juga ditunjang oleh beberapa kegiatan instan yang dirasakan masyarakat. SBY membuat program dalam bentuk fresh money. Misal Bantuan Langsung Tunai atau BLT dan sebagainya.

Namun, partai Demokrat ternyata tak mampu mempertahankan kemenangannya pada pemilu 2009. Mungkin karena adanya kesan terdholimi sudah tak ada lagi seperti sebelumnya. Mengingat pada periode 2004-2009 Pak SBY dan partai ini sudah menjadi penguasa yang superior, simpati rakyat akhirnya tergerus. Kali ini suara Demokrat turun drastis. Hanya dapat 10.19 persen atau 61 kursi legislatif.

Pemilu 2019 lebih jeblok lagi. Peringkatnya turun hinga ke nomor 7 dibawah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem dan PKS. Suara Demokrat hanya tinggal 10.876.507 atau setara dengan 54 kursi. Persentasenya sama dengan 7.77. Dikurangi 4 angka saja, partai ini tak akan lolos. Mengingat batas ambang pemilu 2009 adalah 4 persen.

Lalu apa kira-kira faktor penyebabnya..? Saya kira karena modal awal dan potensi lanjutan yang dimiliki Demokrat sudah tak berfungsi dengan baik. Modal awal yang berupa sikap melankolis dan “dipakai” pada pemilu 2004, sudah tak laku lagi dimata rakyat. Lalu potensi lanjutan yang berupa kekuasaan sebagaimana dipegang SBY ketika jadi presiden, juga sudah hilang dari peredaran.

Menghadapi pemilu 2024, jika tak menata ulang brandingnya alias masih mengandalkan “belas kasih” orang, Demokrat sulit bersaing dengan partai menengah lain. Bahkan bisa jadi kalah sama pendatang baru seumur jagung yang namanya Partai Solidaritas Indonesia atau PSI yang didirikan oleh Grace Natalie. Kita tahu, dalam berkampanye partai baru ini mengandalkan visi kekuatan menyuarakan aspirasi rakyat. Bukan berharap pada sikap melankolis

Nampaknya, lima partai besar yang ada di klasemen hasil pemilu 2019 tidak ada satupun yang mengandalkan “belas kasih”. Yang mereka tonjolkan justru kekuatan. PDIP kuat memegang sikap sebagai oposisi saat pemerintahan SBY. Golkar kuat menghadapi terpaan soal partai peninggalan orde baru. Gerindra dan Nasdem kuat mencari ceruk suara sebagai parpol “sempalan” Golkar.

Dan PKB kuat mempertahankan identitas sebagai partai nasionalis religius. Pernahkan kelima pimpinan parpol tersebut pidato mendayu-dayu, menyampaikan keluh kesah sebagai orang yang terdholimi seperti biasa di lakukan oleh SBY dalam membawa Demokrat..? 

Selama saya aktif mengikuti berita politik, saya tak menemukan mereka melakukan itu. Entah para pembaca sekalian..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun