Seorang anggota prajurit TNI Angkatan Darat/AD berpangkat Kopda atau Kopral Dua mencari anggota Komisi I DPR RI Efendy Simbolon. Pak Kopda bernama Arif ini menyampaikan niatnya dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial. Saya juga mendapatkan video tersebut dari kiriman seorang teman. Nampaknya Pak Kopda sangat serius dengan niatnya.
Melihat isi video berdurasi 30 detik tersebut, selain ingin ketemu Pak Kopda juga mengecam pernyataan Efendy Simbolon saat Rapat Dengar Pendapat/RDP antara Komisi I dengan Panglima TNI di Senayan Jakarta, Senin, 5 September 2022. Ketika itu, rapat memang sempat agak "panas", setelah Efendi Simbolon melakukan kritik terhadap soliditas dan kekompakan para pimpinan di tubuh TNI.
Ketika itu, Pak Efrendi yang berasal dari Fraksi PDIP mengatakan "..Panglima TNI hadir, KSAD tidak ada. Ada apa dengan TNI.. Kami banyak temuan, disharmoni, ketidakpatuhan. Ini TNI kayak gerombolan, lebih-lebih ke ormas, tidak ada kepatuhan.. Kenapa di tubuh TNI ada pembangkangan-pembangkangan..". (CNNIndonesia.com, 12 September 2022).
Naahh, kata-kata "kayak gerombolan" itulah rupanya yang membuat Kopda Arif tak terima. Menurut saya, ini wajar. Karena berhubungan dengan posisi humaniora seorang manusia. Mengingat, bagi Pak Kopda yang seorang prajurit TNI bermental Sapta Marga, TNI bagaikan "ideologi". Marwahnya tentu sangat dijaga. Sedikit saja ada yang usil singgung secara negatif lembaga TNI, pasti anggotanya macam Pak Arif tak terima. Meskipun yang menyinggung adalah yang terhormat anggota DPR RI.
Pejabat negara macam seorang Menteri dan anggota DPR RI memang punya hak imunitas. Yaitu, kebebasan untuk berbicara atau menyatakan pendapat dalam segala hal, baik secara lisan maupun tertulis di forum rapat. Hak imunitas ini diatur oleh UU Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga UU MD3. Berdasar UU MD3, apapun ungkapan yang disampaikan anggota DPR RI, tak bisa dituntut di depan pengadilan.
Dalam konteks tersebut, Pak Efendi Simbolon tak salah. Kritik tentang soliditas dan kekompakan para jenderal di tubuh TNI yang disampaikan dalam forum rapat dilindungi oleh hukum. Maka, siapapun tak bisa menghambat atau menuntut beliau. Pak Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sendiri yang hadir di rapat, meskipun berusaha menjawab duduk masalah yang dimaksud, tak sedikitpun mempermasalahkan ucapan yang dilontarkan Pak Efendi. Pak Jenderal mungkin paham, bahwa hal itu sudah sesuai dengan aturan.
Mundur kebelakang sejenak, adanya pernyataan anggota DPR RI yang menimbulkan ketersinggungan kelompok atau pihak tertentu memang kerap terjadi. Setidaknya ada dua momentum yang tercatat dalam ingatan saya, selain yang Pak Efendi Simbolon. Namun bisa jadi lebih dari itu. Karena saya menemukannya terbatas di beberapa media atau situs berita. Diluar itu, tentu masih banyak yang luput dari pantauan.
Pertama soal bahasa Sunda oleh Arteria Dahlan anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi PDIP. Pada rapat dengan Jaksa Agung ST. Burhanuddin Senin, 17 Januari 2022, Arteria minta Pak Jaksa untuk mengambil tindakan tegas segera pecat seorang Kejati. Perkaranya, karena sang Kejati menggunakan bahasa Sunda dalam rapat dengan Komisi III. Sontak hal ini menimbulkan protes keras.
Salah satunya dari Budayawan asal Sunda, Budi Setiawan Garda atau Budi Dalton. Menanggapi Arteria, Budi menyatakan bahwa, bahasa daerah wajar digunakan. Mengingat tidak semua bahasa daerah sudah di alihbahasakan ke bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia ini belum lengkap, maka kita mengambil dari bahasa lokal sebagai serapan. Harusnya begitu". (CNN Indonesia, 20 Januari 2022)
Kedua, kasus tak terimanya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atas pernyataan Anggota DPR RI Komisi IV Riezky Aprilia. Lagi-lagi dari Fraksi PDIP. Untuk yang ini sama momentumnya dengan Pak Efendi, masih terbilang hangat. Karena baru kemarin terjadi dalam rapat dengar pendapat pada Senin, 29 Agustus 2022 lalu.
Saat rapat itu, Bu Riezky memang sempat melontarkan kata-kata sedikit pedas. Saya kutip sebagian, demikian katanya, "...lembaga ini pengawasan salah satunya, dan fungsi legislasi itu bentuknya undang-undang. Sekali lagi saya sampaikan, bentuknya undang-undang, tidak keputusan Menteri, tidak peraturan pemerintah. Jadi jangan kita 'salah makan obat' di sini". (DetikNews, 1 September 2022)
Disindir "salah makan obat", sontak Syahrul Yasin Limpo bereaksi. Menteri Pertanian yang merupakan kader Partai Nasdem ini tak terima. Bahkan hingga menyebut "kau" kepada yang terhormat Ibu Riezky. Dikutip dari sumber yang sama, kata Pak Menteri, "Saya nggak salah makan obat. Saya nggak mau dengan kata-kata yang seperti itu. Nggak boleh main begitu. Berkali-kali kau..".
Tak dapat dipungkiri, hak imunitas bagi seorang anggota dewan memang memberikan ruang yang cukup luas untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif dan lembaga lain. Dengan hak ini, para legislator lebih leluasa menyampaikan pendapat dan tidak terkekang. Sehingga, masukan yang disampaikan bisa lebih utuh dan menyeluruh.
Namun harus di ingat, sama dengan anggota dewan itu sendiri, para pimpinan berbagai lembaga negara mitra Komisi juga manusia. Yang punya perasaan dan hati. Tentu ada batas-batas perkataan yang mesti jadi rem. Jangan hanya karena tak bisa dituntut secara hukum, lalu bablas asal ngomong sekenanya. Jika sikap ini terjadi kepada anggota dewan sendiri, tentu mereka juga tak terima.
Maka disitulah berlaku yang namanya etika. Yakni nilai moral dan norma yang wajib jadi pedoman dalam mengatur tindakan atau perilaku. Termasuk saat berbicara kepada seseorang. Dan ingat, etika ini berlaku bagi siapapun. Baik untuk seorang individu maupun kelompok. Baik terhadap orang biasa, terlebih lagi bagi pejabat. Etika tidak mengenal sosok dan posisi.
Ketentuan soal etika memang tak tertulis. Namun kedudukannya jauh lebih mulia dibanding regulasi yang termaktub dalam undang-undang. Makanya, tak salah juga ada seorang prajurit TNI yang meskipun hanya berpangkat Kopda, ya kira-kira setingkat camat gitu, yang berani melakukan kecaman terhadap anggota DPR RI yang punya jabatan setingkat Panglima dan Menteri.
Saya pribadi mendukung apa yang dilakukan Kopral Dua Arif. Agar para Anggota DPR RI yang terhormat tidak bertindak arogan. Mentang-mentang dilindungi undang-undang, lalu bersikap seenaknya melecehkan pimpinan institusi atau lembaga lain. Tak menghiraukan dasar-dasar sosial budaya atau sosbud yang ada ditengah masyarakat. Ingat Masbrow, jabatan anda itu sementara. Kelak saat sudah berhenti, Masbrow adalah manusia biasa seperti kita. Jangan-jangan, justru Masbrow yang kelak lebih terhina dibanding kita. Wallhu'aklam. Tuhan Maha Kuasa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H