Sebagaimana sudah ramai diberitakan, di Pondok Modern Darussalam Gontor-1 Ponorogo Jatim, ada santri inisial AM, usia 17 tahun tewas saat mengikuti salah satu kegiatan. Diduga, karena di aniaya oleh senior. Keluarga yang awalnya ikhlas, menjadi tak terima setelah melihat kondisi janazah AM. Nampak banyak keanehan di tubuh AM. Akhirnya, keluarga memperpanjang masalah itu untuk menemukan keadilan.
Terus terang, saya prihatin atas kasus tersebut. Tapi untuk nulis sebagai artikel, awalnya saya kurang berminat. Mengapa, karena soal hidup mati kita sebagai manusia, sudah ditentukan oleh Allah SWT. Kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi bagaimanapun, malaikat pencabut nyawa pasti menyambangi kita. Tak ada kata menolak atau negosiasi. Begitu sampai waktunya, ya matilah kita. Meskipun saat itu sedang menempuh pendidikan.
Cuma saat membaca laporan Kompas.com 8 September 2022 kemarin tentang kasus itu, saya jadi tergerak. Disini, ada tiga hal yang sangat menarik minat saya. Pertama, apa yang disampaikan oleh Titis Rachmawati, kuasa hukum keluarga AM. Kata Mbak Titis, "Kami sangat menyesalkan sekali, setelah viral baru ponpes melapor dan mengajukan permohonan maaf. Kenapa harus terlambat".
Kedua, soal penyebab tewasnya santri AM. Awalnya, di sebutkan dalam surat keterangan dokter dari Rumah Sakit Yasfin Darussalam Gontor, bahwa AM tewas karena penyakit tidak menular. Namun faktanya, di sekujur tubuh AM terdapat sejumlah luka lebam. Setelah didesak, barulah pihak Gontor mengakui bahwa AM tewas karena di aniaya, bukan akibat sakit sebagaimana isi surat keterangan dokter.
Ketiga, pernyataan menajemen Ponpes Gontor yang diwakili oleh Jubir Noor Syahid kepada Kompas.com. Disarikan dari sumber yang sama, Noor Syahid menjelaskan bahwa, sebelum masuk pondok Gontor orang tua calon santri sudah tanda tangan penyerahan. Isinya tentang kesanggupan, antara lain untuk tidak memperkarakan apa yang terjadi kepada polisi.
Baik pernyataan Mbak Titis selaku kuasa hukum keluarga AM, maupun penjelasan Ustad Noor Syahid sebagai perwakilan ponpes, sama-sama mengandung kejanggalan. Bagi saya yang tiap hari ada dilingkungan pondok, hal ini tentu wajib dijelaskan, disanggah dan diluruskan. Karena dapat menyebabkan persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan pondok pesantren secara umum.
Kejadian anak santri yang meninggal saat masih menempuh pendidikan di pondok pesantren adalah hal lumrah. Wali santri yang mendengar musibah tersebut, umumnya bersikap ikhlas. Bahkan ada diantaranya yang merasa "gembira', karena putra atau putrinya dijemput oleh malaikat saat sedang mencari ilmu. Bagi wali santri, ini lebih baik, daripada meninggal setelah lepas dari pondok sebagai alumni. Kalau sudah keluar pondok, belum tahu meninggal dalam kegiatan apa. Khawatirnya, saat sedang melakukan perbuatan tak baik.
Dalam keyakinan kaum santri, meninggal saat di pondok tergolong sebagai mati syahid. Mengapa, karena menempuh ilmu di pondok adalah perbuatan jihad fi sabilillah. Berjuang di jalan Allah. Maka barang siapa yang meninggal saat berjihad, balasannya tiada lain kecuali surga. Sesuatu yang memang dicita-citakan oleh seluruh umat muslim. Dalam konteks ini, insya Allah nanda AM tergolong sebagai syuhada. Amiinn...
Hanya saja, beda dengan kondisi yang ditunjukkan oleh Ponpes Modern Gontor, beberapa pondok yang mengalami musibah santri meninggal sangat responsif dan transparan. Begitu kejadian, detik itu pula pihak wali santri langsung dihubungi. Soal sebab-sebab kematian juga disampaikan apa adanya. Tak ada satupun yang di tutup-tutupi. Sehingga, meskipun pihak pondok dan wali santri mengalami musibah, dampaknya tetap positif dan tak menjadi masalah berkepanjangan.
Sementara Gontor, rupanya memilih jalan berbeda. Keluarga baru dikabari pada tanggal 22 Agustus 2022. Padahal, diduga kuat AM meninggal sebelum tanggal 22 itu. Soal sebab-sebab kematianpun tak dijelaskan secara "benar". Apa yang disampaikan pihak Gontor, kuat dugaan berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Katanya sakit, tapi kok di tubuh AM penuh tanda bekas-bekas penganiayaan..?
Kondisi yang kemungkinan ada rekayasa itupun masih diperkuat oleh legalisasi surat keterangan dokter, sebagaimana sudah disinggung diatas tadi. Disini tentu mengemuka sesuatu yang patut dipertanyakan. Apakah ada kongkalikong antara dokter dengan pihak pondok..? Adakah perbuatan itu dilakukan secara sengaja demi menjaga nama baik pondok Gontor..? Jawabannya, mari kita tunggu bersama hasil pemeriksaan polisi.
Selain itu, yang lebih penting untuk diungkap dan harus disanggah adalah pernyataan manajemen pondok Noor Syahid. Katanya, setelah anak santri diserahkan, maka wali santri tanda tangan pernyataan tak akan lapor polisi atas apa yang terjadi di Pondok. Kalau memang benar di pondok Gontor ada ketentuan demikian, ini sungguh sangat-sangat menyesatkan dan jauh dari norma-norma yang seharusnya ada di lembaga pendidikan bernama Pondok Pesantren.
Pernyataan itu wajib direvisi. Kalau tidak, jangan salahkan para orang tua jika kelak tak sudi lagi memasukkan putra putrinya ke pondok pesantren. Akibatnya, pondok sepi dari pendidikan. Regenerasi tokoh islam akan terputus. Tak akan ada lagi generasi muda yang bisa meneruskan perjuangan para pendahulu. Selanjutnya, islam di Indonesia bisa tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Sangat berbahaya bukan..?
Setahu saya, dilingkungan kaum santri terutama warga NU, memang ada tradisi penyerahan anak saat pertama kali masuk pondok pesantren. Penyerahan tersebut disertai dengan kebulatan tekad orang tua untuk "pasrah bongkokan" terhadap apapun yang nanti akan terjadi di pondok selama menempuh pendidikan. Yang dimaksud pasrah bongkokan adalah memasrahkan anak secara total kepada kyai atau pengasuh.
Ketika ada akad pasrah bongkokan itu, berarti wali santri telah sepakat agar urusan putra putrinya menjadi tanggung jawab penuh pihak pondok secara utuh. Tanpa adanya intervensi apapun dan dari pihak manapun. Termasuk dari orang tua sendiri selaku wali santri. Tanpa intervensi itu juga meliputi konsekwensi yang mungkin nanti diterima oleh anak santri selama mondok.
Sikap pasrah model begitu ada hubungan dengan masalah humaniora, diyakini bisa mengangkat derajat dan budaya manusia menjadi lebih tinggi. Dikalangan pesantren dikenal dengan istilah barokah. Yaitu makin meningkatnya kebaikan yang terjadi secara konsisten dari waktu ke waktu. Ini juga dikenal dengan istilah Ziyadatul Khair. Jadi, santri yang mendapat barokah berkat wasilah pasrah bongkokan itu, diharapkan senantiasa mendapat kemaslahatan. Baik saat masih belajar di pondok, terlebih lagi kelak ketika sudah pulang menjadi alumni dan terjun ketengah-tengah masyarakat.
Itulah latar belakang dan maksud sebenarnya dari proses penyerahan anak kepada pihak pondok. Yaitu untuk memperoleh kebaikan yang berupa barokah tadi, dan sebaliknya bukan untuk keburukan. Dalam konteks ini, pihak pondok modern Gontor jelas salah persepsi memaknai proses itu. Alih-alih bersikap gentle, justru malah menjadikan proses penyerahan sebagai alasan mengapa tidak segera lapor polisi atas kasus tewasnya santri AM. Asal tahu saja, tewasnya nanda AM tidak ada hubungan dengan penyerahan. Itu murni diduga kuat karena tindakan kriminal.
Anda tahu, sikap tersebut jelas tergolong perbuatan dholim. Â Lalu apa balasan Tuhan terhadap para pembuat kedzliman..? Firman Allah dalam QS. Al Hud ayat 102, "Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dzalim. Sesungguhnya, adzabNya itu sangat pedih dan keras". Bukankah sebagai lembaga pendidikan islam, Pondok Modern Gontor Darussalam paham akan ayat ini..?
Paparan diatas saya kira cukup sebagai alasan bagi polisi untuk bergerak memeriksa beberapa orang di Gontor, termasuk dokter yang memberi surat keterangan. Sementara itu, bagi para orang tua calon wali santri, saran saya baca dengan teliti dan betul-betul pahami jika suatu ketika disodori naskah penyerahan oleh pihak pondok. Kalau ada yang aneh-aneh atau menyimpang, tolak saja. Atau pindah cari pondok lain. Daripada anak kita dapat musibah. Padahal, tujuan utama kan beroleh barokah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H