Anda tahu, jika sebuah peristiwa membawa kesusahan bagi satu kelompok, kadang menjadi kegembiraan bagi yang lain. Peristiwa Puan ketemu Paloh senin 22 Agustus 2022 kemarin setidaknya menjadi justifikasi terhadap pendapat tersebut. Ya meskipun merupakan fakta untuk sementara ini. Bagaimana kedepan, perlu dihitung ulang. Karena perkembangan politik sangat dinamis. Makin dekat pemilu, biasanya tambah cepat. Bukan hanya per jam, bahkan bisa per detik.
Setidaknya ada tiga pengaruh yang bisa di intip dari pertemuan Puan Paloh. Pertama, peta koalisi. Sebelumnya, sudah ada KIB yang beranggotakan PAN, PPP dan Golkar. Lalu di susul Gerinda PKB yang menyebut Koalisi Indonesia Raya. Sekarang tambah PDIP Nasdem. Entah apa namanya, belum dibuka ke publik.
Kedua, parpol pengusung. Yang ini berhubungan dengan presidential threshold. Baik PPP, PAN, Golkar, Gerindra, PKB dan Nasdem sama-sama tak memenuhi syarat. Lalu berubah jadi bisa, setelah berkoalisi dengan parpol lain. PDIP memang bisa maju sendiri. Tapi mungkin karena mengejar misi "Ganjar dibuang, Puan disayang", terpaksalah merapat ke Nasdem.
Ketiga, nasib capres. Baik yang sengaja mencapreskan diri dengan cara bermanuver silat kanan kiri, jumpalitan ke muka belakang, atau yang hanya diam saja tapi namanya didorong oleh rakyat, termasuk yang kena dampak pertemuan Puan Paloh. Banyak memang yang muncul. Tapi yang selalu bertengger di tiga besar hanya tiga tokoh. Yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo serta Anies Baswedan. Dan inilah yang menarik untuk dibahas.
Nama Prabowo, Ganjar dan Anies tak dipungkiri punya potensi keterpilihan lebih kuat dan besar dibanding tokoh lain. Tapi ingat, dalam pilpres potensi keterpilihan saja tidak cukup untuk bisa jadi pemenang. Harus ada jembatan penghubung yang namanya partai politik atau parpol. Kalimat lainnya adalah kendaraan politik yang nantinya menjadi lembaga pengusung calon untuk didaftarkan ke KPU.
Sekuat dan sebesar apapun potensi menangnya, jika tak ada jembatan yang bisa dilewati atau kendaraan yang akan ditumpangi, jadinya percuma. Bagai mimpi tak jadi kenyataan. Lha gimana mau dipilih rakyat dan menang jadi presiden, jika namanya tak tercantum dikertas suara..?
Dan itulah fakta yang terjadi pada Prabowo, Ganjar dan Anies. Dalam hal ini, nasib Prabowo jelas lebih baik dibanding mereka. Menteri Pertahanan itu punya elektabilitas sekaligus jembatan. Sementara Ganjar dan Anies tidak. Ganjar memang kader PDIP lawas dan militan lagi. Pengabdian dan kesetiaannya kepada partai dan Megawati tak perlu diragukan. Kemampuan jangan tanya, meskipun ini agak subyektif juga.
Tapi melihat hasil survey yang sangat moncer dan diakui rakyat, kelihatan bahwa Ganjar punya kapasitas dan kualitas bagus. Namun apa yang terjadi..? Dia terancam tak punya tumpangan. Karena kendaraan yang disiapkan, rupanya lebih dekat turun waris kepada Putri Mahkota yang namanya Puan Maharani. Jadinya, kesempatan untuk menang pilpres 2024 bagi Ganjar, harus terbuang jauh.
Anies juga bisa mengalami hal serupa jika hanya mengandalkan PKS. Saatnya sekarang Gubernur yang sebentar lagi akan lengser ini melakukan langkah taktis, jika memang niat nyapres, buat segera dapat kendaraan. Ada baiknya, Anies pamit ke PKS untuk ijin masuk parpol lain. Kalau tidak, nasibnya akan sama seperti Ganjar. Mengapa, karena PKS tak cukup punya "uang" untuk bikin jembatan atau beli "mobil".
Adakah solusi..? Masih ada jalan bagi Ganjar dan Anies. Tapi bukan tanpa resiko dan usaha. Ganjar bisa ke KIB yang dikomandani PPP, PAN dan Golkar. Cuma dengan konsekwensi, bisa dipecat dari PDIP. Pertanyaanya, maukah Ganjar menerima resiko sangat besar itu, mengingat partai itulah yang selama ini berjasa membesarkan nama Ganjar..?
Demikian pula Anies. Ada dua kendaraan yang nampaknya bisa di sopiri oleh Anies dan berangkat menuju KPU untuk daftar Pilpres. Yaitu lewat koalisi Nasdem PDIP atau KIB. Cuma Anies perlu usaha keras. Anies harus bergerak aktif. Lakukan lobi-lobi ke para petingi partai-partai tersebut. Kalau hanya sekedar mengandalkan retorika dan berharap "dipanggil", saya rasa Anies tak akan dipercaya setir kendaraan sendiri.
Lalu bagaimana dengan Prabowo Cak Imin..? Kondisi yang dialami Ganjar Anies jelas tak terjadi kepada mereka. Pertemuan Puan Paloh justru berimplikasi sebaliknya. Seakan menjadi jalan terbuka. Terus terang, meskipun tak boleh lengah, jika tanpa Ganjar dan Anies, arah menuju kemenangan bagi Prabowo Cak Imin menjadi lebih lapang..
Jika mengacu pada berbagai hasil survei dan peta koalisi, nama-nama seperti Erlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Suharso Manoarfa dan Puan Maharani, semuanya kurang ngangkat. Levelnya jauh di bawah Prabowo. Hanya Anies saja yang relatif bisa menganggu Prabowo. Namun itupun masih teka-teki dan ada potensi tak ngangkat juga.
Teka-tekinya, bisakah Anies dapat kendaraan di PDIP Nasdem..? Kalaupun dapat, mesti dilihat dulu apakah sebagai orang pertama atau kedua. Jika hanya orang kedua, rasanya sulit juga. Sementara untuk menjadi yang pertama, harus melewati Puan. Ini pasti tak mungkin. Ganjar saja yang kader sendiri emoh dilirik oleh Ibu Megawati. Apalagi Anies.
Naah, perkembangan itulah yang saya maksud jika sebuah peristiwa membawa kesusahan bagi satu kelompok, kadang menjadi kegembiraan bagi yang lain. Dalam konteks ini, Gerindra PKB tentu senang terhadap hasil pertemuan Puan Paloh. Bukan hanya karena pesaing agak ringan seperti dimuka tadi. Tapi lebih dari itu, pasangan Prabowo Cak Imin memang layak untuk tidak dianggap enteng.
Prabowo orang yang sangat berpengalaman di pemerintahan. Sosoknya juga kuat dan telah terbukti mampu melewati berbagai jalan terjal. Baik semenjak baru lepas dari masa orde baru hingga kini dimasa reformasi. Sebagai tokoh parpol apalagi. Keberhasilannya terbukti di partai Gerindra. Yang meskipun bisa dikatakan "pecahan" dari Golkar dan baru seumur jagung, sukses meraih tiga besar dalam pemilu.
Cak Imin, yang merupakan calon pasangan Pak Prabowo, juga bukan politisi kaleng-kaleng. Saran saya, jangan anggap remeh Ketum PKB ini hanya karena surveinya tak sekuat capres lain. Ingat, nilai ketokohan seorang politisi tak bisa kalau hanya di ukur dari satu sisi. Ketangguhan menghadapi serangan "musuh" adalah sisi lainnya.
Pengalaman Cak Imin yang pernah di bom bardir berbagai persepsi, layak diperhitungkan. Seperti ketika dikatakan menelikung Gus Dur, di isukan korupsi dan hak-hal miring lainnya. Semua itu dapat dilewati dengan baik oleh sepupu Ning Yeni Wahid ini. Bahkan, secara faktual bom bardir itu tak mampu menjatuhkan Cak Imin sebagai Ketum PKB. Langkah-langkah politik Cak Imin juga punya nilai sangat strategis. Masuknya PKB menjadi partai besar sekarang ini, adalah buah karya hasil otak-atik taktik beliau.
Sederet fakta diatas cukup dijadikan penguat perbedaan potensi Cak Imin dibanding Ganjar atau Anies Baswedan. Secara elektabilitas, Cak Imin memang kalah. Namun secara presidential threshold, Gubernur Jateng dan DKI itu tak ada apa-apanya. Mengapa, karena meskipun keduanya punya elektabilitas tinggi, modal ini tak mampu membawa kemenangan dalam pilres. Kalau hanya sebagai figuran boleh lah.
Pak Prabowo mau gandeng Ganjar atau Anies tapi cuma pakai Gerindra, jangan harap menang pilpres 2024. Biar dah meskipun elektabilitasnya mencapai hingga 80 persen. Taruhan potong jari sekalipun, pasti tak mampu menjadikan Prabowo presiden. Mengapa, karena tak cukup "uang" buat beli tinta guna menulis nama Prabowo di kertas suara. Tapi menggandeng Cak Imin, meski kalah elektabilitas, kesempatan menang sangat terbuka lebar. Mengapa, karena PKB punya tambahan dana patungan dengan Gerindra untuk beli kendaraan dan berangkat ke KPU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H