Kebetulan, yang akan saya bahas sekarang bersinggungan dengan agama Islam dan Kristen. Dua kepercayaan samawi yang diyakini berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Ibrahim atau Abraham. Disebut bersinggungan, karena dalam tulisan ini saya melihat kasus Ferdy Sambo dari kacamata agama saya Islam. Sementara Pak Sambo sendiri beragama Kristen.
Tapi anda para pembaca sekalian harap tenang. Tidak perlu berprasangka buruk dulu. Tidak ada kaitan dengan akidah atau ibadah kok. Apalagi hingga melakukan perbandingan tentang kebenaran keduanya. Sesuatu yang tentu sangat-sangat sensitif. Salah sedikit, bisa bermasalah. Sekali lagi, tidak begitu. Tulisan ini hanya bicara soal penyikapan.
Saya sebagai muslim, berusaha melihat Pak Sambo secara pribadi menurut tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam keyakinan saya, tuntunan itu sekaligus berfungsi sebagai panduan ketika melihat persoalan yang sedang menimpa umat manusia.
Kasus Ferdy Sambo yang ada hubungan dengan meninggalnya Brigadir Joshua memang sangat menyedot perhatian publik. Hingga kini masih tetap trending. Ya wajar saja. Mengingat obyek yang terlibat merupakan orang “besar”. Seorang Jenderal Polisi berbintang dua. Punya jabatan mentereng sebagai Kadiv Propam Mabes Polri.
Kalau secara kebijakan orang kedua di Polri adalah Wakapolri, maka secara tekhnis orang kedua itu adalah Kadiv Propam alias Pak Sambo itu sendiri. Dilembaga penegak hukum dan keamanan yang punya wewenang menembak ini, tentu jabatan itu membuat Pak Sambo sangat-sangat dihormati. Bahkan bisa jadi ditakuti.
Selain bersinggungan dengan jabatan mentereng, kasus Pak Sambo menjadi trending karena ada kabar juga melibatkan dana cukup banyak. Disebut, terdapat janji hadiah uang ratusan juta hingga miliaran rupiah bagi pelaku yang ikut membantu perbuatan Ferdy Sambo. Dengan beberapa kondisi itu, ditambah pangalaman segudang, sepertinya sangat mustahil Pak Sambo bisa jadi tersangka pembunuhan berencana. Secara logika, rasanya jauh dari akal.
Ditambah lagi dari segi usia yang baru 49 tahun. Tergolong muda untuk ukuran perwira tinggi berpangkat bintang dua. Dengan usia segitu, perjalanan Pak Sambo tentu masih panjang. Punya peluang menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian. Muncul pertanyaan, masak besarnya potensi tersebut dengan sangat mudah ditukar hanya oleh sebuah tindak pidana..?
Itulah yang saya sebut tak masuk akal. Mungkin ada hal lain yang sangat luar biasa, dan posisinya berada jauh diatas sekedar tindak pidana itu. Hingga membuat Pak Sambo berani berbuat nekat. Cuma, untuk yang satu ini, biarkan proses hukum selanjutnya yang akan membongkar jadi terang benderang. Saya tak berwenang mengungkap itu.
Pak Sambo adalah orang terpandang. Kelas sosial dan kedudukannya sangat tinggi. Secara kasat mata, tak terlihat sedikitpun ada celah kekurangan terpatri dari kehidupan Pak Sambo. Hampir sempurna. Tak ada keinginan yang tak mungkin tertolak. Semua kehendak nyaris terjangkau. Namun, justru saat tengah berada pada posisi super power itu, Pak Sambo kesandung “batu”. Jatuh tertelungkup masuk jurang. Hampir pasti tak tertolong.
Dari beberapa ulasan, pandangan dan opini yang beredar kebanyakan mendiskreditkan Pak Sambo. Bahkan ada beberapa diantaranya yang menghujat. Padahal, kalau melihat tuntunan Rosul Muhammad SAW, orang macam Pak Sambo tidak boleh digitukan. Sebaliknya, justru harus dikasihani.
Sabda beliau Nabi SAW dalam sebuah hadits, “Kasihanilah olehmu tiga golongan manusia, yaitu : Orang terpandang pada satu kaum yang kemudian jatuh terhina, orang kaya raya yang jatuh bangkrut, dan orang yang berilmu berada di kalangan orang bodoh”. (HR Al-'Askari dalam Mukhtar al-Ahadits).
Rasanya, Pak Sambo merupakan umat manusia yang dimaksud oleh Kanjeng Nabi SAW. Yaitu, orang terpandang yang kemudian jatuh terhina. Sebagai muslim, dalam melihat Pak Sambo saya tentu berpedoman pada tuntunan Kanjeng Nabi. Tidak menghujat, tapi justru harus merasa kasihan pada mantan Kadiv Propam itu.
Dapat meraih kekuatan dan penghomatan tinggi, jelas butuh perjuangan keras. Jabatan terakhir sebagai Kadiv Propam cukup membuktikan bahwa Pak Sambo mampu melewati perjuangan itu dengan baik. Namun ternyata, ada yang kurang. Pak Sambo hanya sukses berjuang dari segi fisik dan akal. Sementara mental terlupakan. Akibatnya, begitu dihadapkan pada situasi pelik yang cukup mengguncang jiwa, yang keluar adalah keputusan berdasar emosi. Bukan disandarkan pada hati nurani.
Padahal, hati nurani itulah yang membedakan manusia dibanding makhluk hidup lain yang ada didunia ini. Ketika muncul masalah, punya peran besar menentukan jenis keputusan apa yang mesti diambil. Yang didasarkan pada hati nurani, pasti berdampak baik. Sebaliknya, mengabaikan hati nurani, kerusakan adalah satu-satunya efek yang akan muncul. Itulah, mengapa saya harus merasa kasihan pada Pak Sambo. Ternyata, sebagai Kadiv Propam dia punya kekurangan yang sangat fatal dan prinsip.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H