Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dialog Imajiner tentang Perayaan Tahun Baru Hijriyah

3 Agustus 2022   09:55 Diperbarui: 3 Agustus 2022   10:03 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Doa Khotmil Quran Berjamaah Di mekkah, Foto Dok. Langit7/iStock

Tulisan ini terinspirasi dari tukar pikiran saya bersama beberapa teman medsos, baik WA maupun Facebook, tentang Perayaan Tahun Baru Hijriyah. Ini bermula dari tulisan saya di Kompasiana berjudul "Tahun Baru Hijriyah, Antara Hijrah Dan Cinta Tanah Air". Dari berbagai alur tukar pikiran dan materi, saya sarikan dalam bentuk dialog imajiner.

Mengapa saya sebut dialog imajiner..? Karena didalamnya tidak ada kebenaran mutlak. Kecuali sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT. Ukuran yang bisa dipakai cuma logis atau tidak. Tentu didasarkan pada kaidah keilmuan dan akal pikir. Bukan karena emosi, apalagi kebencian. Untuk jelasnya, mari kita simak dialog tersebut. Untuk personifikasi, yang melakukan dialog adalah Teman dan Saya.

Teman

:

Yang suka bid'ah memang sering buat kegiatan atau ritual aneh-aneh.

Saya

:

Penuding bid'ah memang suka buat fatwa aneh-aneh. Katanya segala sesuatu harus berdasar dalil. Tapi saat melarang perayaan Tahun Baru Islam, dasarnya tidak ada. Pertanyaan saya, mana dalil yg mengatakan bhw perayaan Tahu Baru islam dilarang.?

Teman

:

Dalam Islam, berdasar hadits dari Anas radhiyallahu'anhu, perayaan yang dibenarkan itu hanya ada dua. Yaitu hari raya Idul Fitrih dan Idul Adha. Itulah perayaan terbaik. Gambarannya demikian : Perayaan hari-hari lain seperti Tahun Baru Hijriyah dilarang. Karena tidak ada dalam Al Qur'an atau contoh dari Nabi Muhammad SAW. Mestinya, sebagai muslim harus ikut Nabi. Cukup merayakan dua hari raya itu. Kalau dikatakan bahwa dua hari raya di atas (Idul Fithri dan Idul Adha) yang lebih baik, maka selain dua hari raya tersebut tidaklah memiliki kebaikan. Sudah seharusnya setiap muslim mencukupkan dengan ajaran Islam yang ada, tidak perlu membuat perayaan baru selain itu.

Saya

:

Mohon kepastian, apakah gambaran tersebut dikutip dari dalil hadits atau hanya merupakan penjelasan yang berasal dari opini pribadi saja..?

Teman

:

Benar. Itu merupakan penjelasan tentang hadist dari Anas radhiyallahu'anhu tersebut. Disana jelas. Bahwa hari raya umat Islam cuma dua. Penjelasannya juga selaras dengan hadits itu.

Saya

:

Ooooooo..., itu penjelasan to... Bukan hadits.. Kalau penjelasan.., maka saya juga berhak menjelaskan. Demikian penjelasan saya. Nabi SAW bersabda yg intinya dua hari raya tersebut adalah yg lebih baik atau terbaik. Ini adalah semacam tingkatan tertinggi. Namun perlu diketahui, bahwa jika ada yg terbaik, maka tentu dibawahnya ada yg baik. Analoginya demikian : jika yg terbaik dapat ganjaran 10, maka yg baik tentu dibawah itu. Misal dapat 6,7 atau 8. Lalu ada umat islam yg ingin nambah. Misal, dia melakukan yg terbaik dg cara melaksanakan dua hari raya itu dan dapat pahala 20 point. Lalu karena ingin pahala lebih banyak, tambah lagi melaksanakan perayaan, misal tahun baru islam. Ganjarannya 6 point. Maka dalam satu tahun, dia dapat ganjaran 26 point. Karena selain berhari raya, dia juga merayakan datangnya tahun baru islam. Pertanyaan saya kemudian, boleh tidak seorang muslim melakukan yang seperti itu, selain pilih yang terbaik juga nambah dengan yang baik..?

Teman

:

Itu tetap dilarang. Alasannya, karena bukan ajaran Nabi SAW. Itu juga berarti menyelisihi beliau. Yang demikian dapat merusak Islam.

Saya

:

Melarang seperti itu masuk kategori fatwa. Kalau fatwa, harus ada dasarnya. Pertanyaan saya, mana dalil yg secara qoth'i menyatakan bahwa perayaan tahun baru islam tidak boleh...? Ingat ya.., dalil.., bukan penjelasan.. Sekali lagi dalil... Mana dalilnya...?

Teman

:

Ini ada dalilnya. Hadits HR. Bukhari. Yang artinya, "Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak". Jadi, semua ritual atau syariat yang tidak ada contoh atau perintah dari Nabi SAW, terlarang untuk dikerjakan.

Saya

:

Wah wah waahhh... Nampaknya masbro ini kurang ngopi dan jarang piknik. Memaknai hadits hanya sepenggal. Cuma sebatas kerongkongan. Tapi baiklah. Saya ikuti dan pegang ketentuan dari masbrow itu. Bahwa kalau tidak ada hadits, tidak boleh dikerjakan. Sekarang jangan ke soal tahun baru hijriyah. Ini terlalu kecil. Saya pilih yg agak "besar". Yaitu tentang ibadah solat sunnat akhir bulan ramadhan di mekkah, yg ditutup dengan doa bersama khotmil qur'an secara berjamaah. Asal masbro tahu, kegiatan ibadah itu tidak ada haditsnya. Tapi tetap dilakukan oleh para ulama mekkah. Didepan kakbah lagi. Lalu gimana tanggapan masbrow soal ini..?

Teman

:

Terus terang, saya belum tahu soal salat sunnah yang diiringi doa khotmil quran berjamaah di mekkah itu. Maaf, pengetahuan saya belum cukup. Saya jujur saja. Kalau memang tidak tahu, lalu saya mau kasih penjelasan apa..? 

Berhubung teman saya jujur mengatakan, bahwa tidak tahu soal doa khotmil quran di mekkah dan pengetahunnya belum sampai kesana, akhirnya tukar pikiran saya akhiri. Rasanya memang tidak perlu diteruskan. Mengapa, karena kalau diteruskan, malah jadi kocar kacir. Saya juga kasihan kepada teman saya itu. Menerima beban terlalu berat diluar kemampuan yang dimiliki. Demikian. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun