Sebelum lanjut, tak lupa saya sampaikan Selamat Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah kepada seluruh umat islam. Semoga tahun kemarin bisa dijadikan pengalaman berharga. Untuk kemudian melangkah jadi lebih baik di tahun-tahun mendatang. Amin..
Hijriyah merupakan sistem penanggalan Islam. Dalam satu tahun memiliki 12 bulan dan sekitar 354-355 hari. Berbeda dibanding Masehi yang menggunakan peredaran matahari, dasar penetapan tahun Hijriyah menggunakan bulan. Karena itu, jumlah hari tahun Hijriyah lebih sedikit dibanding tahun Masehi. Jumlah hari tahun Masehi sekitar 365 hingga 366.
Jika mengacu pada berangkatnya Nabi hijrah ke Madinah, awal tahun baru Hijriyah sebenarnya bukan jatuh pada bulan Muharram. Tapi Rabi'ul Awwal. Yang menjadi pertanyaan, mengapa berubah ke bulan Muharrom dan bukan Rabi'ul Awwal ..? Merujuk buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur'an dan Hadis-hadis Shahih karya Habib Quraish Shihab (2018), dijelaskan bahwa, itu didasarkan pada Baiat Aqabah kedua yang terjadi pada bulan Dzul Hijjah.
Saat baiat tersebut, soal hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah menjadi kesepakatan bersama. Bahkan, sebagian sahabat telah berangkat ke Madinah mendahului Nabi Muhammad. Oleh karena itu, awal tahun hijriyah dihitung setelah ada kebulatan tekad dan kesepakatan untuk melakukannya. Dan bukan pada pelaksanaannya.
Bagi umat Islam, tahun Hijriyah bukan semata acuan penentuan waktu. Lebih dari itu, juga dijadikan sebagai dasar perkembangan islam pada masa-masa mendatang. Termasuk dimasa kini. Setidaknya, untuk konteks Indonesia ada dua hal yang perlu diungkap.
Pertama, penamaan tahun. Jika mengacu pada dasar penetapan yang menggunakan bulan, mestinya tidak disebut tahun hijriyah, tapi tahun qomariyah, yang berarti bulan. Lalu mengapa dipilih kata hijriyah..? Ini merujuk pada aktifitas Nabi SAW yang pindah atau hijrah dari mekkah ke madinah. Alasan beliau pindah, karena di negeri Mekkah kehidupan beliau terancam dan kurang kondusif lagi untuk berdakwah. Pindah ke Madinah, dengan tujuan mencari tempat atau suasana yang lebih baik.
Dan memang betul. Setelah hijrah ke Madinah, dakwah beliau justru makin sukses. Berdasar itu, makna hijrah sekarang berkembang lebih luas lagi. Dari yang sebelumnya hanya berarti pindah tempat, menjadi punya makna "perubahan sikap". Gambarannya, dari yang awalnya punya sifat jelek, lalu hijrah agar berubah menjadi sikap yang lebih baik.
Sayang makna hijrah yang demikian diartikan secara sempit oleh sebagian orang. Bukan sikap atau perbuatannya saja yang berubah. Namun tampilan sehari-hari juga berubah. Yang wanita, sebelumnya pakai penutup aurat khas Indonesia macam kerudung atau jilbab, lalu ganti burqa dan cadar. Yang laki-laki, biasa pakai celana dan sarung khas nusantara, lalu diganti gamis dan celana cingkrang diatas mata kaki. Sudah cukup..? Belum. Mesti ditambah lagi dengan sebutan istilah-istilah arab saat komunikasi dengan teman atau saudara. Yang biasanya pakai kamu dan saya, ganti dengan antum dan ana. Menurut saya, mestinya tidak harus seperti itu. Seyogyanya tetap menggunakan tampilan Indonesia. Hanya sikapnya saja yang berubah jadi lebih baik dibanding sebelumnya.
Pendek kata, hijrah dimaknai secara formal. Yang tampak diluaran saja. Ironisnya, kadang yang formal-formal itu yang lebih menonjol. Sedang isinya tidak karuan. Maka tak heran, sering ditemui orang-orang yang berpakain islami, bahkan hidup dilingkungan islami, justru melakukan perbuatan tercela. Misal pencabulan atau pemerkosaan terhadap santri oleh guru atau ustadnya sendiri. Bahkan ada yang hingga hamil dan melahirkan anak. Ironis bukan..? Tampilan tak sesuai isi. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Yang kedua, tahun baru hijriyah dalam hubungannya dengan cinta tanah air. Terus terang, yang ini digaungkan pertama kali oleh NU. Singkatan dari Nahdlatul Ulama. Sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Untuk menuangkan semangat hijrah dalam rangka memperkuat cinta tanah air tersebut, NU punya motto Hubbul Wathon Minal Iman. Artinya, Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman.