Ruang publik adalah fasilitas gratis tanpa biaya. Berada diluar gedung atau kawasan terbuka. Ruang publik dapat digunakan oleh perorangan atau sekelompok masyarakat. Tujuan dan kebutuhannya macam-macam. Bisa sekedar nongkrong, diskusi, ngobrol, bersantai, olahraga dan selfi-selfi. Bagi para youtuber dan blogger, ruang publik merupakan tempat potensial. Sangat cocok untuk buat konten. Tak heran, mereka aktif mencari fasilitas ini hingga berani pergi ketempat jauh. Sekedar memenuhi materi karya yang hendak ditayangkan.
Zaman saya masih bocil, ruang publik tersedia secara alami. Tinggal pergi ke tanah lapang, atau cari sawah yang baru panen, beres dah. Langsung bisa beraktifitas semaunya. Paling sering adalah main bola, kejar-kejaran, sekedar duduk santai dan naikkan layangan. Ada juga yang makan nasi bungkus. Warga yang berkunjung cukup banyak. Paling ramai saat sore hari. Kalau pas hari libur, dari pagi sudah ada yang datang. Malampun kadang digunakan. Jika kebetulan ada hajatan.
Sekarang, utamanya dikawasan perkotaan, ruang publik sengaja diciptakan. Tidak lagi alami. Biaya pembuatan diambil dari anggaran belanja daerah atau negara. Untuk mapping dan model, pemerintah setempat sampai harus sewa arsitek bidang kawasan. Setelah kerja arsitek rampung, barulah dimulai proses pembangunan. Itupun tidak langsung dikerjakan. Lebih dulu harus melewati tahap tender. Pesertanya para pengusaha konstruksi. Begitu semua syarat terpenuhi, pembangunan ruang publik dimulai.
Begitu selesai, tidak dapat langsung digunakan. Wajib melewati tahap uji konstruksi oleh pihak berwenang. Ada peninjauan dan serah terima. Jika dianggap sesuai, beres. Tapi jika tidak, karena ada yang keluar dari spesifikasi, pengusaha harus melakukan perbaikan. Kelar, baru serah terima. Dari pengusaha ke pemerintah. Apakah langsung bisa digunakan oleh masyarakat..? Belum. Masih ada acara peresmian. Mengundang pejabat setempat. Lalu si pejabat pidato ngalor ngidul sana sini. Membanggakan hasil pembangunan ruang publik sebagai karya monumental dirinya. Ribet ya. Tidak seperti jaman saya dulu.
Maka tak heran, jika ruang publik hasil ciptaan yang ada sekarang ini memuat sekian problem. Disamping harus dibuat, masih butuh perawatan lagi. Menggunakan tenaga manusia. Kalau ukurannya luas, butuh dua hingga empat orang. Tentu mereka harus digaji. Mana mau melakukan perawatan kalau tidak ada honor. Ini bukan kegiatan sosial. Tapi profesional. Harus ditangani secara intens dan rutin. Kalau tidak, ruang publik bakal rusak. Dampaknya, warga emoh datang. Uang yang dipakai buat bangun jadi muspro. Tidak berguna. Itulah problem pertama. Ruang publik sekarang ini jadi lahan keuntungan. Pembangunannya perlu kontraktor. Dan perawatannya harus pakai tenaga "kantor". Itu semua, pasti memerlukan dana cukup besar.
Problem berikutnya soal manfaat. Memang benar, ruang publik bebas digunakan oleh masyarakat luas. Siapapun orangnya dan apapun kegiatannya. Namun, kadang juga dimanfaatkan untuk pencitraan. Pelakunya adalah orang yang punya ambisi. Kebanyakan untuk kepentingan politik oknum pejabat. Demi menonjolkan diri dihadapan orang banyak, ruang publik jadi tunggangan. Seakan-akan, tanpa jasa dirinya, fasilitas itu tidak mungkin tersedia. Padahal, dana buat pembangunan berasal dari anggaran pemerintah. Hasil tarikan pajak berbagai komponen. Ya intinya, uang yang dipakai sebenarnya berasal dari rakyat. Karena merekalah yang bayar pajak.
Dulu, ruang publik tersebar luas. Kemana kaki melangkah, disitu gampang ditemukan. Cukup tersedia dilingkungan sekitar. Tidak perlu waktu nyari seharian penuh. Apalagi harus pakai kendaraan karena tempatnya jauh. Sekarang, jangan berharap terlalu tinggi. Menemukan ruang publik butuh usaha ekstra. Baik tenaga dan biaya. Tulis Kompasiana, sudah tak asing lagi kisah "dipadatinya taman sekitar Stasiun Sudirman dan MRT Dukuh Atas dengan anak muda. Beberapa di antaranya berasal dari Citayam dan sekitarnya. Akan tetapi, di balik fenomena ini ada sebuah keprihatinan. Mengapa anak muda asal luar kota ini harus datang jauh-jauh ke DKI Jakarta untuk menikmati taman..?". (Topik Pilihan, 15 Juli 2022). Problemnya adalah, karena daerah disekitar mereka mungkin sulit menemukan Ruang Publik.
Yang ada hanyalah bangunan kokoh, bahkan gedung pencakar langit, dan jalan mulus berjenis hotmix. Memperihatinkan. Dulu, ruang publik gampang ditemukan. Sekarang nyaris "bagai cari jarum dalam jerami". Kecuali memang sengaja diciptakan. Nasib ruang publik begitu miris. Sama sekali tidak dipikirkan. Tertimbun oleh aspal, semen, besi dan pasir.Â
Padahal, kalau menjadi prioritas, keuntungannya tidak terhitung. Punya dampak sosial dan kesehatan. Dikatakan demikian, karena ruang publik merupakan fasilitas bagi warga melakukan interaksi sosial. Disini terjadi saling kenal akrab antar warga. Disisi lain, jika ruang publik berupa ragam tumbuhan bunga dan rimbunan berbagai jenis pohon, menjadi tempat yang asik untuk menenangkan pikiran. Sekaligus menghirup udara bersih. Jantung dan paru-paru jadi kuat. Semoga para pemangku kebijakan memperhatikan ini. Tidak melupakan ruang publik. Bukan hanya melulu bangun gedung dan jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H