Memberi hadiah untuk guru..? Mengapa tidak..? Itu adalah perbuatan mulia. Layak dilakukan oleh seorang murid kepada guru. Karena telah berjasa besar. Memberi bimbingan dan arahan. Baik berupa ilmu pengetahuan dan terutama adab. Lagipula, hadiah merupakan salah satu bentuk kasih sayang. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, Rosulullah Muhammad SAW bersabda : "Saling berbagi hadiahlah agar kalian saling mencintai".
Apa itu guru..? Definisi guru merujuk pada arti umum dan khusus. Guru, menurut arti umum, adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru seperti ini harus memiliki kualifikasi formal. Sekarang ini, untuk bisa mengajar dilembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah wajib berijazah S-1. Sedang untuk perguruan tinggi harus S-2, S-3, dan professor.
Dalam definisi lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dilembaga pendidikan formal dapat disebut seorang guru. Hemat saya, dosen diperguruan tinggi masuk kategori ini. Jadi, guru dalam konteks tersebut adalah sebuah profesi dilembaga pendidikan milik pemerintah mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Karena merupakan profesi, maka guru mendapat gaji tetap dari negara. Besarannya sesuai pangkat, jabatan dan masa kerja. Guru jenis ini saya sebut guru formal.
Secara khusus, arti guru merujuk pada makna yang lebih substansial, ideal dan prinsip. Diringkas dari Kitab Taklimul Muta'alim, menurut Imam Az Zarnudji, guru adalah seseorang yang punya kedudukan sangat tinggi, memiliki kepribadian unggul, kecerdasan ruhaniah dan intelektual, alim, warak (suci) dan soleh. Karena memiliki kepribadian ideal seperti itu, maka dalam kitab Taysir Al-Khallaq (Memudahkan Berakhlak) yang tulis oleh Syekh Hafizh Hasan Al-Mas'udi, seorang ulama di Darul Ulum, Al-Azhar, disebutkan bahwa guru adalah seorang penuntun, baik mendapat gaji atau tidak, bagi seorang murid. Tujuannya, agar murid bisa meraih kesempurnaan ilmu pengetahuan dan tingkah laku yang beradab.
Dikalangan santri Indonesia, ada ragam kesibukan tokoh agama islam yang acapkali disebut guru. Ini saya sebut dengan istilah guru kultural. Meskipun para santri tidak pernah nyantri atau menimba ilmu kepada yang bersangkutan. Beberapa kesibukan tersebut adalah, pertama da'i atau pendakwah. Yaitu seseorang yang menyampaikan ceramah, khususnya tentang keagamaan melalui pidato dipodium atau lewat tulisan di media. Kedua, ulama. Adalah seseorang yang punya ciri khusus diantaranya luas ilmu, khusyu (tenang), tidak sombong, takut kepada Allah, qona'ah, bersahaja, senantiasa mengajak pada kebaikan, kasih sayang, menjahui maksiat, hati lembut, lapang dada, rendah hati, tidak berharap hadiah, jauh dari ambisi dan sesuatu yang bersifat duniawi.
Ketiga Syekh, Habib dan Kyai. Ketiganya sama dengan pengertian ulama. Namun ada ciri tertentu. Syekh dan Habib disematkan kepada pemimpin atau bangsawan. Kalau Syekh berusia lanjut, sedang Habib punya garis nasab keturunan Nabi SAW. Sementara Kyai, selain punya kriteria sama dengan ulama, juga merupakan sebutan dalam bahasa Jawa bagi seorang yang punya kelebihan atau karomah tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Dilingkungan sekitar, Kyai sangat dihormati, dikeramatkan, bahkan kadang disakralkan.
Keempat Gus. Adalah julukan bagi putra Kyai. Jika kebetulan sang Kyai merupakan pengasuh Pondok Pesantren, seorang Gus dipersiapkan sebagai putra mahkota. Kelak menjadi pengganti posisi beliau sebagai pengasuh. Sebutan Gus berbeda dibeberapa wilayah. Di Pulau Madura atau daerah-daerah berbahasa Madura, seorang Gus disebut dengan istilah Lora. Di wilayah-wilayah tertentu, Gus juga disebut dengan istilah Mas.
Kelima Ustadz. Kata jamaknya adalah asatidz. Dalam bahasa Indonesia berarti guru yang mengajar ilmu agama Islam. Keenam Faqih. Adalah sebutan bagi seorang guru yang memiliki ilmu fiqh sangat luas. Mampu melakukan ijtihad. Punya referensi kitab sangat banyak. Dalilnya tak terhitung. Serta punya otoritas mengeluarkan fatwa. Ketujuh Mursyid. Yakni sebutan bagi guru yang mengajarkan thariqah atau tarekat. Seorang mursyid bertugas membimbing murid agar bisa menemukan jalan sedekat mungkin dihadapan Allah SWT.
Di Indonesia, terutama kaum santri, istilah Pendakwah/Da'i, Ulama, Syekh, Habib, Kyai, Ustadz, Gus, Faqih dan Mursyid dianggap sebagai guru. Sementara umat islam yang aktif berinteraksi dengan mereka untuk suatu keperluan, disebut sebagai murid. Jadi, berdasar beberapa keterangan diatas, istilah murid dinegara kita sebenarnya merujuk pada dua golongan. Yaitu sekelompok anak atau orang dewasa yang sedang menempuh pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi formal. Disamping itu, juga merujuk pada segolongan umat islam yang suka mendengar ceramah, sedang mencari ilmu dan tengah berada dalam bimbingan guru.
Baik guru formal dan terutama yang kultural, merupakan profesi prestisius, terhormat dan membangggakan. Bahkan, pada situasi tertentu juga menjanjikan satu kelebihan. Ironisnya, oleh segelintir orang tak bertanggung jawab, acapkali dijadikan alat meraih popularitas dan keuntungan materi. Akibatnya, belakangan ini muncul istilah tokoh agama dadakan. Tak punya kapasitas dan kredibilitas sebagaimana kriteria diatas, tapi berani menyematkan lebel Habib, Kyai, Gus dan Ustadz. Kemana-mana memperkenalkan diri sebagai keturunan Rasul, putra Kyai dan ahli agama. Tapi ilmunya cetek dan akhlaknya buruk. Baca Quran dan Hadits belepotan. Apalagi disuruh baca kitab kuning. Pasti gelagapan. Bisanya cuma simak terjemahan. Hanya dari satu sumber lagi. Malas mencari referensi lain.