Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sumber Ilmu dan Benteng Kebangsaan Itu Telah Pergi

28 Mei 2022   00:13 Diperbarui: 28 Mei 2022   08:05 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buya Syafii Maarif| Dok. KOMPAS.com/Ihsanuddin

Dalam Kitab Syarah terbitan Beirut, Dar Al-ihya' At-turats Al-Arabi, Juz 16, Imam Nawawi menulis: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hamba-Nya (seketika), akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mencabut para ulama, sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu pun dari ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan." (NU Online, 4 Juli 2021).

Adalah Danang Aji Saputra, Mahasiswa Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya UIN. Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Skripsinya Tentang Ahmad Syafii Maarif, menulis MOTTO demikian: "Republik ini adalah karya bersama. Bukan karya yang mengaku mayoritas. Minoritas ikut berbuat. Ada tokoh Kristen, Katolik, Cina". (dikutip dari Twitter @Serambi Buya, 1 Juli 2019).

Apa maksud dua pernyataan diatas..? Imam Nawawi hendak memberitahu, bahwa wafatnya seorang ulama, sama dengan dicabutnya salah satu ilmu dari muka bumi ini. Lewat kutipan Danang Aji Saputra, Buya Syafii Maarif ingin memberi penegasan, bahwa Indonesia ini bukan hanya milik kelompok mayoritas (islam). Melainkan juga milik golongan minoritas. Dua kelompok ini punya hak yang sama. Tidak boleh ada satu pun yang merasa superior dibanding yang lain.

Innalillahi Wa Inna Ilaihih Roji'un. Ucapan duka ini bukan hanya pantas diucapkan karena wafatnya salah satu ulama besar Indonesia, Buya Syafii Maarif. Lebih dari itu, patut digaungkan pula atas hilangnya salah satu ilmu tentang nilai kebangsaan dan keindonesiaan. 

Bersamaan dengan terangkatnya ruh penuh cahaya dari jasad Buya. Telah berkurang lagi seorang tokoh pemersatu bangsa macam Gus Dur. Kita, terutama umat muslim yang satu habitat dengan beliau, sangat patut untuk prihatin. Mengingat, berpulangnya tokoh itu kehadapan Allah SWT. makin menambah berat beban perjuangan kita dalam melindungi hak-hak saudara-saudara kita non muslim.

Semoga, masih akan muncul lagi generasi penerus para beliau. Agar dicabutnya ilmu sebagaimana dimaksud oleh Imam Nawawi, segera tumbuh lagi di alam ilmu pengetahuan Indonesia. Dan hilangnya tokoh penguat nilai-nilai kebangsaan seperti Buya yang di kutip pernyataannya oleh Danang Aji, dapat ditemukan kembali di bumi nusantara. 

Atas wafatnya Buya Syafii Maarif, kita bangsa Indonesia wajib berdoa, semoga tumbuhnya ilmu baru dan munculnya tokoh pengganti pemersatu bangsa, didatangkan lagi oleh Allah SWT.

Perjalanan Buya memimpin Muhammadiyah dari tahun 1998 hingga 2005, tidak bisa dibanding dengan tokoh lain. Masa kepemimpinan beliau penuh tantangan berat. Terjadi saat masa-masa transisi. Dimana kala itu, bangsa Indonesia tengah dilanda ancaman perpecahan akibat konflik dan maraknya radikalisme. 

Bersama-sama tokoh pemersatu bangsa yang lain, Buya ikut berdiri didepan. Menggunakan wadah wawasan kebangsaan yang beliau miliki, berupaya menghimpun kembali serpihan-serpihan suku yang sempat hendak tercerai berai. Agar menyatu kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Berbekal keterbukaan ilmu agama yang diserap nyaris sempurna dari Kanjeng Nabi Muhammad, beliau gunakan sebagai perisai melawan serangan kelompok radikal. 

Dengan tidak melupakan tokoh lain yang juga turut berjasa, kita semua harus sadar, bahwa perjuangan melawan perpecahan dan radikalisme yang sekarang ini sudah relatif nampak hasilnya, harus diakui ada kontribusi dari beliau. Semoga keberhasilan ini menjadi salah satu sebab terangnya sinar cahaya alam kubur beliau. Amin..

Rasanya, tidak cukup kata-kata untuk menggambarkan kelebihan beliau. Bicara soal kesederhanaan, jangan lagi ditanya. Sulit mencari tandingan. Tapi yang paling istimewa menurut saya adalah konsistensi beliau untuk tetap menjadi manusia Indonesia. Dengan segudang ilmu pengetahuan dan seluas pengalaman yang dimiliki, beliau tidak sedikitpun berubah. Apa adanya. Biasa-biasa saja.

So, tahukah Anda, bahwa beliau pernah belajar didunia barat, merupakan salah satu mahasiswa Universitas Ohio dan Universitas Chicago di Amerika Serikat..? Dengan latar belakang pendidikan macam ini, tanpa ragu Anda pasti akan menggolongkan beliau sebagai ulama elit yang memiliki kapasitas intelektual sangat mumpuni. Tanpa ada keraguan sedikitpun.

Lalu, dengan kelebihan seperti itu, apakah ada perubahan model dalam tampilan beliau sehari-hari..? Ternyata tidak. Baju, celana, sarung, kopyah dan bahkan sandal jepit tetap menjadi ciri khas beliau sehari-hari. Apalagi soal kendaraan. Beliau enjoy saja, santai naik sepeda ontel. Tanpa ada rasa gengsi sedikitpun.

Kalau saya, mungkin tidak begitu. Punya kesempatan bisa menempuh pendidikan di barat, pastilah gengsi jika masih harus menunjukkan identitas "kampungan". Begitu pulang ke Indonesia, budaya lokal langsung disingkirkan. Dan sikap borjuis wajib ditunjukkan. 

Pemikiran..? Jangan lagi menggunakan dasar-dasar religiusitas. Itu sudah kuno. Ketinggalan zaman. Yang pantas adalah sekularisme. Agar nampak didepan orang banyak, bahwa saya lulusan barat, tak lupa pakai jas dan dasi.

Jika misalnya saya lulusan timur tengah, sikap serupa akan terjadi. Meskipun modelnya berbeda. Bagaimana itu..? Ya puritan adalah pemikiran utama. Tak penting itu keterbukaan ilmu pengetahuan. Karena menyebabkan orang tercerabut dari akar kebenaran yang hakiki. 

Soal penampilan..? Kalau perlu ada transformasi. Tinggalkan sarung, kopyah dan identitas nusantara lainnya. Lebih afdhol pakai atribut ala timur tengah. Agar ada pengakuan dari orang-orang sekitar, bahwa saya adalah tokoh yang alim allamah.

Tapi untungnya, yang begitu itu adalah saya. Bukan Buya Syafii Maarif. Karena mental saya, sangat jauh dibanding kepribadian beliau. Makanya saya yakin, di manapun beliau berada, jenis pendidikan apapun yang dtempuh, beliau tidak akan pernah berubah sedikitpun. Baik berubah menjadi sekuler atau puritan.

Selamat jalan Buya. Saya yakin Buya khusnul khotimah. Jika selama ini Buya hanya bisa berinteraksi dengan umat Kanjeng Nabi, maka kini saatnya Buya sendirilah yang akan langsung berhadapan dengan Beliau Rosulullah SAW. Alfatihah untuk Buya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun