Dalam Kitab Syarah terbitan Beirut, Dar Al-ihya' At-turats Al-Arabi, Juz 16, Imam Nawawi menulis: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hamba-Nya (seketika), akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mencabut para ulama, sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu pun dari ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan." (NU Online, 4 Juli 2021).
Adalah Danang Aji Saputra, Mahasiswa Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya UIN. Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Skripsinya Tentang Ahmad Syafii Maarif, menulis MOTTO demikian: "Republik ini adalah karya bersama. Bukan karya yang mengaku mayoritas. Minoritas ikut berbuat. Ada tokoh Kristen, Katolik, Cina". (dikutip dari Twitter @Serambi Buya, 1 Juli 2019).
Apa maksud dua pernyataan diatas..? Imam Nawawi hendak memberitahu, bahwa wafatnya seorang ulama, sama dengan dicabutnya salah satu ilmu dari muka bumi ini. Lewat kutipan Danang Aji Saputra, Buya Syafii Maarif ingin memberi penegasan, bahwa Indonesia ini bukan hanya milik kelompok mayoritas (islam). Melainkan juga milik golongan minoritas. Dua kelompok ini punya hak yang sama. Tidak boleh ada satu pun yang merasa superior dibanding yang lain.
Innalillahi Wa Inna Ilaihih Roji'un. Ucapan duka ini bukan hanya pantas diucapkan karena wafatnya salah satu ulama besar Indonesia, Buya Syafii Maarif. Lebih dari itu, patut digaungkan pula atas hilangnya salah satu ilmu tentang nilai kebangsaan dan keindonesiaan.Â
Bersamaan dengan terangkatnya ruh penuh cahaya dari jasad Buya. Telah berkurang lagi seorang tokoh pemersatu bangsa macam Gus Dur. Kita, terutama umat muslim yang satu habitat dengan beliau, sangat patut untuk prihatin. Mengingat, berpulangnya tokoh itu kehadapan Allah SWT. makin menambah berat beban perjuangan kita dalam melindungi hak-hak saudara-saudara kita non muslim.
Semoga, masih akan muncul lagi generasi penerus para beliau. Agar dicabutnya ilmu sebagaimana dimaksud oleh Imam Nawawi, segera tumbuh lagi di alam ilmu pengetahuan Indonesia. Dan hilangnya tokoh penguat nilai-nilai kebangsaan seperti Buya yang di kutip pernyataannya oleh Danang Aji, dapat ditemukan kembali di bumi nusantara.Â
Atas wafatnya Buya Syafii Maarif, kita bangsa Indonesia wajib berdoa, semoga tumbuhnya ilmu baru dan munculnya tokoh pengganti pemersatu bangsa, didatangkan lagi oleh Allah SWT.
Perjalanan Buya memimpin Muhammadiyah dari tahun 1998 hingga 2005, tidak bisa dibanding dengan tokoh lain. Masa kepemimpinan beliau penuh tantangan berat. Terjadi saat masa-masa transisi. Dimana kala itu, bangsa Indonesia tengah dilanda ancaman perpecahan akibat konflik dan maraknya radikalisme.Â
Bersama-sama tokoh pemersatu bangsa yang lain, Buya ikut berdiri didepan. Menggunakan wadah wawasan kebangsaan yang beliau miliki, berupaya menghimpun kembali serpihan-serpihan suku yang sempat hendak tercerai berai. Agar menyatu kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Berbekal keterbukaan ilmu agama yang diserap nyaris sempurna dari Kanjeng Nabi Muhammad, beliau gunakan sebagai perisai melawan serangan kelompok radikal.Â