Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Mertua, Menantu, dan Keluarga Ideal

15 Mei 2022   12:17 Diperbarui: 15 Mei 2022   12:24 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara Mertua, Menantu Dan Keluarga Ideal

Hadir pada acara walimah. Tuan rumah yang mengundang masih terhitung famili. Dia menikahkan anak pertamanya. Seorang putri. Dapat suami pemuda tetangga kecamatan.

Yang menarik adalah mauidhah hasanah. Atau ceramah nikah yang disampaikan kyai setelah akad. Seorang ulama yang cukup disegani diwilayah tersebut. Namanya KH. Muhammad Hasyim Sonhaji. 

Saya simak, ada dua hal yang penting dari dawuh beliau. Pertama, tentang hubungan menantu dan mertua. Kedua, tentang rumah tangga ideal.

Mengawali ceramahnya, Kyai mengulas tentang mahrom. Yakni orang yang haram untuk dinikahi. Bahwa dilihat dari latar belakang, atau sebab akibat, mahrom terbagi menjadi tiga. Satu mahrom karena nasab. Yang masuk jenis ini adalah  bapak, ibu, anak, adik, kakak, paman, bibi, kakek, nenek.

Dua, mahrom karena persusuan. Yaitu dua orang laki dan perempuan yang saat masih bayi menyusu pada satu orang yang sama. Syarat menjadi mahrom persusuan adalah usia bayi belum dua tahun dan minimal ada lima kali persusuan.

Tiga, mahrom karena sebab. Yaitu bapak dan ibu mertua, menantu, serta kakek nenek mertua. Ada satu lagi, yakni anak tiri. Dengan syarat, orang tuanya sudah pernah berkumpul (berhubungan badan).

Seorang laki-laki yang telah akad nikah, maka saat itu juga berlaku mahrom dihadapan bapak ibu mertua. Karena sebab pernikahan tadi. 

Sebagai mahrom, kedudukan, perlakuan dan tanggung jawab suami terhadap mertuanya, sama dengan yang dimiliki istri kepada bapak ibunya. 

Suami wajib memperlakukan kedua mertuanya, persis seperti perlakuan kepada bapak ibunya sendiri. Tidak boleh ada perbedaan. Dalam segala hal dan kondisi apapun.

Termasuk juga soal panggilan. Kyai tadi mencotohkan, setelah akad, suami maupun istri dilarang menyebut bapak ibu mertua masing-masing dengan julukan "bapakmu" atau " ibumu". Tapi sebutlah dengan panggilan "bapakku" dan "ibuku". Tidak ada lagi istilah "bapak ibumu". Yang ada hanyalah "bapak ibuku".

dokpri
dokpri

Dari segi tanggung jawab juga demikian. Menantu wajib merawat mertua, sebagaimana merawat bapak ibu sendiri. Jika kondisi mereka sudah sepuh, tidak bisa lagi cari nafkah, maka yang wajib menafkahi adalah menantu. 

Laparnya seorang mertua, di hadapan menantu sama dengan laparnya bapak ibu sendiri. Membiarkan mertua tidak terawat secara sengaja, sama saja dengan menelantarkan bapak ibu sendiri. Dan hal ini dilarang oleh agama. Jika sengaja melakukan, hukumnya dosa besar. Membiarkan mertua kelaparan dan ditelantarkan, sama berdosanya dengan membiarkan bapak ibu sendiri dalam kondisi lapar dan terlantar.

Yang terakhir, Kyai tadi menjelaskan tentang rumah tangga ideal. Bahwa rumah tangga ideal adalah sebagaimana yang terjadi pada keluarga Rosulullah SAW. Seperti apa hubungan suami istri yang benar, ya seperti yang ditunjukkan oleh beliau dan istri-istri beliau. Model keluarga beliau tersebut, juga ditunjukkan oleh para sahabat. Sehingga, kondisi keluarga para sahabat, rata-rata menjadi rumah tangga yang ideal ketika itu.

Sekarang ini kata Kyai, model keluarga ideal sebagaimana gambaran pada jaman kanjeng nabi dan para sahabat, sudah sulit ditemukan. Mengapa, karena tempat bertanya sebagai sumber rujukan jika terjadi selisih paham antara suami istri, sudah tidak ada lagi. Dulu, ketika para sahabat berselisih dengan pasangan masing-masing, pengaduannya langsung kepada Rosul SAW. Petunjuk dari nabi itu yang dijadikan pedoman oleh para sahabat untuk menyelesaikan perselisihan.

Saat menerima petunjuk, para sahabat melaksanakannya tanpa reserve. Tidak ada protes. Apalagi diskusi. Pokoknya, apa yang disarankan Nabi, ya itu yang diwujudkan. Mengapa demikian, karena petunjuk yang didapat, baik berdasar dawuh langsung yang berupa sunnah dan hadits atau sikap beliau, sifatnya absolut. Pasti betul. Mutlak benar. Karena langsung bersumber dari Allah SWT.

Sekarang, petunjuk semacam itu jelas sudah tidak ada. Karena Rosul SAW sudah wafat 14 abad silam. Rata-rata, dalam soal rumah tangga, tiap umat islam mengalami masalah yang sama. Termasuk yang tergolong ulama sekalipun. Lha bagaimana mereka akan memberi petunjuk, jika masalah yang diadukan juga dialami oleh mereka..?

Diakui atau tidak, gambaran rumah tangga ideal jaman nabi sangat sulit untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Bagaimana tidak, hubungan yang terjalin antara nabi dan para istri beliau, penuh dengan suasana harmoni, tenang, saling mengerti dan sebagainya. Yang jika digambarkan dengan kata-kata, rasanya tidak akan cukup. Dari saking idealnya kondisi rumah tangga beliau.

Lalu apa yang semestinya dilakukan oleh para pasangan suami istri di jaman sekarang ini..? 

Kata Kyai, yang bisa dilakukan adalah berproses untuk menjadi ideal. Berproses artinya, ada upaya semaksimal mungkin untuk meniru keluarga nabi. Karena memang itu tidak mungkin dan terlalu sulit, maka cukuplah sampai dimana usaha itu dilakukan. Jangan sampai memaksakan diri. Karena yang dilihat oleh Allah itu bukan hasilnya. Tapi usahanya. Demikian ringkasan dawuh Kyai dalam acara walimah tadi. Semoga bermanfaat. Amiinn...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun