pemilu merupakan instrument terpenting dalam mengukur tingkat demokrasi suatu  negara. Indonesia, dalam sejarah perjalanannya telah berhasil menyelenggarakan pemilu sebanyak 12 kali dengan beragam konstelasi politik yang melingkupinya.
Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan umum  merupakan titik awal strategis bagi peningkatan kualitas demokrasi. Hal ini bermakna bahwaPolemik  pemilu 2024 dalam beberapa pekan terakhir menjadi pembahasan hangat di tengah masyarakat hingga politikus. Pada Tahun 2013, muncul keputusan baru dari Mahkamah Konstitusi terkait  model penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk pemilihan umum berikutnya. Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa jika pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diadakan setelah pemilihan umum legislatif, hal ini akan berdampak pada melemahnya sistem Presidensial. Jika pemilu diadakan secara serentak, maka akan menimbulkan peluang terjadinya coattail effect. Namun apa yang dimaksud dengan coattail effect  dan apakah memiliki pengaruh yang besar dalam keberjalanan pemilu itu sendiri?
Coattail effect atau efek ekor jas menjadi salah satu bahasan yang menarik ketika menjelang masa-masa pemilihan umum.  Coattail effect ini dapat diartikan sebagai "efek ikutan" dari seorang tokoh figur yang terlibat dalam pemilihan. Coattail effect mulai sering dibicarakan pada sekitar tahun  2010 ke atas, baik dalam ruang diskusi akademisi maupun publik. Pada saat pemerintahan SBY, coattail effect mampu membuat partai yang mengusungnya yakni partai demokrat memperoleh peningkatan suara yang signifikan. Oleh karena itu, Kenaikan yang signifikan ini, banyak pengamat yang berpendapat bahwa coattail effect berpengaruh besar pada saat itu.
Coattail effect atau yang biasa di sebut dengan efek ekor jas, seringkali dijadikan taktik dalam politik sebagai tolak ukur dan parameter untuk menentukan dukungan terhadap seorang kandidat dalam pemilu. Pengamat politik dan Direktur Arus Survei indonesia (ASI), Ali Irfan, menilai perindo mengincar coattail effect di balik keputusannya mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) pada pemilu 2024 mendatang. Dukungan terhadap ganjar bisa membawa dampak positif bagi partai politik yang mendukung. Bukan tidak mungkin, popularitas ganjar dapat mendongkrak elektoral partai politik yang mendukungnya.
Melihat dinamika politik saat ini, ada dua tokoh calon presiden yang sedang diburu efek ekor jas nya, yakni Ganjar dan Prabowo, di mana keduanya memiliki elektabilitas yang cenderung stabil. Dalam berbagai survei, secara elektabilitas dukungan terhadap ganjar cenderung naik dan turun. Ganjar selalu bersaing ketat dengan Prabowo. Namun, penurunan elektabilitas ganjar tidak drastis sehingga dukungan publik terhadap dirinya masih cenderung stabil, dan apabila seorang calon presiden memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi, maka akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon presiden. Namun sebaliknya, ketika capres tidak populer dan memiliki tingkat elektabilitas rendah, maka akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara  partai yang mengajukan dia sebagai calon presiden.
Dalam konteks pemilu serentak di indonesia, terdapat fenomena yang tidak linear. Hal tersebut berdasarkan hasil evaluasi Perludem terhadap Pemilu Serentak tahun 2019. "Ada kemungkinan pemilih yang memilih calon presiden mengosongkan kertas suara untuk pileg, sehingga hasil pilpres dan pileg tidak linear sebagaimana asumsi pemilu serentak coattail effect". Â Bahkan dari banyak pengalaman, pemilih tidak otomatis memilih calon presiden yang didukung partai atau calon anggota legislatif yang dipilihnya. Pemilih memilih calon presiden dari koalisi tertentu dan memilih calon anggota legislatif dari partai yang bernaung dalam koalisi berbeda.p
Perludem mencatat partai pengusung Jokowi-Ma'ruf meraup suara 62,01% sementara hasil pilpres yaitu 55,5%. Selisih antara pilpres dan pileg tercatat 6,51%. Kemudian pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendapatkan suara 44,5%. Total koalisi partai pengusung meraup 37,98%. Selisih antara pilpres dan pileg tercatat 6,52%. Seperti di ketahui pasangan Jokowi-Ma'ruf di usung dan didukung sebanyak 10 partai. Pasangan Prabowo-Sandiaga sebanyak 5 partai. Perludem menegaskan problematik sistem proposional terbuka dan multi partai dalam design pemilu serentak bahwa coattail effect tidak bekerja maksimal dengan sistem pemilu seperti ini. "Coattail effect dan political efficat hanya mungkin bekerja pada sebuah sistem pemilihan yang tidak memberikan alternatif pilihan terlalu banyak."
Dalam konteks Pilpres dan Pileg 2024 yang akan di gelar serentak, diprediksi akan lebih dari dua calon pasangan capres-cawapres. Peserta pemilu atau partai politik meningkat dari 14 partai pada 2019 menjadi 18 partai pada 2024. Untuk kepentingan coattail effect ini, partai bahkan rela melakukan kontrak politik kepada tokoh tersebut, dengan harapan adanya sejumlah konsesi yang dapat diraih manakala akhirnya tokoh tersebut terpilih. Hal ini terutama dipicu oleh situasi di mana partai menyadari bahwa keberadaannya tidak cukup di kenal dan meyakini suara mereka dapat terdongkrak jika mendukung tokoh populer tersebut. Situasi seperti ini sebenernya tidak sehat bagi proses kaderisasi dan kemandirian partai.
Terkait kaderisasi dalam coattail effect ini, yang dikorbankan adalah hasil proses pengaderan. Kaderisasi itu idealnya terkait erat dengan seleksi pilitik berjenjeng yang berujung pada kandisasi kader untuk mengisi jabatan jabatan publik, termasuk untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Namun, skema ideal ini rusak karena partai dengan gampang nya justru mengusung kandidat yang bukan kadernya.
Sementara dalam hal kemandirian, maka kebergantungan partai pada sosok tertentu akan mengurangi kebebasan atau otonom partai dalam berkehendak, karena harus mempertimbangkan orientasi dan kepentingan kandidat presiden  itu. Meski bisa jadi tokoh itu tidak seutuhnya mampu mengendalikan partai, yang manakala ini terjadi disebut sebagai presidentialized parties, partai jelas menjadi subordinat atau singkatnya mereka harus mengakomodasikan kepentingan kandidat populer itu, agar tetap diakui sebagai bagian dari pendukungnya, berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, efek ini muncul secara alamiah dari performa seorang kandidat presiden terhadap partainya, di beberapa negara efek ini diciptakan oleh partai-partai agar dapat berhasil dalam kontestasi elektoral.
Dampak coattail effect ini, bisa kita lihat dari salah satu tokoh yaitu, popularitas seorang Ronald Reagan merupakan salah satu kasus fenomena efek ini. Dengan popularitasnya itu, Reagan mampu membantu meningkatkan jumlah suara untuk partai, khususnya bagi para senator dan anggota DPR pada 1980-an, yang menyebabkan kemudian partai republik kembali menjadi mayoritas di parlemen. Sebaliknya, popularitas Barack Obama amat membantu Partai Demokrat untuk dapat menguasai parlemen di era nya, setelah sebelumnya berada dalam genggaman kekuasaan partai politik.
Analisis coattail effect dapat dilakukan dengan cara membandingkan perolehan suara dalam pemilihan presiden dengan perolehan suara partai politik dalam pemilu legislatif. Cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan membandingkan partai yang mengusung kedua calon presiden yang menang dalam pemilu, dengan partai-partai yang mengusung calon presiden yang kalah dalam pemilu. Teknik pengumpulan data bisa berupa wawancara, dokumentasi, dan forum group discussion (fgd). Hasil penelitian menunjukan bahwa, perolehan suara capres hanya berpengaruh pada perolehan partai asal calon presiden dan partai yang mengusung pasangan calon presiden secara konsisten pada tahun 2014 dan 2019.
Dalam kasus Indonesia, pada tahun 2009 Partai Demokrat dapat dijadikan contoh bagaimana coattail effect itu bekerja. Dari hanya mendapatkan 7,45% pada 2004, Demokrat menjelma menjadi kekuatan politik dengan perolehan suara 20,85% lima tahun kemudian, karena di antaranya faktor Presiden SBY. Namun demikian, situasi tersebut relatif tidak terjadi di Indonesia saat ini. Berdasarkan hasil sementara perhitungan suara oleh beberapa lembaga termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), memeperlihatkan bahwa PDIP tidak mengalami lonjakan jumlah pemilih yang signifikan, meski Presiden Joko Widodo yang notabene adalah kadernya. Hal yang sama juga kurang lebih terjadi pada Partai Gerindra sebagai partainya Prabowo Subianto, di mana kisaran suara yang didapatkan tidak melonjak dengan drastis.
Coattail effect pada akhirnya hanya merupakan bonus. Dari kasus pemilu 2019 terlihat bahwa keberadaannya jelas tidak bisa di harapkan untuk dapat membantu partai memperoleh suara. Kasus di atas memberikan pelajaran bahwa pada akhirnya partai-partai tidak dapat mengandalkan sekedar figur atau sosok kandidat terkenal untuk dapat memenangkan kontestasi atau setidaknya mendapatkan hasil yang memuaskan. Alih-alih partai politik harus terus membangun dan memperkuat mesin partai secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain pula, partai harus benar-benar menjadi institusi modern yang tidak sekadar mengandalkan figur tertentu, baik dari internal atau eksternal partai.`
SUMBER
"Dukung Ganjar Capres 2024, Perindo disebut Incar Coattail Effect.", IDN TIMES. Di akses  pada 7 Oktober 2023 dari Dukung Ganjar Capres 2024, Perindo Incar Coattail Effect (idntimes.com)
Bambang Eka Cahya Wijayanti, Purwaningsih, Septi Nur, Titin Widodo, (2019). Coattail Effect Dalam Pemilu Serentak 2019. UMY Repository. Di Akses pada 7 Oktober 2023 dari http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/34111.Â
Iqbal, Kurniawan. (2022). Coattail Effect: Tantangan atau Keuntungan bagi Pembangunan Politik Indonesia. Di Akses pada 7 Oktober 2023 dari Coattail Effect: Tantangan atau Keuntungan bagi Pembangunan Politik Indonesia  #tugaskuliahiqbal | by Iqbalkurniawan | Medium
Amalia, Salabi. (2021). Coattail Effect Jokowi-Ma'ruf terhadap PDIP dan Partai-Partai Pengusung. rumahpemilu.org. Di akses pada 7 Oktober 2023 dari Coattail Effect Jokowi-Ma'ruf terhadap PDIP dan Partai-Partai Pengusung - Rumah Pemilu
"Meredupnya Coattail Effect.", SINDONEWS.com. Di akses pada 7 Oktober 2023 dari Meredupnya 'Coattail Effect' (sindonews.com)
M. Rodhi, Aulia. (2023). PEMILUPEDIA: Melihat Coattail Effect di Pemilu Serentak. medcom.id. Di akses pada 7 Oktober 2023 dari PEMILUPEDIA: Melihat Coattail Effect di Pemilu Se6666rentak (medcom.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H