Mohon tunggu...
Zaid Abdurrahman
Zaid Abdurrahman Mohon Tunggu... -

Zaid Abdurrahman alias Zabade lahir di Bukittinggi. Dengan hobinya menulis, membaca, dan bersandiwara membuatnya selalu berusaha agar menjadi penulis terkenal. :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesaksian Singgalang

23 Maret 2014   20:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singgalang adalah saksi. Saat aku dan kamu berdiri tegap di hadapannya. Kau tersenyum, dan duduk di bangku beton berselonjor kaki. Aku menurut saja. Duduk di sampingmu entah kenapa terasa menyenangkan. Tertawa, bercanda, di lembah yang berada di antara Singgalang dan Merapi ini.

Kau tertawa kembali, menunjuk ubun-ubunku yang sedari tadi dihinggapi kupu-kupu kecil. “Sayapnya cokelat mengkilat, sama seperti warna matamu,” bisikmu. Perlahan kucoba menangkap kupu-kupu itu. Sayang, baru mengayunkan tangan saja kupu-kupu itu terbang menjauh. Aku menyeringai, kaupun tersenyum. Alamak! Senyum yang menyenangkan! Singgalang, aku hampir pingsan!

Kamu berdiri, berlari menyebrangi perkebunan yang luas sejauh mata memandang. Aku mengejarmu, namun engkau berlari terlalu cepat. Badanku letih.

“HEI! Kamu mau kemana?!” sahutku keras.

“Suatu tempat,” ucapmu bernada sedang.

“Kau akan kembali kan?”

“Mungkin,” ungkapmu sambil lalu, dan menghilang.

***

Singgalang adalah saksi. Saat kamu membaca sehelai kertas di tengah padang ilalang. Aku duduk, menyaksikanmu membacakan beberapa bait puisi yang engkau ciptakan sendiri.

Kami ini bagai pinang dibelah dua,

Rindu nian ingin bersua,

Itulah yang kami pinta,

Oh Singgalang tercinta.

Tak usah kau bersedih,

Itu hanya menambah perih,

Lebih baik engkau bertasbih,

Menenangkan hati yang risih,

Oh Singgalang nan bersedih.

Singgalang, aku tertawa pelan.  Dia membawamu ke lembaran bait puisinya. Kamu membungkuk, layaknya tampil di depan opera. Tepuk tanganku mengiringi gerak-geriknya. Lumayanlah, puisinya tak buruk-buruk amat.

Kamu menarikku kembali menuju bangku beton tempat kami bertemu kemaren. Aku kembali menurut, bagiku ini menyenangkan. Sakumu kaurogoh mengambil sesuatu. Itu sebuah spidol hitam. Kau coret namaku dan namamu di permukaan bangku itu. Sekilas kamu memandangku.

“Bangku beton dan Gunung Singgalang itu,” katamu sambil menunjuk Gunung Singgalang, ”Menjadi bukti persahabatan kita. Persahabatan abadi yang akan bertahan lama.”

“Asalkan tidak berkhianat.”

“Kata ‘berkhianat’ telah kucoret dalam kosakataku.”

Oh, Singgalang, bersaksilah atas persahabatan kami ini. Menjadi bukti bersama bangku beton yang kami duduki ini.

***

Singgalang adalah saksi. Saksi saat kau menghancurkanku secara pelan. Kau membawa seseorang, yang kau “ocehkan” sebagai penggantiku.

“Katamu kau tidak akan berkhianat!”

“Maaf, itu dulu. Sekarang tidak.”

“Tapi…kenapa?” Suaraku parau.

“Kau itu kaya! Sedangkan aku? Kau sendiri kan tahu! Aku juga ingin kaya. Salah satu caranya yaitu berteman denganmu. Tapi, ada yang lebih kaya daripada kamu. Temanku ini bahkan mau memberikanku sebuah rumah. Kamu? Tidak! Tidak sama sekali!” Desisnya.

“Kau…kau ini lintah!”

“Baah! Siapa pula yang mau berteman dengan orang yang sumbing dan buta sebelah sepertimu!”

Kau mendorongku sekuat tenaga sampai diriku terjatuh. Aku meringis. Orang disampingmu tertawa, dan mengajakmu pergi meninggalkanku sendiri. Oh, Singgalang! Teganya dia mengkhianatiku! Tidak hanya aku, bangku beton yang menjadi bukti persahabatan kami dulu ia khianati juga. Dan parahnya, dia mengkhianatimu Singgalang!!!

***

Singgalang adalah saksi. Saksi bisu kejadian hari itu. Saat aku menggiringmu di sebuah pondok dekat padang ilalang tempat kau berpuisi dahulu. Kau bertanya-tanya, itu pasti. Siapa pula yang tidak heran teman yang jelas-jelas dikhianati berbaik hati membawamu ke suatu tempat. Tempat dimana kisah sedih ini akan berakhir. Tempat dimana kamu harus pergi. Pergi selama-lamanya.

BRUKKKHH!!!

Kau tergeletak berdarah-darah di pondok itu. Perlahan-lahan nafasmu tersengal, melambat, dan berhenti. Aku memikulmu ke tepi pondok, dimana telah menganga lubang besar sepanjangmu. Kau kulempar ke dalam lubang itu, dan hanya bisa terdiam saat tanah menguburmu sedikit demi sedikit.

Singgalang, aku terpaksa membunuhnya.

***

Bukittinggi, 26 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun