Mohon tunggu...
Niswatuzzakiyah
Niswatuzzakiyah Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance writer

Menebar manfaat sebanyak-banyaknya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Asa

2 Maret 2021   17:00 Diperbarui: 2 Maret 2021   17:16 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau dapat berapa?”

Bocah berkepala pelontos itu merogoh dan mengeluarkan sebuah plastik dari dalam saku celananya. Menghitung satu per satu uang receh dan beberapa lembar uang kertas hasil ngamen perdananya hari ini.

“Alhamdulillah. Lima puluh ribu!” jawabnya riang.

“Wah, lumayan juga. Aku cuma tiga puluh ribu,”

“Harus tetap bersyukur, Kak.”

Aku mengangkat bahu. Sejenak kutatap bocah kecil yang ada di hadapanku ini. Asa. Nama yang unik. Seorang bocah lelaki berusia sekitar tujuh tahun yang dengan penuh percaya diri menemuiku dan menyatakan keinginannya untuk ikut ngamen bersamaku hari ini. Meskipun sama-sama berasal dari keluarga miskin, aku merasa nasib Asa lebih malang dariku. 

Beberapa Minggu yang lalu, Ibunya meninggal akibat kekerasan yang dilakukan bapaknya. Dan saat ini bapaknya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di balik jeruji besi dalam waktu yang cukup lama. 

Kini dia dirawat oleh neneknya yang sakit-sakitan. Rasa iba sekaligus takjub seketika menelusup di sanubariku. Ah. Begitu berat hidupnya, tapi masih bisa mengucapkan kata syukur? Meskipun usianya delapan tahun lebih muda dariku, jujur, aku merasa malu padanya.

Setelah merasa cukup beristirahat, kami lanjut mengamen. Menunggu lampu jalan berubah warna menjadi merah, barulah kami turun menyapa setiap pengemudi, penumpang angkutan umum, dan menghibur mereka dengan suara pas-pasan diiringi alunan gitar kecil milikku dan tepukan kecil dari tangan mungil Asa. Setahun sudah aku menjadi pengamen. Dan aku tidak pernah malu menjalaninya. Sebab aku yakin. Ada puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan "aku" di negeri ini. 

Waktu terus berjalan hingga tak terasa hari beranjak senja. Aku dan Asa memutuskan untuk menyudahi kegiatan ngamen hari ini. Kondisi kami sangat kumal. Bagaimana tidak? Seharian kami bermandikan peluh, bergumul dengan asap kendaraan, dan deruh mesin bermotor. Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Dan aku yakin, Asa juga pasti akan terbiasa.

Di tengah perjalanan menuju rumah, tiba-tiba dia bertanya padaku tentang benda bertekstur agak kental kekuningan yang ditaruh didalam plastik oleh beberapa pengamen anak-anak. Aku tau itu adalah lem. Aktivitas menghirup aroma lem yang mereka lakukan biasa disebut 'nge-lem'.  Tidak sedikit anak-anak jalanan yang terjerumus pada hal-hal yang merusak diri mereka. 

Aku bahkan sering melihat mereka yang nge-lem itu, wajahnya tampak layu, matanya merah, dan mereka seperti orang mabuk yang kehilangan akal. Bukan hanya nge-lem. Ada juga diantara sesama pengamen yang memakai narkoba. Awalnya coba-coba. Namun akhirnya mereka ketergantungan sampai ada yang beralih menjadi pencopet untuk bisa membeli benda itu. 

Selain itu, banyak juga yang sering minum minuman keras. Mereka selalu berkumpul di sebuah pondok kecil tak jauh dari jalan raya setiap menjelang Maghrib. Bukan hanya pengamen. Entah siapa saja yang turut berkumpul di situ. Ada tukang becak, preman jalanan. Mereka juga bermain judi. Kehadiran mereka membuat para pejalan kaki, khususnya wanita merasa khawatir. Syukurnya ada jalan lain menuju pemukiman sehingga tidak perlu melewati mereka.

Aku sendiri pernah hampir terjebak ikutan nge-lem. Mereka, anak-anak jalanan itu pernah menawariku plastik berisi lem yang kuceritakan tadi. Saat kuhirup, aku langsung merasa mau muntah. Aromanya sangat menyengat. Aku heran. Kenapa mereka terlihat sangat menikmati aroma aneh dari lem itu? Tak cukup sampai di situ. 

Di antara mereka ada juga yang menawariku sebungkus permen. Ketika kubuka, aku tertegun melihat bentuk permen itu. Permen atau obat? Lebih mirip obat sebenarnya. Karna terlihat mencurigakan, aku memilih tak memakan permen itu. 

Ya. Aku memang tidak mau memasukkan hal-hal yang tidak jelas ke dalam tubuhku. Sesuai pesan almarhum Ayah. Apalagi aku sering diwanti-wanti oleh Haji Salim, pemilik kedai tempat biasa aku beristirahat, untuk tidak mudah percaya dengan orang-orang yang ada di jalanan. Terlebih jika mereka menawarkan sesuatu yang kau tidak tahu itu apa, jangan diterima. Akhirnya demi keselamatan diriku, aku memilih menghindari mereka.

Tentu aku sangat terkejut saat melihat Asa yang sedang duduk sendirian menungguku kembali dari toilet umum, didekati seorang anak lelaki seumuranku yang menawarkan padanya untuk menghirup aroma lem yang ditaruh di dalam sebuah plastik putih kecil siang tadi. Untungnya aku melihat kejadian itu. Dengan cepat aku menarik lengan Asa dan mengajaknya pergi.

“Memangnya itu apa, Kak?” tanya Asa polos.

“Itu racun! Hey,”  Aku memegang kedua bahunya dan menatapnya serius, “Jangan pernah coba-coba untuk lakukan hal seperti yang mereka lakukan. Dan jangan pernah dekati mereka. Selama kita ngamen, kau harus selalu bersamaku. Mengerti?” Bocah lugu itu mengangguk.

Kau harus selalu bersamaku. Entah kenapa seketika aku merasa ada beban berat yang ditambahkan ke pundakku. Ah. Cahaya. Semoga kau tidak sekadar memberi harapan kosong pada anak ini.

Terkadang aku merasa kesal. Kemana para pemimpin negeri ini? Tidakkah kalian lihat betapa mirisnya kehidupan kami para rakyat kecil? Tidakkah kalian khawatir dengan masa depan kami, anak-anak negeri, yang kalian bilang generasi penerus bangsa? Aku juga kesal dengan mereka yang seenak jidatnya korupsi uang rakyat. 

Aku sering melihat berita ini di TV. Sementara rakyat kecil sepertiku, bukan. Bukan hanya aku. Hidup dengan penuh tekanan akibat semakin mahalnya kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya. Ah. Terkadang melihat berita di TV memang membuat kekecewaanku terhadap mereka yang duduk di kursi kekuasaan kian memuncak.

***

Tanpa terasa sebulan sudah Asa ikut ngamen bersamaku. Dan selama itu pula aku merasa keberadaannya membuatku menemukan kembali semangat hidup. Bukan hanya semangat untuk membantu ibu mencari nafkah, tapi juga mengejar mimpiku. Perbincangan itu terjadi sekitar dua hari yang lalu saat kami beristirahat di kedai Haji Salim. 

Di dalam kedai itu terdapat sebuah TV lama yang sengaja dipasang sebagai hiburan bagi para pengunjung kedai. Sambil menyantap makan siang gratis yang diberi Pak Haji, mataku terus menatap kearah TV. Aku tak sadar ternyata Asa memperhatikanku sejak tadi.

“Kakak serius banget sih, nontonnya?” dia menoleh kearah TV. “Kakak suka nonton berita?”

Aku mengangguk pelan tanpa melihatnya.

“Kakak punya cita-cita?”

Pertanyaan Asa mengacaukan fokusku. Aku terdiam dan menatapnya nanar. Dulu aku pernah punya cita-cita. Tepatnya saat masih bisa bersekolah. Dan mimpi itu terpaksa aku kubur dalam-dalam bersamaan dengan keputusanku untuk berhenti sekolah dan fokus membantu ibu. Aku tidak punya keberanian untuk merajut kembali asaku itu, meski hanya dalam mimpi. 

Saat aku masih bingung mencari jawaban, Asa kembali berbicara, “Kalau Asa, ingin jadi polisi, Kak!” wajahnya tampak berseri. Matanya berbinar. Dia mengucapkan kalimat itu dengan tegas dan penuh keyakinan. 

Aku tersenyum sinis. Polisi? ah. Entah kenapa aku tidak tertarik dengan profesi yang satu itu. Apalagi aku punya pengalaman tidak menyenangkan dengan polisi. 

Aku pernah melaporkan adanya peredaran narkoba di sekitar jalanan tempatku ngamen. Bukannya ditindak, polisi lalu lintas itu malah memarahiku dan menuduhku berbohong. Aku juga pernah diusir dengan kasar oleh seorang polisi yang berjaga di pos dekat jembatan layang. Yang paling menyakitkan dan tidak bisa kulupakan, adalah kata-kata polisi itu, "Kau ini. Mengganggu pandangan saja! Pergi sana!"

Tapi aku tak ingin membuat Asa kecewa. Toh, tidak semua polisi seperti itu, kan? Hanya saja, aku memang sama sekali tak berminat dengan profesi itu.

"Kenapa kau ingin jadi polisi?" tanyaku.

"Asa ingin menangkap orang-orang jahat. Kalau orang-orang jahat gak ada, kita pasti bisa hidup dengan tenang. Kalau Asa jadi polisi, orang-orang yang minum mabuk, pencuri, yang mau kasi racun ke Asa seperti kemarin, yang suka mukulin orang, Asa tangkap semuanya."

Aku tertegun mendengarnya. Sepertinya mimpinya itu juga tak lepas dari pengaruh pengalaman pahit hidupnya. Aku tersenyum. "Kau ini, percaya diri sekali? Ah. Yah. Semoga saja kau bisa jadi polisi yang dapat diandalkan."

"Asa yakin, Asa bisa jadi polisi suatu hari nanti." 

Aku terdiam. Anak ini, tanpa kusadari perlahan mampu memecahkan batu besar yang menghalangiku mengejar impian. Rasa maluku padanya semakin bertambah. Se pengecut itukah kau, Cahaya? Untuk bermimpi saja, kau tidak berani? 

Hey, benar juga. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk bercita-cita, bahkan untuk seorang anak jalanan sepertiku. Hm. Sepertinya aku harus kembali merajut impian itu. Siapa tahu suatu hari nanti, aku benar-benar bisa mewujudkannya. Menjadi seorang jurnalis.

***

Badanku gemetar. Tubuhku seakan sulit digerakkan. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat dan hampir saja aku hilang kesadaran setelah melihat kejadian mengerikan di depan mataku. Asa. Dia tertabrak truk ketika hendak menyeberang jalan. 

Aku memukul diriku sendiri. Bodoh. Kenapa kau tidak benar-benar memperhatikannya ketika hendak menyeberang? Ya Tuhan! Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Dengan langkah gontai aku mendekati Asa yang berlumuran darah. Kini dia berada dipelukanku. Rintihannya masih terdengar, namun sangat pelan. Terbata-bata dia mengucapkan sebuah kalimat, tepatnya sebuah kalimat terakhir,

"Terima kasih, Kak. Kakak sudah...menjadi cahaya untuk Asa. Sepertinya... Asa tidak akan bisa... jadi polisi,"

Oh. Tidak, Asa. Kau lah, yang sesungguhnya menjadi cahaya bagiku. Karnamu, aku jadi semakin bersyukur dengan hidup yang kujalani. Dan kau juga yang tanpa sadar menumbuhkan kembali semangatku meraih impian. Aku menangis keras. Kupeluk erat raga yang sudah tidak bernyawa itu. 

Kesedihan akan kehilangan Asa terus menemani hingga aku dewasa. Asa memang telah terkubur bersama dengan "asa" nya. Tapi semangatnya terus tumbuh bersamaku. Seperti yang kukatakan. Bagiku, dia seperti cahaya. Menerangi orang-orang yang ada di sekitarnya. 

Selamat beristirahat, Asa. Kau sudah tenang. Sedangkan aku, masih harus terus menjalani kehidupan di dunia yang semakin gila ini. Tapi, aku benar-benar sangat bersyukur. Kehidupan yang sangat keras di jalanan, telah menempaku menjadi wanita yang berani dan kuat. 

Hey. Kau tahu, aku sudah berhasil meraih impianku. Aku sengaja datang ke "rumah" mu dengan memakai atribut lengkap seorang jurnalis. Asa. "Asa" mu menjadi polisi, memang tidak mungkin terwujud. Tapi keinginanmu untuk mengungkap kebenaran, mewujudkan kedamaian, insyaa Allah akan aku lanjutkan. Terima kasih, Asa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun