Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serangkai Bunga untuk Ibu

27 September 2010   14:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawasan Blok M Jakarta, pertengahan tahun yang lalu.

Aku berjalan gontai dengan Natalia melewati kawasan ruko yang tak begitu ramai. Kompleks ini baru selesai dibangun sekitar 2 tahun yang lalu dan beberapa bangunan telah terisi dengan pernik-pernik barang antik dan lukisan. Aku menuju bangunan paling ujung yang terkadang didatangi orang-orang yang sedang dimabuk cinta. Sebuah toko bunga.

“Berarti kamu sering mengirimi aku bunga yang biasa kamu beli di sini?” tanya Natalia cengar-cengir.

“Memangnya kenapa?” tanyaku balik. “Tidak boleh?”

“Heran aja. Kupikir.. aku paling tahu semua tempat di ibukota ini. Ternyata kamu jauh lebih tahu..” jawabnya.

“Adakalanya aku tak perlu memberitahumu.. karena pasti akan hilang kejutannya..” kataku. “Lagi pula kan.. nggak penting darimana bunga berasal.. dan nggak penting bunga apa yang kukirimkan.. “

“Maksud kamu?” kening Natalia mengerut.

“Yang penting.. aku mengirim hatiku untukmu..” jawabku spontan.

“Gombal!!” desisnya seraya mengambil Gery Chocolatos dari tasnya dan kami membaginya berdua.

Kami masih berjalan amat santai, cekikikan dan saling melempar guyonan. Beberapa menit kemudian kami sampai ke toko bunga itu.

**

”Kamu yakin bunga ini yang disukai ibu kamu?” tanya Natalia kepadaku sambil memilih dan memilah bunga-bunga segar itu.

Aku tak begitu memperhatikan pertanyaannya. Aku termenung beberapa saat. Di hari ulang tahunnya yang ke 56 besok, aku akan mengirim bunga untuk ibuku. Ibu menyukai rangkaian bunga mawar dan anyelir. Aku ingin Natalia yang memilihkannya untuk ibu. Aku tak bisa pulang ke Bandung karena Natalia sudah memesan tiket nonton konser musik jazz di JHCC besok. Jadi aku hanya bisa memberikan kiriman bunga yang paling disukai ibuku.

Sesungguhnya aku paham bahwa tidak seharusnya aku hanya mengirim bunga. Bunga tak pernah bisa mewakili kehadiran seseorang. Apalagi kehadiranku untuk ibuku. Ibu adalah segalanya bagiku. Kuingat betapa seorang anak tak pernah bisa mengembalikan air susu ibunya, meski sang ibu tak pernah mengharapkannya untuk kembali. Kuingat bahwa darah daging manusia berasal dari susu ibunya. Kuingat bahwa Tuhan melewatkan ridlhoNya lewat seorang ibu. Ibu dan ibu.

**

Ibuku hanya menginginkan diriku. Perhatianku. Salam takdzimku. Kedatanganku padanya. Dan ketika ia wafat suatu saat nanti, tentu hanya doaku saja yang ibu harapkan.

Sebenarnya aku agak gelisah karena aku mendengar ibu mengeluh kangen. Lewat ponsel, ibu ingin aku hadir di ulang tahunnya. Tapi sungguh!! Aku tak mau mengecewakan Natalia yang sudah jauh-jauh hari mengajakku nonton konser itu.

“Mmm.. kok malah ngelamun..!” sentil Natalia mengejutkanku.

“Eh.. iya.. iya.. yang itu bagus banget. Ibu pasti suka..” jawabku cepat meski asal jawab, secara aku memang masih melamun. Melamunkan ibuku.

Natalia menulis kata-kata manis yang sudah kurancang di kertas ucapan, memberikannya kepada store boy dan mewanti-wanti agar kiriman sampai di alamat pada saat acara tumpengan yang dilaksanakan besok.

Aku melepaskan bunga itu. Selamat ulang tahun, ibu.

**

“Ada apa sih?? Ada yang nggak beres, ya??” tanya Natalia kepadaku saat aku masih berdiri gugup di depan toko bunga yang sudah ramai itu. Natalia selalu tahu perihal gelagat apapun. Entah itu kegundahan, atau gayaku yang sedang sok berpikir panjang.

“Mm.. enggak.. cuman ya.. agak kangen aja sama ibu.. “ jawabku sedikit berbohong. Aku tahu. Sebenarnya aku kangen dengan ibuku, hanya saja aku tak pernah mau mengecewakan pacar manisku ini.

“Yaa.. kan akhir pekan ini kita bisa ke sana..”

“Mm.. ibu akan ulang tahun besok. Bukannya akhir pekan ini..”

“Tapi kita akan nonton konser, kan? Besok, maksudku?”

“Ya..”

“Nah. Dan akhir pekan ini giliran menjenguk ibu kamu..”

“Yup..”

“Kok singkat singkat sih jawabnya..”

Aku tidak menjawab lagi. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

**

Aku masih diam ketika Natalia mengambil lagi Gery Chocolatos dari tasnya. Malah aku tak begitu memperhatikannya lagi ketika kudengar suara anak yang terisak menangis keluar dari toko bunga. Aku membalikkan badan dan mengamati anak perempuan berusia sekitar 5 tahunan yang ditemani seorang suster. Anak kecil itu masih saja menangis. Nafasnya tersengal. Mungkin tulang tenggorokannya tersumbat udara. Aku mencubit bahu Natalia dan kuingin dia melihat anak kecil manis itu.

Natalia tersenyum dan dengan sigap ia menghampiri bocah perempuan kecil itu seraya memberikan Gery Chocolatosnya.

“Ini nich.. dan jangan nangis, ya dik.. nanti manisnya hilang lho..” hibur Natalia sambil menjongkokkan badan dan wajahnya kini sejajar dengan wajah anak itu.

Tapi anak itu menggelengkan kepalanya.

“Mm.. tante kasih dua kalau begitu. Nich.. mau, kan??” bujuk Natalia lagi.

Anak itu masih menggelengkan kepalanya dan bahkan tatapan matanya terlihat agak kosong. Mbak Suster berusaha menghiburnya dan mengajak anak itu pulang.

“Ada apa to mbak?” tanyaku pada suster itu.

“Dia ingin bunga. Bunga yang besar. Yang harganya paling mahal itu. Tapi saya lupa membawa uang lebih. Saya kira dia hanya ingin bunga melati kecil yang biasanya kami beli..” terang suster itu.

“Bunga yang besar??” tanyaku keheranan. Aku ikut jongkok di depan anak itu dan bertanya lagi. “Bunganya untuk apa, dik? Kok minta yang besar?”

Anak itu ganti memandangku.

“Untuk kuberikan pada mama..” jawabnya lugu.

**

Aku tak harus berpikir panjang. Aku segera membayar rangkaian bunga apik dan memberikannya kepada anak kecil itu.

“Makasih ya Om.. om baik sekali..” katanya pelan dan kulihat gurat kesedihan sudah mulai luntur dari wajahnya yang tanpa dosa.

“Sama sama Dik.. Siapa namanya?” tanyaku ingin tahu.

“Cica..” jawab anak kecil itu lugu.

“Cica.. nama yang manis.. Om senang berkenalan sama kamu..”

“Makasih ya Om..”

**

“Terima kasih lho Mas.. “ kata suster kepadaku.

“Sama-sama Mbak..” kataku. “Nah ini nanti pulang ke rumah.. dijemput sama sopir, ya?”

“Enggak Mas. Pak Jono, sopir yang biasa mengantar kami sedang pulang kampung. Jadi kami akan naik taksi saja..” jawab suster.

Aku terpikir untuk memberikan tumpangan.

“Begini saja. Saya antar pulang yuk. Mau kan, naik mobil Om??” tanyaku pada Cica.

“Mau.. mau Om..” jawab Cica kegirangan.

**

Aku dan Natalia sepakat mengantar Cica dan susternya pulang. Ternyata rumah Cica berada di kawasan Pondok Indah. Rumah bercat kuning pasta yang amat megah itu mengucapkan selamat datang kepada kami.

Sehamparan taman yang apik menghiasi rumah Cica. Pepohonan palem, aglaonema dan cemara tampak terpelihara dengan baik.

“Cica ingin Om dan Tante masuk dulu.. “ kata Cica. “Kalau nggak mau masuk, Cica nangis lagi lho entar..”

Aku dan Natalia tersenyum melihat anak manis yang pintar itu. Kami memutuskan untuk masuk dan Cica segera berlari ke ruang belakang. Cica ingin kami mengikutinya.

Rumah Cica bergaya klasik barat. Ada pilar-pilar besar, lampu gantung besar dan ukiran bergaya renaissans. Sejenak kami memperhatikan rumah ini yang juga tertata rapi. Kursi dan meja tamu berasal dari kayu jati pilihan. Ada lemari besar di dekat pintu masuk ruang tengah. Buku-buku tebal berjajar di dalam kaca di rak buku.

Kulihat Cica masuk ke dalam ruangan di sebelah kiri ruang utama sambil membawa serangkai bunga yang dibawanya tadi, dan meletakkannya di depan sebuah lukisan besar seorang wanita cantik yang usianya sekitar 30 tahunan. Kami mengikutinya dari belakang.

Kami masih memperhatikan Cica.

**

Tiba-tiba aku dan Natalia terkaget melihat tingkah Cica yang bicara sendiri. Nada suaranya tak begitu keras, tapi kami memang mendengarnya dengan baik.

“Mama.. ini Cica. Cica membawa bunga besar untuk Mama. Mudah-mudahan bunga ini bisa menemani Mama di surga. Jelek ya Ma. Kata Mama, bunga di surga lebih besar dan lebih indah. Tapi kan bunga ini dari Cica. Cica belikan untuk Mama. Eh.. tadi ada Om-om yang baik yang membelikan bunga ini. Cica kira, Om itu pasti malaikat yang baik yang dikirim Tuhan untuk Cica. Mama bilang sama Tuhan ya.. agar Cica dapat bertemu malaikat. Ya udah ya Ma.. Cica mau ketemu sama Om baik itu dulu..”

Cica mengulangi kata-kata itu beberapa kali.

**

Aku dan Natalia berdiri kaku tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Kami mundur beberapa langkah, dan rupanya, suster tahu tentang hal ini.

Suster mendekatkan mulutnya ke telinga kami dan berbisik,”Mama Cica sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Kami masih merahasiakannya. Kami hanya mengatakan kepada Cica bahwa mama sedang pergi ke surga..”

**

Ya Tuhan!!

Aku bersitatap dengan Natalia. Kami saling memandang dengan perasaan campur aduk.

”Mama Cica meninggal karena kecelakaan mobil di tol Jagorawi. Jasadnya tidak dibawa pulang ke sini, tapi dimakamkan di Bogor, kota asal mama Cica. Cica selalu menanyakan ibunya, dan kami tak tega memberitakan itu..” bisik suster kepada kami lagi.

**

Aku melihat mata Natalia berkaca-kaca. Akupun demikian. Sepertinya, keterangan suster terakhir tadi telah cukup mengagetkan kami berdua.

”Om dan tante menginap di sini, ya.. menemani Cica..” rengek Cica kepada kami.

Natalia merengkuh Cica dan menggendongnya. Kami baru saja bertemu tapi entah mengapa kami bisa begitu akrab.

“Cica.. Om dan tante masih ada acara kok. Nanti diusahain pasti kesini lagi. Oke ??“ kata Natalia dengan suara berat.

**

“Nanti, kalau mama sudah pulang dari surga, mama pasti senang bisa kenal sama Om dan tante.. “ kata Cica lagi.

Aku dan Natalia tak kuasa lagi mendengar ucapan terakhir Cica. Berat sekali mendengarnya. Kami segera mengucapkan selamat tinggal kepada Cica sebelum kami pergi dengan menahan bekuan isak yang masih amat menggumpal di dada. Kami benar-benar tak bisa menahan perasaan yang amat berkecamuk di hati kami.

Aku dan Natalia masih cukup lama tidak saling bicara di dalam mobil meski aku menyetir cukup pelan meninggalkan rumah bercat kuning pasta itu. Hati kami masih sedang berbicara sendiri. Hati kami dipenuhi rasa tak karuan karena melihat dan merasakan peristiwa yang baru saja kami alami.

**

Di sudut jalan yang sepi, aku menghentikan mobilku. Aku keluar, menarik nafas panjang, dan kulihat Natalia menghampiriku.

“Aku tak ingin memaksakan diri. Kamu segera pulang aja ke Bandung. Datangi ibu kamu. Ibu kamu telah kangen dan tak layak aku menghalangi keinginan ibu kamu untuk bertemu. Aku tahu hal apa yang sebaiknya kamu lakukan..” kata Natalia lembut. ”Kita bisa datang ke konser lainnya, tapi kesempatan kamu untuk melepas rindu dengan ibu kamu, takkan pernah tergantikan.. apalagi besok hari ulang tahunnya..”

Aku malu pada diriku. Untuk seorang ibu yang sudah tak ada di dunia ini saja, seorang anak kecil tanpa dosa telah merindukannya begitu rupa. Dan aku adalah manusia penuh dosa yang takkan termaafkan jika tak mampu menyegerakan diri menyambut rindu ibuku.

“Terima kasih, Natalia..” jawabku seraya memeluknya. Hati kami telah saling bicara. [ ]

Jakarta, 27 September 2010

ZUHDY TAFQIHAN

aku, ibuku dan adik perempuanku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun