Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 75 –“Natalia Cemburu Pada Putri Awan (Part-1)”

15 Maret 2010   00:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Natalia mendatangiku dengan wajah memerah.

”Kamu memang pintar menyembunyikan sesuatu. Semua media bungkam. Koran bungkam, media online bungkam. Semua tak ada yang meliput malam asyikmu..” kata Natalia di depanku, dan tak sedikitpun wajahnya menolehku.

”Bukankah aku sudah mengatakannya padamu..” kelitku.

”Aku tahu. Kamu memang pernah mengatakan bahwa ini pertemuan penting. Antara dirimu dan dirinya. Mengenai lobi politik. Tapi aku mendengar dari sumber yang paling bisa dipercaya.. bahwa ternyata pertemuan malam itu bukanlah pertemuan biasa. Malam itu penuh canda tawa, penuh cinta, penuh kejutan.. disebuah ulang tahun paling mewah yang direncanakan..”

”Natalia.. dengarkan aku. Aku berhak merancang acara apapun..”

”Aku tahu. Tapi bukan dengan membohongiku. Bukan dengan membuat acara yang mana dia adalah yang paling istimewa..”

”Dia sahabatku. Aku berhak mempunyai acara dengannya..”

”Aku tahu. Aku tak mempermasalahkan sahabat-sahabatmu. Semua tahu bahwa di dunia ini, sahabat adalah segalanya. Tapi malam itu dia telah kamu perlakukan melebihi seorang sahabat biasa. Bahkan, aku tak pernah mendapatkan yang seperti itu. Sebab, aku hanyalah wanita yang bisa dibohongi dan tak bisa mendapatkan informasi yang sudah terbungkam..”

Natalia meninggalkanku. Beringsut pergi.

”Natalia.. tunggu sebentar.” panggilku. Tapi dia telah melangkah dengan cepat.

Haduuhh..

**

Rupanya, Natalia telah mendengar acaraku dimalam ulang tahun Putri Awan. Tapi dari siapa? Apakah dari Simon? Ah.. kukira tidak. Tak mungkin Simon menceritakan malam itu seperti layaknya ibu-ibu rumah tangga ngerumpi.

Tapi Natalia seperti tahu betul detailnya, hingga dia amat cemburu sebuta itu. Ah, bagiku, tak penting ia tahu dari siapa. Yang jelas, ia amat cemburu dan tak pernah kurasakan ia semarah ini.

That’s it, wanita memang begitu. Aku tak boleh hanyut atau kalah dengan pertempuran seperti ini. Bagiku, ini urusan kecil. Dia akan baik dengan sendirinya. Hanya menunggu waktu saja.

Aku adalah lelaki..

Yang tak perlu gusar

Yang tak perlu gundah

Sebab aku adalah pecinta yang dicinta

Biarlah kumbang terbang sejauh mata memandang

Meski semua bunga tak menunjukkan kelopaknya

Kumbang akan tetap perkasa

Ia akan pergi begitu saja

Persetan dengan kelopak bunga

Aku yakin, esok hari Natalia akan tersenyum seperti biasanya. Dia akan tetap menyapaku karena lelah memikirkanku.

**

Matahari masih belum tinggi ketika sarapan pagi telah disiapkan oleh Jemangin, kepala rumah tangga istana kepresidenan. Ontoseno bahkan telah menyeruput kopi kentalnya. Nasi goreng spesial telah siap ketika denting gelas Ontoseno mengenai meja.

”Staf Natalia, Reni, akan mengatur pertemuan Anda dengan Komite Nasional Olahraga, Mr. President...” celetuk Ontoseno.

”Kenapa memangnya? Natalia kemana?” tanyaku.

”Ia izin tidak masuk hari ini.”

”Izin tidak masuk? Ada apa dengan Natalia Debiova Bolsov? Sakitkah dia?”

”Benar, Mr. President. Ada kurir yang mengantar surat dokternya. Ia harus istirahat..”

Busyet!! Sakit apa dia??

**

Ramalanku meleset. Setidaknya aku memang harus menelponnya. Tapi jika kulakukan itu, ia akan melonjak di atas tengkuk leherku. Ah tidak. Biarkan dia sakit. Nanti kalau sudah sembuh, ia akan kembali seperti biasanya.

Jika memang aku harus menyapanya, itu juga bukan cara yang tepat. Biarlah Jemangin menelepon rumahnya, menanyakan apakah ia sakit atau sudah sembuh. Normatif saja. Aku tak ingin menjadi pemohon kredit yang meminta bank mengucurkan uang dengan mengiba. Tidak akan.

Aku adalah lelaki

Yang selalu dirindukan para bidadari

Mereka datang disaat yang tepat

Para bidadari itu selalu datang kepadaku

Meski aku tak pernah datang kepada mereka

Sebab aku adalah dedaunan di pagi hari

Aku pria yang menjelma menjadi daun talas

Aku pria yang berubah menjadi rumput teki

Sedangkan bidadari..

Dia adalah embun yang selalu turun dipagi hari

Menerpa daun talas dan rumput teki

Menyegarkanku selalu..

Meski aku tak pernah menyuruh embun untuk turun

Tapi langit menurunkannya untukku

Tapi pagi melihat embun itu jatuh padaku

Meski embun-embun itu akan pergi

ketika matahari telah menunjukkan dirinya..

BERSAMBUNG...

[ salam cinta dariku, adakah yang sudah mulai jatuh cinta kepadaku?? ]

NARSIS!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun