"Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan". - Gus Dur
Perayaan Imlek di Pesarean Gunung Kawi, Malang, bukan hanya sebuah perayaan budaya, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keberagaman dan toleransi antarumat beragama. Sebagai salah satu destinasi spiritual yang dihormati oleh berbagai komunitas, Gunung Kawi menjadi tempat yang unik untuk merayakan Imlek dengan penuh makna dan kebersamaan.
Gunung Kawi sebagai Obyek Wisata Religi
Gunung Kawi dikenal sebagai tempat yang memiliki daya tarik spiritual bagi berbagai kepercayaan. Selain menjadi tujuan peziarahan bagi umat Tionghoa yang merayakan Imlek, tempat ini juga dihormati oleh umat Islam, non Islam, dan kepercayaan lainnya.
Tempat ini konon identik dengan tempat mencari pesugihan, namun hingga saat ini pernyataan atau cap tersebut tidak dapat dibuktikan dan merupakan pernyataan yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka yang datang adalah dengan ketulusan hati untuk beribadah, bersemedi, dan mencari keheningan batin di tengah alam yang masih sejuk dan natural.
Makam Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Sudjono, yang berada di kompleks Pesarean Gunung Kawi, menjadi titik utama kunjungan bagi para peziarah yang mencari keberkahan dan ketenangan spiritual.
Suasana hening, sejuk dan damai terpancar di tempat ini. Meskipun umat non muslim terlebih kaum Tionghoa juga sangat menjunjung tinggi dan menghormati keberadaan pesarean ini. Komplek ini pun sangat mencerminkan kebhinekaan dalam persatuan.
Warga Tionghoa menghormati Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Sudjono sebagai tokoh kharismatik yang hidup dengan penuh cinta kasih, welas asih dan mampu memberikan kedamaian.
Mereka sangat menghormati dan menjunjung tinggi kedua tokoh tersebut dengan memberi sebutan Thai Lo Shu pada Eyang Djoego yang artinya Guru Besar Tertua, dan Dji Lo Shu pada Eyang Raden Mas Iman Soedjono yang berarti Guru Besar Muda atau Guru Besar Kedua.
Thai Lo Shu dan Dji Lo Shu merupakan tokoh yang mempunyai peranan penting di masyarakat Tionghoa yang mempunyai keistimewaan mampu melepaskan secara total hawa nafsu dunia atau keterikatan pada duniawi. Mereka mampu melakukan tapa brata dengan ujud doa agar semua mahkluk di dunia berbahagia.
Keberadaan Klenteng Dewi Kwan Im di pesarean ini menambah daya tarik Gunung Kawi sebagai obyek wisata religi. Bangunan yang pernah terbakar pada tahun 2009 itu kini menjadi bangunan yang tak pernah sepi pengunjung dari berbagai kalangan dan kepercayaan.
Tradisi dan Ritual Imlek di Gunung Kawi
Pada saat perayaan Imlek, klenteng yang dibangun diatas lahan seluas kurang lebih 150 m persegi ini, penuh dihiasi dengan berbagai persembahan seperti bunga dan lilin, buah-buahan, kue-kue dan manisan, teh dan arak, aneka menu makanan, serta dupa yang dibakar dalam doa-doa harapan akan kesehatan, kesejahteraan, dan keberuntungan di tahun yang baru.
Persembahan atau sesajen ini menjadi bagian penting dari tradisi Tionghoa yang ditujukan untuk menghormati para dewa dan leluhur dan setiap eleman mempunyai makna tersendiri, seperti:
- Bunga segar dan lilin merah menyala yang memperindah altar dan menambah unsur spiritualitas.
- Buah-buahan seperti jeruk, apel, pir, semangka, pisang, nanas, dan buah-buahan lainnya yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
- Kue dan manisan yang selalu ada dalam perayaan Imlek seperti: kue keranjang (Nian Gao) yang melambangkan persatuan dan perjalanan hidup yang manis, serta kudapan manis lainnya seperti kue bulan, kue ku, kue mangkok, kue Ong Lei, dan masih banyak lagi.
- Teh dan arak juga disajikan sebagai tanda penghormatan dan tawaran kebahagiaan kepada para leluhur.
- Dupa yang dibakar sebagai sarana untuk menyampaikan doa dan harapan kepada para dewa dan leluhur.
- Aneka menu makanan seperti daging ayam, babi panggang, ikan, serta masakan lainnya yang disiapkan dengan penuh cinta dan kehormatan.
Tradisi Ciam Si
Saat Imlek, umat Tionghoa berkumpul di Klenteng Dewi Kwan Im untuk melakukan sembahyang dan memohon berkah. Salah satu ritual khas yang dilakukan adalah Ciam Si, yaitu mengguncangkan tabung bambu berisi batang kayu kecil yang berisi pesan-pesan spiritual. Tradisi ini dipercaya dapat memberikan petunjuk dan arahan hidup bagi mereka yang menjalankannya dengan tulus.
Ciam Si dikenal sebagai Qiu Qian atau Kau Cim dalam bahasa Mandarin merupakan tradisi ramalan yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dalam budaya Tionghoa. Secara umum biasa dilakukan di kuil Tao atau Buddha juga dilakukan pada momen-momen penting seperti Tahun Baru Imlek atau saat seseorang mencari panduan dalam hidup mereka.
Demikian juga di tempat ini, banyak juga pengunjung bukan hanya warga Tionghoa melainkan semua kalangan yang datang ke Pesarean Gunung Kawi di luar bulan Imlek dapat mengunjungi Ciam Si setelah berziarah.
Tak hanya itu, di tempat ini terdapat mata air di Klenteng Dewi Kwan Im yang memiliki makna sangat dalam dan spiritual dalam budaya Tionghoa sebagai simbol kemurnian, kesucian, dan kehidupan yang abadi. Air suci ini sering digunakan dalam upacara keagamaan untuk memurnikan diri dan membawa berkah.
Sebagai puncak dari rangkaian perayaan Imlek, di tempat ini akan diselenggarakan perayaan Cap Go Meh pada 16 Februari 2025 mendatang. Kegiatan ini akan dimeriahkan dengan pertunjukan barongsai, liong, dan berbagai seni budaya yang menunjukkan kekayaan tradisi Tionghoa di Indonesia. Catat tanggalnya ya!
Kegiatan Warga dalam Mempersiapkan Imlek
Menjelang perayaan Imlek, warga sekitar Gunung Kawi turut serta dalam berbagai persiapan untuk menyambut tahun baru. Para pedagang di sekitar kompleks pesarean mulai menjual berbagai kebutuhan khas Imlek seperti dupa, lilin merah, bunga segar, buah-buahan, dan kue keranjang. Selain itu, warga juga membersihkan area klenteng dan makam untuk memastikan tempat suci ini siap menyambut para peziarah.
Komunitas setempat juga mengadakan kegiatan gotong royong dalam mendekorasi klenteng dengan lampion merah dan ornamen khas Imlek lainnya. Beberapa warga yang memiliki keahlian di bidang seni turut serta dalam pembuatan hiasan tradisional yang akan digunakan dalam perayaan.
Tentu saja kelompok barongsai setempat juga melakukan latihan intensif untuk tampil di acara puncak perayaan Cap Go Meh yang akan diselenggarakan dua minggu ke depan.
Makna Keberagaman di Gunung Kawi
Gunung Kawi menjadi simbol keberagaman di Indonesia, di mana berbagai keyakinan dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Kehadiran tempat ibadah dari berbagai agama di kompleks ini menunjukkan bahwa nilai toleransi dan saling menghormati sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Tidak hanya umat Tionghoa yang beribadah di klenteng, tetapi juga umat Islam, Hindu, Budha, Kristiani dan Kejawen yang berziarah ke makam Eyang Djoego dan Iman Sudjono. Pada dasarnya semua umat menggambarkan sebuah aktivitas interaksi harmonis yang menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk berbagi ruang spiritual dan saling mendukung dalam kehidupan beragama.
Di kompleks ini terutama di masjid agung RM Iman Sudjono sering diselenggarakan acara besar keagamaan pengajian akbar dan setiap Minggu Legi, Malam Senin Pahing dan Kamis Kliwon Malam Jum’at Legi selalu diadakan tahlil, dzikir dan pembacaan ayat ayat suci Al-Quran mulai sebelum matahari terbit hingga tengah hari.
Malam 1 Suro merupakan malam yang penuh dengan ritual, doa, dan meditasi, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon keberkahan, dan memperoleh perlindungan sepanjang tahun. Ini adalah malam yang dianggap sakral, di mana orang-orang percaya bahwa doa yang dipanjatkan akan lebih mudah dikabulkan.Â
Selain itu, malam 1 Suro ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan pertapaan, mencari petunjuk gaib, dan membersihkan diri dari aura negatif.
Dengan keberagaman yang terjaga dan tradisi yang terus diwariskan, Gunung Kawi tidak hanya menjadi tempat wisata religi tetapi juga simbol persatuan dalam keberagaman. Perayaan Imlek dan Malam Satu Suro di tempat ini memberikan pelajaran berharga bahwa keharmonisan antaragama dapat terus terjalin dalam suasana penuh rasa hormat dan kebersamaan.
Simbol Keberagaman: Mbah Djoego, Eyang Iman Soejdono, dan Klenteng
Gunung Kawi adalah tempat ziarah yang menggabungkan berbagai unsur keagamaan, dari Islam, Jawa, hingga Tionghoa. Mbah Djoego (Kyai Zakaria II) dan Eyang Iman Soejdono merupakan tokoh penting yang dihormati oleh masyarakat setempat.Â
Mbah Djoego dikenal sebagai tokoh sufi yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Islam, sementara Eyang Imam Soejdono adalah seorang bangsawan keturunan Kerajaan Majapahit yang dihormati karena kekuatan spiritualnya.
Keberadaan klenteng di sekitar kompleks ziarah ini mencerminkan akulturasi budaya antara ajaran kepercayaan Tionghoa dan tradisi lokal. Klenteng ini digunakan oleh peziarah keturunan Tionghoa untuk berdoa dan memohon berkah kepada para leluhur.
Di sisi lain, terdapat pula keraton dengan arsitektur khas Jawa yang sering digunakan untuk kegiatan spiritual dan adat. Ini memperlihatkan kesinambungan antara tradisi keraton Jawa dan spiritualitas yang berkembang di Gunung Kawi.
Gunung Kawi adalah simbol dari keberagaman yang harmonis. Tempat ini menunjukkan bahwa perbedaan kepercayaan dan budaya tidak selalu menjadi sumber konflik, tetapi justru bisa menjadi jembatan untuk membangun toleransi dan kerja sama.
Interaksi antara Islam, Jawa, dan Tionghoa di Gunung Kawi adalah bukti bahwa keberagaman bisa melahirkan keselarasan dalam spiritualitas, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Seperti ungkapan Gus Dur di awal tulisan ini: "Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan."
Gong xi fa cai! Semoga di Tahun Ular Kayu ini kehidupan penuh dengan kemakmuran dan kelenturan untuk menghadapi setiap tantangan. Salam Toleransi! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI