Dengan semangat cinta pada budaya lokal, mereka merancang gereja yang memadukan unsur-unsur budaya Jawa dengan tradisi Katolik. Pada 16 April 1924, Gereja Ganjuran resmi berdiri, meskipun bangunan awalnya masih menggunakan gaya kolonial Belanda.
Gereja ini selesai dibangun pada 16 April 1924, dan beberapa bulan kemudian altar gereja diberkati oleh Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. (8 Februari 1865 – 6 Mei 1936), Vikaris Apostolik Batavia.
Salah satu elemen penting yang mencerminkan akulturasi budaya adalah patung Hati Kudus Yesus yang digambarkan sebagai Raja Jawa, sebuah simbol bahwa iman Katolik dapat berdampingan dengan budaya lokal.
Ajaran Sosial Gereja dalam Aksi Nyata
Julius dan Joseph Schmutzer menerapkan ajaran sosial gereja secara nyata melalui berbagai cara:
- Memperhatikan kesejahteraan ekonomi buruh. Pabrik Gula Gondanglipuro menjadi pusat pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Melalui pengelolaan yang adil, mereka memastikan buruh mendapatkan upah yang layak serta berbagai fasilitas pendukung seperti perumahan.
- Memperhatikan pendidikan dan kesehatan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah yang kemudian diserahkan kepada Yayasan Kanisius, untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak buruh dan masyarakat kurang mampu. Selain itu, rumah sakit di sekitar Ganjuran juga menjadi bentuk nyata kepedulian mereka terhadap kesehatan masyarakat.
- Mendukung pemberdayaan sosial. Keluarga Schmutzer mendukung masyarakat Ganjuran untuk tetap menjalankan adat-istiadat mereka sambil perlahan-lahan memasukkan nilai-nilai Kristiani. Mereka percaya bahwa inkulturasi adalah cara terbaik untuk membangun hubungan yang harmonis antara iman dan budaya.
Candi Hati Kudus Yesus: Simbol Spiritualitas Lokal
Pada tahun 1927, Julius dan Joseph Schmutzer mendirikan candi di kompleks gereja sebagai tempat berdoa dan penghormatan kepada Hati Kudus Yesus. Candi ini dirancang dengan gaya arsitektur Hindu-Buddha Jawa yang kental, melambangkan perpaduan spiritualitas Katolik dengan tradisi lokal.
Di dalam candi, terdapat Patung Hati Kudus Yesus yang juga digambarkan dalam sosok Raja Jawa. Selain itu, terdapat mata air di bawah candi yang diyakini membawa berkah dan kesembuhan. Para peziarah sering mengambil air ini setelah didoakan sebagai simbol pengharapan kepada Tuhan.
Pendopo Bernuansa Jawa: Simbol Kepedulian dan Inklusivitas
Di kompleks gereja juga terdapat beberapa pendopo, seperti Pendopo Julius Schmutzer, Joseph Schmutzer, dan Pendopo Caroline Schmutzer.Â
Selain itu, ada juga Pendopo Tekle, yang dinamai dari seorang perempuan cacat bernama Sarjiyem (Yu Tekle) yang berperan besar dalam membantu menjaga kebersihan gereja. Pendopo ini mencerminkan inklusivitas dan penghargaan terhadap kontribusi masyarakat lokal tanpa memandang status atau kondisi fisik mereka.