Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memungut Tiga Mutiara dalam Cerpen Ratna

19 November 2024   15:00 Diperbarui: 19 November 2024   18:10 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jurnalistik SMPK Cor Jesu di depan Rumah Tokoh Sastra alm. Ratna (Sumber:  Dokumentasi pribadi)

"Kita adalah pewaris perjuangan, tanggung jawab kita adalah menjaga dan memajukan warisan sejarah." 

Tulisan ini adalah sebuah catatan perjalanan yang Istimewa dan layak disimpan dalam media ini sebagai diary. Sebuah pengalaman berkesan mendalam bagi saya yang dua tahun ajaran terakhir dipercaya menjadi pembina ekstrakurikuler Jurnalistik.

Kegiatan jurnalistik di sekolah kami tak hanya sekadar mengembangkan keterampilan menulis, mengamati, dan melaporkan informasi secara objektif kepada publik, baik melalui media cetak atau digital dalam konteks penulisan berita, namun juga mengajak anak-anak menulis cerpen, memahami isi cerpen, juga mengenal tokoh di balik cerpen tersebut.

Sebuah momen perdana bagi tim jurnalistik di semester ganjil tahun ajaran ini, kami didapuk sebagai narasumber kelas membaca salah satu cerpen karya tokoh sastra ternama asli arek Malang, almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim bertajuk “Pohon Kenari di Willem Straat”.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-dbe69850-673c2d7534777c14924651c2.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-dbe69850-673c2d7534777c14924651c2.jpg
Tim Jurnalistik sebagai narasumber Kelas Membaca (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Kelas Membaca Istimewa

Kegiatan kelas membaca kali ini sungguh istimewa karena digelar tepat di kediaman almarhum Mbak Ratna di Jalan Diponegoro 3, Klojen, Kota Malang yang pada Agustus lalu resmi menjadi Rumah Budaya Ratna. Kegiatan outing class perdana ini dilaksanakan di jam kegiatan ekstrakurikuler pada Selasa, 17 September 2024 mulai pukul 16.00 hingga 17.00 WIB.

Menjadi semakin istimewa karena menuju ke Rumah Budaya Ratna yang hanya berjarak 1 kiometer dari sekolah itu kami yang beranggotakan 23 siswa, berjalan kaki berjalan menyusuri gang dan jalan Diponegoro yang melegenda. Sebuah gang sempit di antara perumahan yang padat sejak era Kolonial Belanda.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-05-73dfde41-673c2dc234777c11a530c2c5.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-05-73dfde41-673c2dc234777c11a530c2c5.jpg
Jalan kaki bareng menuju Rumah Budaya (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Kami menyusuri sepanjang jalan di mana banyak berjajar pohon kenari di kanan kirinya. Sambil berceloteh tentang sejarah jalan Diponegoro, saya memungut biji-biji kenari yang berjatuhan dan memperkenalkannya pada siswa tim jurnalistik.

Ada bersit kebanggan tersendiri, kami dipercaya untuk mengulas dan berdiskusi tentang salah satu cerpen Mbak Ratna yang sarat sejarah di tempat yang bersejarah pula; di rumah Mbak Ratna, di Jalan Diponegoro 3 yang ternyata adalah Willem Straat anno 1914, zaman Kolonial Belanda.

Menungut Tiga Mutiara

Dalam diskusi ringan setelah membaca seluruh isi cerpen Mbak Ratna yang lekat dengan Bahasa yang ringan dan mudah dipahami, terkandung tiga mutiara yang berkilau di baliknya. Tiga mutiara ini adalah tiga poin penting yang dapat dipetik sebagai satu bagian sejarah di masa lalu.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-04-f4c60ee1-673c303634777c3040257332.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-04-f4c60ee1-673c303634777c3040257332.jpg
Membaca cerpen "Pohon Kenari di Willem Straat"(Sumber: Abdul Malik)

Isi cerpen “Pohon Kenari di Willem Straat” sangat menggambarkan sejarah kota Malang, khususnya keberadaan rumah di jalan Diponegoro yang sudah ada sejak tahun 1914 dengan banyak pohon kenari yang tinggi menjulang dan berjajar di sepanjang jalan Diponegoro dan mengungkap nama-nama jalan di kawasan tersebut era pemerintahan Belanda.

Mari kita menelusuri sepenggal sejarah masa lalu melalui tiga mutiara atau tiga poin yang dapat dipetik dan dipungut dari isi cerpen Mbak Ratna ini.

Rumah Anno 1914

Setelah membaca, mengupas dan memahami cerpen karya Ratna Indraswari Ibrahim yang berjudul “Pohon Kenari di Willem Straat” ini, salah satu yang dapat diketahui adalah bahwa rumah di sepanjang jalan Diponegoro (yang dulu bernama Willem Straat) erat hubungannya dengan masa Kolonial Belanda, pohon kenari, dan juga kenangan di dalamnya.

Pada bagian depan fasad (muka bangunan) Jl. Diponegoro 3 ini tertulis dengan jelas ANNO 1914. Ini menandakan bahwa rumah ini dibangun pada tahun 1914 tepat pada tahun yang sama dengan lahirnya kota Malang pada 1 April 1914. Tahun ini adalah tahun ke-110 berdirinya rumah ini yang sekarang menjadi “Rumah Budaya Ratna.”

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-23-09-1edbb9f0-673c2ee0ed641533bd32f482.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-23-09-1edbb9f0-673c2ee0ed641533bd32f482.jpg
Rumah Budaya Ratna Jl. Diponegoro 3 dh. Willem Straat anno 1914 (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Menjadi satu hal yang istimewa, karena jalan Diponegoro yang dulunya Willem Straat merupakan Kawasan perumahan baru untuk golongan orang Eropa yang dikenal dengan nama “Orenjebuurt” atau “daerah oranye.”

Jl. Diponegoro atau Willem Straat ini masuk dalam Bowplan I Thomas Kaarsten tahun 1916 yang dibangun mulai 18 Mei 1917 hingga 21 Februari 1918. Luas arealnya 12.939 meter persegi, dan setelah selesai pembangunannya perumahan ini segera dihuni oleh golongan orang Eropa.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-24-56-5c9802e2-673c2f51c925c432d41899a4.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-24-56-5c9802e2-673c2f51c925c432d41899a4.jpg
Bowplan I 1916 (Sumber: Abdul Malik)

Nama-nama jalan di Kawasan “Oranjebuurt” ini menggunakan nama-nama anggota keluarga kerajaan Belanda, seperti :

  • Wihelmina straat (sekarang Jl. Dr. Cipto)
  • Juliana straat (sekarang Jl. R.A. Kartini)
  • Emma straat (sekarang Jl. Dr. Sutomo)
  • Maurits straat (sekarang Jl. M.H. Thamrin)
  • Sophia straat (sekarang Jl. Cokroaminoto)
  • Willem straat (sekarang Jl. Diponegoro)            

Pohon Kenari

Dalam cerpen “Pohon Kenari di Willem Straat”, pohon kenari dikisahkan merupakan pohon yang bermanfaat bagi pemilik juga bagi warga sekitarnya.

Pohon-pohon kenari nyata telah ada dan ditanam oleh pemerintah Belanda di tahun 1914. Pohon ini mempunyai buah yang keras, berkulit luar berwarna hitam dan jika sudah masak kulit luar ini berasa manis kesukaan kelelawar. Bijinya putih dan gurih. Oleh karenanya sangat enak jika dijadikan topping bolu atau lebih popular disebut “Ontbijtkoek” atau “kue sarapan pagi” ala Belanda.

Digambarkan secara jelas pohon kenari ini menghasilkan buah yang sangat bermanfaat sehingga menjadi lahan rezeki bagi siapa saja yang sengaja memungut buah-buahnya yang berjatuhan di jalan dan halaman rumah sepanjang Willem Straat (sekarang jalan Diponegoro).

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-190142c3-673c30a034777c310123cfe4.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-190142c3-673c30a034777c310123cfe4.jpg
Sekapur sirih dari Bapak Abdul Malik (Sumber: Lilik Fatimah Azzahra)

Dalam cerpen dikisahkan mbah Jum sebagai seseorang yang selalu mengais rezeki dengan memunguti buah kenari di halaman depan rumah Bulan dan Maminya yang baik hati. 

Seiring perkembangan zaman dan teknologi rumah-rumah di sepanjang jalan Diponegoro mulai diberi pagar, termasuk rumah yang ditempati Mami Bulan karena alasan keamanan.

Meskipun tak suka rumahnya diberi pagar karena membuat mbah Jum tak leluasa mengambil buah-buah kenari di halaman rumah, Mami Bulan tetap membuka lebar-lebar pintu pagarnya agar mbah Jum atau cucu-cucunya dapat menikmati buah kenari di halaman rumahnya.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-05-175c1c4b-673c2e25ed64152de3545c02.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-05-175c1c4b-673c2e25ed64152de3545c02.jpg
Sebuah kebanggaan dapat menjadi narasumber Kelas Membaca Cerpen Mbak Ratna (Sumber: Kenzo)

Hingga suatu ketika Mami Bulan dan mbah Jum menjadi dua sosok kenangan ketika Bulan dewasa yang tengah merenung duduk di teras depan rumah sambil memandangi pohon kenari, pohon kenangan yang kini hanya tinggal beberapa saja di kota Malang ini.

Pohon kenari menjadi begitu Istimewa, mengapa? Yuk kita kupas apa istimewanya pohon kenari yang bersejarah ini :

  • Pohon kenari yang mempunyai nama Latin Canarium, menjadi satu pohon heritage di kota Malang selain pohon tembesi atau Samanea Saman atau Rain Tree dan pohon beringin atau Ficus Benjamina.
  • Pohon kenari menduduki peringkat pertama di kota Malang karena jumlahnya yang banyak dibandingkan di daerah lain, yakni sekitar 145 pohon. Kita dapat menemukan pohon kenari ini berderet di kanan kiri jalan Diponegoro yang pada masa Kolonial Belanda bernama Willem Straat.
  • Pohon kenari pun mempunyai nilai heritage yang juga mampu menarik wisatawan.

Dari ulasan ini dapat disimpulkan bahwa Ratna telah menggambarkan sebuah pohon kenari sebagai pohon tua bersejarah dan mempunyai manfaat dalam cerpen“Pohon Kenari di Willem Straat."  Sebagai gambaran masa lalu yang mempunyai nilai histori yang tinggi yang masih dapat kami ketahui dan nikmati di masa kini.

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-c2dce2bf-673c2fa3c925c43127764914.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-06-c2dce2bf-673c2fa3c925c43127764914.jpg
Adik Mbak Ratna, Bapak Benny Ibrahim (Sumber: Abdul Malik)

Jalan Lawas dan Kini Kota Malang

Membaca cerpen Ratna Indraswari Ibrahim “Pohon Kenari di Willem Straat” membawa kita semua ke suasana masa Kolonial Belanda di Kota Malang. Nama “Willem Straat” pun memiliki arti tersendiri. Nama yang identik dengan Kolonial Belanda.

Dilansir dari laman ngalam.id yang mengambil sumber data dari : “Sekilas Kota Malang – Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang” terdapat 189 nama Jalan Doeloe dan sekarang di kota Malang.

Kata imbuhan -straat, -plein, atau -weg merupakan imbuhan nama jalan di Malang tahun 1924-1928. “Willem Straat” merupakan salah satu yang termasuk dalam ke-189 nama jalan era Kolonial Belanda yang kini menjadi jalan Diponegoro.

Indonesia, terlebih kota Malang sangat lekat sejarahnya dengan Belanda. Hal ini terbukti bahwa beberapa ruas jalan di kota Malang masih sama dengan ketika zaman Kolonial Belanda seperti Jl. Kawi (dulu Kawi-straat), Jl. Malabar (dulu Malabar-weg), Jl. Taman Gayam (dulu Gayam-plein).

Nama-nama tersebut di atas, termasuk ke-189 nama jalan berdasarkan buku “Malang Beeld van een stad” (wearemania.id).

whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-03-328aa647-673c311dc925c448d5476513.jpg
whatsapp-image-2024-11-19-at-13-07-03-328aa647-673c311dc925c448d5476513.jpg
Dalam kamar kerja dan istirahat Mbak Ratna semasa hidup - sekarang menjadi Rumah Budaya (Sumber: Abdul Malik)

Menyibak Kembali Gambaran Masa Lalu

Melalui cerpen ini tim jurnalistik yang merupakan siswa gen Z dapat memahami sebagian kecil dari sejarah nama jalan zaman dulu di kota Malang. Hal ini mencuat di kepala ketika membaca kisah Mami Bulan, Bulan, dan mbah Jum yang tertuang dalam cerpen ini.

Melalui cerpen ini pula secara tidak langsung Ratna menyibak kembali gambaran masa lalu, sebuah kisah nostalgia yang indah dikenang; ada pohon tua bersejarah “Pohon Kenari”, ada “Willem Straat” nama jalan yang sarat dan kental dengan nuansa Kolonial Belanda dan sejarah nama jalan-jalan di zaman itu. (Yy)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun