Senjapun tiba. Mbah Wondo duduk di atas 'amben' teras dan menyandarkan kepalanya di dinding sambil memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar suara kenong, bonang, slenthem, saron, kempul, kendang dan gong berpadu dalam gamelan dari balai-balai sebelah.
Para wanita telah sibuk di dapur rumah Mbah Wondo untuk memasak bahan hidangan selamatan.Â
Hamid dan Eko, kakaknya mulai mengupas belasan kelapa yang menumpuk di samping kandang ayam belakang rumah.
Pak Bandi bersama para pemuda desa mulai merangkai janur dan menghias perahu yang akan membawa mereka melarung aneka hasil bumi ke lautan.
Sebagian warga nelayan tampak menepikan perahu setelah seharian mencari ikan. Mereka berbondong-bondong membawa hasil nelayan menuju balai desa di samping rumah Mbah Wondo.
Lusa upacara ritual nguri budaya dan sedekah bumi akan dihelat mengiringi proses penanaman bibit cemara dan tanaman produktif di sepanjang pinggiran pantai selatan di desanya.
Senja merambat malam, Mbah Wondo tertidur pulas dan puas di atas amben teras depan rumahnya. Wajahnya tersenyum bahagia. Dengkurannya membubung ke udara seiring dengan debur ombak pantai yang terhampar 500 meter di depan rumahnya. (Yy)
Cerita ini pernah dituangkan dalam Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf)Dongeng tetang Hutan dan Negeri Hijau -2020 berlatar belakang kisah nyata Mbah Wondo, Blitar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H