Mentari sangat terik. Sinarnya menerpa kulit lengan Mbah Wondo yang hitam tetapi kekar hingga nampak berkilau bercampur keringat. Dengan gembira Mbah Wondo mengangkat dua 'polybag' terakhir berisi bibit pohon cemara dari dalam bak truk.
Terdapat tiga ratus 'polybag' berisi bibit cemara, reside, pandan, kelapa, mangga, jambu, nangka, sukun dan jengkol yang ia pesan tetata rapi di halaman rumahnya yang terletak tak jauh dari pantai laut selatan.
“Matur nuwun Gusti,” tak henti kalimat syukur itu keluar dari mulut seorang pria tua pensiunan tukang kebun SD Negeri itu.
“Alhamdulillah, semua akhirnya dapat terwujud ya Pak,” Hamid anak kedua Mbah Wondo pun turut bersukacita dengan peristiwa ini.
"Iya le..., alhamdulillah," jawab Mbah Wondo sambil menghapus keringat di keningnya yang bercucuran.
Setelah semua selesai, dalam pertemuan singkat dengan warga desa Mbah Wondo memberi instruksi pada anak dan warga sekitar untuk segera menyiapkan upacara ritual nguri budaya dan sedekah bumi agar proses penanaman bibit pohon dan tanaman produktif itu di sepanjang pantai selatan dapat berjalan lancar.
"Sampun beres Mbah, semua sudah dipersiapkan tinggal kita eksekusi saja," Pak Bandi pengurus desa dengan penuh semangat memastikan semuanya sudah diatur dengan baik.
Tampak raut bahagia di rona wajah Mbah Wondo yang mulai banyak kerutan. Setelah belasan tahun akhirnya ia dapat mewujudkan mimpinya untuk menghijaukan pinggiran pantai tempat kelahirannya yang mulai gundul dan gersang.
Mbah Wondo dengan ikhlas gaji pensiunnya dipotong untuk mengangsur pinjamannya di bank demi pengadaan bibit tanaman ini. Semua tidak mudah, setelah berbagai upaya pengajuan pada pemerintah tak membuahkan hasil.
***