Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keberadaan Mitos Eyang Sapu Jagad Sumber Umbulrejo Dusun Ubalan sebagai Kearifan Lokal

1 Juni 2024   22:00 Diperbarui: 2 Juni 2024   09:00 4033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asyiknya main tubing di sungai yang bersih dan segar (Dokumentasi pribadi 2024)

Menelusuri tempat masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya di dusun Ubalan, desa Maguan, Kabupaten Malang 14 tahun lalu membuat saya dejavu. Lambat laun ingatan kembali ke masa-masa yang banyak menyisakan kenangan itu.

Di tanggal merah di awal bulan Juni kali ini saya sengaja mengunjungi dusun Ubalan, desa Maguan di sebelah tenggara kaki gunung Kawi.

Gerbang masuk Wisata Alam dan Religi Umbulrejo (WARU) - tempat petilasan Eyang Sapu Jagad pertama (Dokumentasi pribadi 2024)
Gerbang masuk Wisata Alam dan Religi Umbulrejo (WARU) - tempat petilasan Eyang Sapu Jagad pertama (Dokumentasi pribadi 2024)
Jika sebelumnya saya berbagi kisah kocyak yang terjadi selama menjalaninya, saya juga merasa perlu mengungkap kearifan lokal yang telah ada sejak masa kolonial Belanda dan masih berlangsung hingga saat ini.

Desa Maguan Sejuk dan Subur

Mentari sangat terik, namun setelah memasuki desa Maguan yang penuh hamparan tebu yang mulai berbunga hawa berangsur sejuk.

Hamparan tebu yang tengah berbunga (Dokumentasi pribadi 2024)
Hamparan tebu yang tengah berbunga (Dokumentasi pribadi 2024)
Di sepanjang jalan nampak bunga-bunga tebu melambai-lambai seperti kapas bertaburan, daun-daunnya pun berkilau diterpa sinar mentari membuat pemandangan sekeliling jalan desa Maguan terlihat begitu indah.

Saya langsung menuju ke Sumber Umbulrejo yang terletak di dusun Ubalan, desa Maguan tempat petilasan Eyang Sapu Jagad yang pertama. 

Kolam renang dewasa & wisata tubing (Dokumentasi pribadi 2024)
Kolam renang dewasa & wisata tubing (Dokumentasi pribadi 2024)
Tempat di mana mitos Eyang Sapu Jagad menjelma menjadi obyek wisata alam dan religi yang menyedot pengunjung dari berbagai daerah dan berbagai kepentingan.

Setelah hampir satu jam perjalanan dari kota Malang, saya sampai di sumber umbulan yang kini bernama "Sumber Umbulrejo" ini.

Parkiran sangat luas, tiket masuk pun relatif terjangkau hanya Rp 3.000,- saja per kepala. Segala macam jajanan kuliner yang berjajar di kios-kios UMKM pun harganya sangat murah.

Area jajanan kuliner yang murah meriah (Dokumentasi pribadi 2024)
Area jajanan kuliner yang murah meriah (Dokumentasi pribadi 2024)

Gorengan dan jajanan anak-anak seperti cilok, takoyaki, sate tahu, sate usus, cilor dan masih banyak lagi dapat kita nikmati dengan harga Rp 1.000,- saja per buah.

Tradisi Ritual di Petilasan Eyang Sapu Jagad 

Seperti yang saya alami ketika masa KKN, saat itu (2010), desa Maguan sangat erat dengan uri uri budaya dengan tradisi rutin selamatan bersih desa dan ritual doa yang dipanjatkan sebagai ungkapan syukur atas jasa Eyang Sapu Jagad.

Masyarakat secara rutin melakukan tahlilan, yasinan dan selamatan di mushola petilasan Eyang Sapu Jagad biasa dilakukan setiap malam Jumat Legi, hari pasaran paling baik menurut kalender Jawa.

Kolase ruang petilasan Eyang Sapu Jagad di Sumber Umbulrejo yang biasa digunakan untuk berdoa & semedi (Dokumentasi pribadi 2024)
Kolase ruang petilasan Eyang Sapu Jagad di Sumber Umbulrejo yang biasa digunakan untuk berdoa & semedi (Dokumentasi pribadi 2024)
Selain di malam Jumat Legi, kegiatan tradisi doa juga dilaksanakan pada Selasa Kliwon dan bulan Selo atau Apit dalam kalender Jawa. 

Selo atau Apit mempunyai arti ‘terjepit’ di antara bulan Syawal yang di dalamnya terdapat hari Idul Fitri dan Dzulhijjah dengan hari Idul Adha.

Bulan Dzulkaidah atau Dzulqa'dah merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT, secara urutan bulan ini merupakan bulan haram pertama dalam satu tahun dari empat bulan haram yang ada.

Pada Jumat Legi dan bulan Selo selalu ada hajatan atau selamatan meriah yang diadakan oleh pribadi atau keluarga yang doa-doanya pada Eyang Sapu Jagad dikabulkan Tuhan. Tak hanya selamatan namun ada pula yang menggelar pertunjukan wayang kulit.

Papan penunjuk arah dan wahana di Sunber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)
Papan penunjuk arah dan wahana di Sunber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)

Mitos Eyang Sapu Jagad

Warga di mana kami tinggal selama KKN, di desa Maguan dikenal sangat ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai budaya yang berakar dari sastra lisan mitos Eyang Sapu Jagad. 

Mitos ini sangat berpengaruh kuat bagi kehidupan masyarakat dusun Ubalan dan desa Maguan karena kedua petilasan ini terdapat di kedua tempat tersebut.

Hingga kini dua tempat petilasan Eyang Sapu Jagad dijaga oleh dua juru kunci. Di sumber umbulan dijaga oleh Bapak Suharto atau biasa dipanggil Mbah To, sedangkan juru kunci di musholla dan "kawah zedi" adalah Bapak Supangat. 

Bersama Mbah To (Bapak Suharto) juru kunci petilasan Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)
Bersama Mbah To (Bapak Suharto) juru kunci petilasan Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)

Saya mendengar Bapak Supangat baru saja meninggal bulan April 2024 lalu karena terkena DB dan saat ini yang menggantikan almarhum Bapak Supangat adalah putera beliau.

Masyarakat dusun Ubalan, desa Maguan, kecamatan Ngajum, kabupaten Malang sangat percaya bahwa sumber air umbulan yang diciptakan Eyang Sapu Jagad sangat sakral dan mempunyai kekuatan magis. 

Bilik mandi sumber umbulan di dekat petilasan Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)
Bilik mandi sumber umbulan di dekat petilasan Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)

Air dari sumber umbulan dan kawah zedi mampu membuat hasil panen berlimpah, mampu menyembuhkan berbagai penyakit, membuat awet muda, dan mendatangkan keberlimpahan.

Bukan sekedar tradisi lisan mitos belaka namun dampaknya sungguh luar biasa positif bagi kehidupan masyarakat desa setempat.

Keberadaan mitos Eyang Sapu Jagad memiliki nilai spiritual yang mampu mengatur tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat dan ini sangat terjaga hingga sekarang, di tengah gerusan era digital dan teknologi.

Kini, dalam kurun waktu empat belas tahun telah banyak mengubah wajah desa Maguan khususnya di daerah petilasan Eyang Sapu Jagad yang kini menjadi daerah tujuan alam dan wisata religi bagi wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia; Malang, Lamongan, Bali, Sumatera, bahkan dari India.

Siapa Eyang Sapu Jagad itu?

Eyang Sapu Jagad mempunyai nama asli Raden Arya Soetadjaningrat atau Kyai Adipati Nitiadiningrat [id.rodovid.org] merupakan keturunan dari Raden Tumenggung Notodiningrat yang merupakan bupati kabupaten Malang yang pertama (tahun 1819-tahun 1839).

Beliau sendiri adalah putera dari Raden Arya Tumenggung Notodiningrat III, Bupati Malang yang ketiga.

Eyang Sapu Jagad yang mempunyai nama asli Raden Arya Soetadjaningrat (Sumber : kanjengcokro.blogspot.com)
Eyang Sapu Jagad yang mempunyai nama asli Raden Arya Soetadjaningrat (Sumber : kanjengcokro.blogspot.com)
Mitos yang diyakini oleh masyarakat mengisahkan bahwa Eyang Sapu Jagad dikenal sebagai pemeluk agama islam yang sakti yang berasal dari Mataram dan berdarah keraton. Eyang Sapu Jagad juga merupakan tokoh penting yang berpengaruh besar terhadap keberadaan Belanda di Indonesia.

Eyang Sapu Jagad  merupakan seorang wedono di kota Blitar dan tokoh pejuang pada zaman penjajahan Belanda. Beliau dengan santrinya yang bernama Mbah Dipo melarikan diri dari kejaran tantara Belanda dan bersembunyi di dusun Ubalan, desa Maguan.

Di desa ini beliau diterima baik oleh masyarakat dan mendirikan tempat persinggahan di desa Maguan yang dibangun bersama masyarakat Maguan.

Masyarakat memandang Eyang Sapu Jagad sebagai seorang yang sakti dan selalu mengajarkan kebaikan.

Karena kebaikannya, masyarakat setempat banyak yang nyantrik atau berguru pada beliau, bahkan dikenal hingga ke desa-desa sekitar desa Maguan. 

Hal ini menjadikan desa Maguan mengalami perubahan positif perilaku sosial dan spiritual masyarakat setempat dan sekitarnya.

Eyang Sapu Jagad dikenal sebagai sosok suci yang sakti mandraguna. Beliau selalu melakukan tapa dan semedi di area Sumber Umbulan.  

Di depan kolam renang anak Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)
Di depan kolam renang anak Sumber Umbulrejo (Dokumentasi pribadi 2024)

Dengan kesaktiannya beliau mampu membawa air dengan keranjang bambu dari mata air tersebut hingga ke perkampungan.

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, tahun 1942, Eyang Sapu Jagad ditangkap oleh pasukan Belanda yang akhirnya dapat menemukan persembunyiannya. Beliau dibawa ke Ambarawa dan kemudian dieksekusi.

Anehnya ketika hendak dieksekusi Eyang Sapu Jagad menjelma menjadi kedebog pisang (pohon pisang). Saksi dari peristiwa ini adalah abdi dalem atau pengawal beliau bernama Mbah Munasir.

Kisah ini terdengar ke beberapa daerah karena waktu itu beritanya sempat dimuat di majalah Bahasa Jawa Panjebar Semangat.

Sumber Umbulan dan Kawah Zedi

Keberadaan sumber umbulan ini diyakini merupakan pembuktian kesaktian Eyang Sapu Jagad.

Konon suatu ketika desa Maguan mengalami bencana kekeringan air yang mengakibatkan masyarakat setempat yang mayoritas adalah petani mengalami gagal panen.

Melihat dan merasakan kenyataan ini, Eyang Sapu Jagad merasa bahwa ia harus berbuat sesuatu. Beliau bersemedi dan kemudian dengan kesaktian yang dimiliki, beliau menciptakan sumber air yang besar dan mampu menyelamatkan desa dari bencana kekeringan.

Dengan hanya menancapkan sebatang lidi, sada, atau sodo yang terkenal dengan sebutan “Sodo Lanang” (lidi laki-laki) di sebuah tempat yang disebut Babagan (tempat mencari air minum), Raden Sapu Jagad mampu memancarkan sumber air atau umbulan yang deras. Dinamakan sumber umbulan karena airnya selalu mumbul-mumbul (Bahasa Jawa = meluap-luap dengan deras).

Bilik mandi dekat musholla petilasan Eyang Sapu Jagad tempat
Bilik mandi dekat musholla petilasan Eyang Sapu Jagad tempat "kawah zedi" (Dokumentasi pribadi 2024)
Tak hanya itu, Eyang Sapu Jagad juga membuat “kawah zedi” di samping tempat beliau tinggal untuk bersembunyi dari kejaran Belanda.

Rumah tinggal beliau (kini mushola) letaknya tak jauh, kurang lebih 2 km dari Sumber Umbulrejo.

Masyarakat menganggap bahwa kawah ini dibuat sebagai ungkapan terima kasih dan balas budi karena telah mengizinkan beliau tinggal di tempat itu.

Kawah zedi yang biasa disebut dengan air zam-zam ini ditempatkan dalam kuali yang airnya keluar tanpa henti. Air ini dipercaya oleh masyarakat mempunyai kekuatan yang menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membuat awet muda.

Kawah zedi dalam kuali besar di bilik mandi dekat musholla petilasan Eyang Sapu Jagad (Dokumentasi pribadi 2024
Kawah zedi dalam kuali besar di bilik mandi dekat musholla petilasan Eyang Sapu Jagad (Dokumentasi pribadi 2024

Untuk mengenang dan mewujudkan rasa syukur atas jasa Eyang Sapu Jagad pada desa, masyarakat desa Maguan membangun sebuah musholla dan kamar mandi di samping “kawah zedi” yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat sakral.

Mushola dan tempat semedi yang dibuat tidak hanya bagi masyarakat setempat namun bagi siapa saja dan dari mana saja yang percaya dan menyampaikan doanya melalui Eyang Sapu Jagad.

Yang sangat menarik pula bahwa yang berdoa di tempat ini tak hanya umat Islam melainkan lintas agama. Siapapun dan agama apapun dapat berdoa di tempat ini sesuai dengan kepercayaan masing-masing. 

Menurut Mbah To, siapa saja diperkenankan berdoa kepada Tuhan melalui Eyang Sapu Jagad asalkan dia menaruh percaya dan mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan; tidak boleh jumawa dan bagi perempuan yang tengah berhalangan juga tidak diperkenankan masuk area petilasan.

Komodifikasi Mitos Eyang Sapu Jagad pada Wisata Alam dan Religi 

Keberadaan sumber umbulan ini dikenal oleh masyarakat luar dusun Ubalan sejak tahun 1930-an.

Masyarakat yang mengunjungi area sumber ini memercayai kekuatan magis melalui ritual doa yang dipanjatkan dengan perantaraan Eyang Sapu Jagad.

Segala ujud dari doa atau ‘intensi’ atau harapan masyarakat disampaikan melalui doa dan juga semedi. Ada yang memohon kesembuhan dari penyakit, naik pangkat, rezeki, awet muda, dan kelancaran usaha.

Awalnya hal ini berjalan tanpa terkoordinir sehingga tidak ada pengawasan dan perawatan area sumber umbulan, sedangkan pengunjung mulai semakin banyak berdatangan dan tidak terkendali.

Masyarakat yang datang melaksanakan hajatnya dengan semedi, doa, mandi, membakar dupa, dan menabur bunga di beragam tempat yang membuat kondisi area sumber kurang nyaman dan terkesan kumuh.

Mengantisipasi hal ini pada saat itu, masyarakat dusun Ubalan menunjuk Mbah Gimbal sebagai juru kunci untuk mengatur ketertiban dan kebersihan area petilasan Eyang Sapu Jagad.

Tahun 1990 masyarakat dusun Ubalan dan desa sekitarnya sepakat membangun bangunan untuk semedi atau berdoa serta bilik mandi di area sumber umbulan bagi masyarakat yang melakukan ritual doa di sana.

Selain itu di area kawah zedi juga dibangun musholla dan bilik-bilik kamar mandi yang juga dapat dipergunakan oleh masyarakat yang melakukan ritual doa di sana.

Pohon sawo keramat yang ada di depan mushola petilasan Eyang Sapu Jagad (Dokumentasi pribadi 2024)
Pohon sawo keramat yang ada di depan mushola petilasan Eyang Sapu Jagad (Dokumentasi pribadi 2024)
Ada yang menarik, di depan musholla terdapat pohon sawo tua yang dikeramatkan. Pohon ini telah ada sejak Eyang Sapu Jagad tinggal di sana.

Tahun 2017, masyarakat setempat membentuk komunitas pengelola wisata untuk pengembangan sumber umbulan sebagai obyek wisata alam dan religi dengan memberi nama obyek wisata ini “Sumber Umbulrejo”. Sejak itu diberlakukan tarif masuk sebesar Rp 3.000,- per orang.

Sebagai pengembangan Wisata Alam dan Religi Umbulrejo (Waru), di tahun 2018 dibangunlah sebuah kolam renang anak di samping petilasan Sumber Umbulrejo yang dilengkapi dengan spot-spot foto dan tempat kuliner oleh UMKM setempat.

Asyiknya main tubing di sungai yang bersih dan segar (Dokumentasi pribadi 2024)
Asyiknya main tubing di sungai yang bersih dan segar (Dokumentasi pribadi 2024)

Tahun 2019 dibangun kolam renang khusus orang dewasa di dekat sumber dengan kedalaman 2 meter. Akses jalan menuju tempat ini pun diperbaiki dan dibangun lahan parkir yang memadai pada tahun 2020.

Proses transformasi petilasan Sumber Umbulan menjadi obyek wisata alam dan religi Sumber Umbulrejo ini disebut sebagai komodifikasi, di mana mitos Eyang Sapu Jagad merupakan sarana promosi wisata yang tepat dan tentunya tanpa mengurangi citra positifnya sebagai wisata religi.

Keberadaan Mitos Sebagai Kearifan Lokal

Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat kita petik makna bahwa keberadaan mitos Eyang Sapu Jagad yang mengakar kuat dalam masyarakat dusun Ubalan dan sekitarnya ini merupakan sebuah kearifan lokal yang sangat dipelihara baik oleh masyarakat.

Keberadaan mitos ini sangat berpengaruh pada budaya dan peri kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal-hal positif yang merupakan dampak dari mitos ini lahir dan menjadi budaya lokal yang mengakar.

Beberapa hal yang nampak antara lain adalah:

  • Dengan keberadaan mitos Eyang Sapu Jagad ini masyarakat semakin taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini nampak pada kegiatan doa, yasinan dan selamatan yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan ujud doa kepada Tuhan melalui perantaraan Eyang Sapu Jagad.
  • Keberadaan mitos ini sangat memperkuat rasa solidaritas masyarakat pemilik kebudayaan sekaligus menjaga kearifan lokal. Masyarakat secara ikhlas dan bergotong-royong bersama menjaga keberlangsungan sumber mata air yang terus-menerus mengalir tanpa henti sejak diciptakan Eyang Sapu Jagad, sehingga air berlimpah untuk sarana irigasi sawah, perkebunan, sarana pariwisata, dan kebutuhan masyarakat sehari-hari selalu terpenuhi.
  • Masyarakat mengembangkan komodifikasi mitos Eyang Sapu Jagad sebagai promosi wisata alam dan religi dengan konsekuensi yang tetap dipelihara dengan baik.
  • Kehidupan sosial masyarakat terkontrol oleh adanya konvensi-konvensi yang harus dipatuhi sehingga tata laku masyarakat dan tamu atau wisatawan pun dapat terkendali dengan baik.

Karena animo kunjungan petilasan Eyang Sapu Jagad ini sangat tinggi, membuat tempat ini berkembang dengan sangat baik. Lebih dari itu, kerarifan lokal juga sangat terjaga dan terpelihara dengan baik pula.

Saya tak menyangka bahwa perjalanan waktu mengubah semuanya menjadi semakin baik bahkan budaya dan kesakralan tetap terjaga. Saya merasa bangga pernah menjalani masa KKN di tempat ini.

Semoga hal ini dapat selalu terjaga hingga anak cucu kita. Salam Lestari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun