Eyang Sapu Jagad  merupakan seorang wedono di kota Blitar dan tokoh pejuang pada zaman penjajahan Belanda. Beliau dengan santrinya yang bernama Mbah Dipo melarikan diri dari kejaran tantara Belanda dan bersembunyi di dusun Ubalan, desa Maguan.
Di desa ini beliau diterima baik oleh masyarakat dan mendirikan tempat persinggahan di desa Maguan yang dibangun bersama masyarakat Maguan.
Masyarakat memandang Eyang Sapu Jagad sebagai seorang yang sakti dan selalu mengajarkan kebaikan.
Karena kebaikannya, masyarakat setempat banyak yang nyantrik atau berguru pada beliau, bahkan dikenal hingga ke desa-desa sekitar desa Maguan.Â
Hal ini menjadikan desa Maguan mengalami perubahan positif perilaku sosial dan spiritual masyarakat setempat dan sekitarnya.
Eyang Sapu Jagad dikenal sebagai sosok suci yang sakti mandraguna. Beliau selalu melakukan tapa dan semedi di area Sumber Umbulan. Â
Dengan kesaktiannya beliau mampu membawa air dengan keranjang bambu dari mata air tersebut hingga ke perkampungan.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, tahun 1942, Eyang Sapu Jagad ditangkap oleh pasukan Belanda yang akhirnya dapat menemukan persembunyiannya. Beliau dibawa ke Ambarawa dan kemudian dieksekusi.
Anehnya ketika hendak dieksekusi Eyang Sapu Jagad menjelma menjadi kedebog pisang (pohon pisang). Saksi dari peristiwa ini adalah abdi dalem atau pengawal beliau bernama Mbah Munasir.
Kisah ini terdengar ke beberapa daerah karena waktu itu beritanya sempat dimuat di majalah Bahasa Jawa Panjebar Semangat.