Malam merambat. Desah dedaunan mengiringi langkahku yang semakin kupercepat, melewati jalan setapak yang membelah hamparan nisan. Gemericik sungai kecil dekat Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kencana Ungu terdengar semakin dekat.
Jembatan yang menghubungkan dua kampung ini mendecit laksana bunyi tuts piano ketika kulalui. Rapuh termakan usia. Kakiku mendadak bergetar sambil mengendap-endap kecil aku menahan agar tak berbunyi, dan itu sangat mustahil.
Kuusap keringat di keningku oleh gelisah yang tiba-tiba menyergap. Ingin segera kulalui jembatan ini dengan cepat, namun semakin aku cepat melangkah derak-deraknya semakin seru menderu.
“Ya Tuhan, temani aku ya…”, gumamku dalam hati untuk menenangkan hatiku.
Jantungku berdetak sangat kencang ketika angin menggoyang pohon-pohon bambu di kanan kiriku. Ia berderak-derak seiring dengan derak bilah-bilah jembatan tua yang tengah kulewati.
Mendekati lahan Pak Sholeh aku melompat mengakhiri lengkingan jembatan reyot ini. Keringatku mengucur deras di tengah malam yang dingin.
Sekilas Mak Siti terlihat membuka pintu tuanya. Belum sempat kusapa, buru-buru ia menutupnya kembali. Aku terhenyak dan merasa agak lain.
Kampung ini sunyi, hanya kerik jangkrik bersaut-bersautan. Langkah kupercepat menaiki jalan yang menanjak dan lengang. Aku heran, mengapa tak ada satu pun lampu yang terang di tugu masuk kampung sebelah ini.
Aku juga sering bertanya-tanya, mengapa tidak segera melebarkan dan memperbaiki akses menuju kampung sebelah yang jauh dari jalan raya ini.
Kulihat rumah Pak Fendi di ujung belokan ketiga. Suasana yang senyap membuatku gugup. Sepertinya aku benar-benar terlambat. Sambil berlari kecil kupercepat langkahku berharap segera sampai di rumah besar satu-satunya di kampung itu.
Belum sempat kuketuk pintunya, Kikan puteri cantik Pak Fendi membuka pintu dan tersenyum.
"Hai Kikan, maaf aku datang terlambat. Kok sepi, mana Pak Fendi dan teman yang lain?”
“Wah, Mas Yos tidak membaca pesan WA grup karang taruna siang tadi ya, rapat ditunda besok karena Bapak ke Bantul melayat sahabatnya yang meninggal", papar Kikan.
“Owh begitu ya…”
Aku tersipu, tersenyum tipis malu-malu. kuingat sepanjang hari ini aku menahan emosi. Ponselku tercebur di kloset kantor desa dan tak bernyawa lagi.
Jantungku kembali berdebar. Bukan karena tepesona wajah Kikan, tetapi karena lolongan anjing di ujung jalan setapak yang mengusik bulu kudukku. Dan celakanya aku harus kembali pulang melewati jembatan reyot sebelah makam itu lagi. (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI