Hingga suatu ketika perlakuan mereka berdua tidak dapat lagi aku biarkan begitu saja.
***
Malam ketujuh sepeninggal eyang putri, aku terpaksa ikut bicara dalam pertemuan keluarga. Aku tidak tahan melihat ibuku disudutkan dan dianggap menjadi penghalang keinginan mereka.
Kubacakan surat wasiat eyang putri di depan keluarga pak puh dan pak lik dengan ditemani paman Handoko pengacara kepercayaan eyang putri. Kulihat semua keluarga pak puh dan pak likku terhenyak. Aura wajah mereka tampak memerah dipenuhi amarah.
Dalam surat itu tertulis secara jelas bahwa rumah beserta pekarangan rumah ini sepenuhnya adalah hak ibuku. Pernyataan ini diperkuat dengan berkas sertifikat rumah yang sudah tertulis nama ibuku.Â
Tertulis juga dalam surat itu pak puh dan pak lik sudah meminta haknya jauh sebelum eyang putri meninggal, bahkan nilainya dua kali lipat dari hak ibuku.
Mereka pergi tanpa pamit penuh murka. Ibuku hanya diam dan menangis sambil memeluk foto eyang putri saat masih muda. Wajahnya sangat mirip ibuku.
Aku mencintaimu Ibu, Selamat Hari Ibu. (Yy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H