"Mama was my greatest teacher, a teacher of compassion, love and fearlessness. If love is sweet as flower, then my mother is that sweet flower of love." - Stevie Wonder
Tanah makam masih basah. Di atas akrilik hitam yang melekat pada  nisan granit putih itu terukir nama Rr. Dyah Ratri Hadiningrat berwarna emas.Â
Rr. Dyah adalah eyang putriku, seorang istri jenderal bintang satu yang terkenal disiplin mendidik anak-anaknya.Â
Kini eyang putri terbaring satu liang lahat dengan eyang kakungku yang sudah 14 tahun silam berpulang. Eyang putri tidak sakit lagi dan pasti bahagia bersama eyang kakung di alam sana.
Aku terpaku di sudut meja makan di ruang tengah yang riuh dengan para tetangga dan kerabat yang rewang menyiapkan masakan. Kuusap daun pisang yang sudah dipersiapkan untuk bungkus lemper dengan kain serbet lembut. Pikiranku terus melayang.
Masih hari ketiga eyang putri berpulang, pak puh dan pak lik sudah sibuk memaksa ibuku menyetujui rencana mereka menjual rumah eyang beserta tanah pekarangan belakang rumah lalu kemudian dibagi-bagi.
Aku sangat sedih melihat ibuku selalu dipaksa dengan tidak sopan oleh kakak dan adik lelakinya. Ibu hanya seorang janda yang tak berdaya. Namun pada kenyataannya selama ini ibukulah merawat eyang putri yang sakit  sampai menutup usia dengan penuh cinta.Â
Ibu harus berjuang sendiri sepeninggal ayah karena kecelakaan pesawat enam tahun lalu. Sejak itu ibu, aku dan Wisnu adik semata wayangku meninggali dan merawat rumah induk ini hingga aku dan Wisnu adikku tumbuh dewasa.Â
Eyang putri yang sudah renta dan sakit-sakitan hanya mau dirawat oleh ibuku. Eyang meminta ibu berhenti bekerja dari sebuah bank pemerintah untuk lebih fokus menemani dan merawat beliau.
Kelakuan pak puh dan lik yang menurutku begitu serakah seringkali membuat ibuku bersedih dan menangis. Aku tak tega namun aku hanya bisa diam dan tak bisa berbuat apa-apa.Â