Siang itu mentari tengah terik-teriknya. Saya ingin segera menuju ke pom bensin Dirgantara setelah perjalanan dari Madyopuro karena bar speedometer motor sudah berkedip-kedip.
Setelah memasuki pom bensin dan melewati antri panjang, motor saya seolah melonjak kegirangan dan ia pun melaju lebih ringan.
Saat berhenti di perempatan lampu merah, saya tercenung. Ingatan saya kembali pada cerita almarhum Bapak tentang adanya lapangan udara di kawasan Dirgantara pada masa pendudukan Jepang.
Saya mencoba mencari tahu apakah masih ada jejak petunjuk lapangan udara yang tertinggal.
Lapangan Terbang Sundeng
Pada masa pendudukan Jepang, Bapak saya adalah seorang Kaigun (sebutan untuk tentara angkatan laut) dan saat itu tidak bertugas di Malang. Bapak bertugas di Semarang sebagai mualim sebuah kapal perang Kainan Maru dengan kesatuan Akatsuki Butai.
Beliau pernah bercerita bahwa sebenarnya pada masa itu kawasan perumahan Dirgantara dan Sawojajar dekat kawasan kwang san (dulu) ini dijadikan lapangan udara oleh tentara Jepang. Bukan sebagai lapangan udara utama, namun hanya sebagai cadangan.
Bapak menjelaskan bahwa Jepang selalu membuat landasan atau lapangan udara di negeri jajahannya untuk memudahkan akses bagi tentaranya. Bahkan mereka bisa membuat lebih dari dua lapangan udara di dalam satu kota.
Hal ini dimaksudkan jika lapangan udara utama atau kelas satu musnah oleh perang, mereka masih mempunyai cadangan akses untuk melakukan perjalanan melalui udara.
Jepang mengerahkan romusha untuk membangun akses penerbangan ini. Romusha adalah buruh paksa Jepang selama Perang Dunia II.
Kata “romusha” berasal dari bahasa Jepang yang terdiri dari “ro” yang artinya buruh dan “musha” berarti prajurit atau tentara.
Romusha merupakan warga pribumi Indonesia yang dipaksa untuk bekerja dalam mengerjakan proyek infrastruktur membangun jalan, pelabuhan, landasan pacu, dan proyek konstruksi lainnya.
Malang Kota Militer
Kota Malang mempunyai banyak gelar, dan salah satunya adalah sebagai Kota Ksatrian atau Kota Militer. Di kota ini banyak didirikan tempat pelatihan militer, asrama dan mess perwira di kawasan Rampal.
Terdapat beberapa titik militer Jepang di Malang yang akhirnya dikuasai oleh BKR/TKR pada waktu itu (1945), yaitu markas Kenpei Tai, Jl. Semeru 42, markas Katagiri Butai, Rampal dan Lapangan terbang Bugis. [terakota.id]
Pada masa penjajahan Jepang, lapangan terbang di Malang terdapat di kawasan Bugis (sekarang Bandara Lanud Abdulrahman Saleh) yang pernah dipakai Angkatan Laut Jepang dan dibangun pada pemerintah kolonial sejak 1937 hingga tahun 1940.
Yang menarik dan jarang orang tahu adalah bahwa di kawasan Sundeng (sekarang Sawojajar) pada masa itu juga dibangun lapangan terbang. Saat ini kawasan ini menjadi perumahan Dirgantara dan Sawojajar. [malang.co.id]
Menjadi Perumahan Nasional
Dalam grup media sosial Sejarah dan Budaya Malang Raya, seorang kontributor utama bernama Ian Sanu Shetty memberikan penjelasan tentang sejarah lapangan udara di kawasan Sundeng ini.
Dengan melampirkan data berupa screenshot dari media merdeka.com yang menjelaskan bahwa pada era pendudukan Jepang wilayah persawahan di sebelah timur Kali Sundeng yang datar dan luas dimanfaatkan untuk lapangan terbang serta markas pasukan udara dari Angkatan Darat Jepang.
Pada era perang dunia II satuan udara Jepang sebagai satuan mandiri belum terbentuk sehingga ditempatkan dalam Kaigun (Angkatan Laut) dan Rikugun (Angkatan Darat).
Lapangan udara Bugis (sekarang Lanud Abdulrahman Saleh) dioperasionalkan sebagai lapangan terbang tempur kelas satu yang siap beroperasi selama 24 jam penuh.
Kini lapangan udara kawasan Sundeng ini menjadi perumahan nasional yang padat dan terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu Perumahan Dirgantara, Perumahan Sawojajar I, dan Perumahan ASABRI.
Ternyata data membuktikan bahwa Malang pernah punya dua lapangan udara di masa pendudukan Jepang. Meski kadang saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin terdapat sawah di atas landasan pacu (aspal), karena lagi-lagi Bapak bercerita bahwa sebelum dibangun perumahan lahan luas tersebut adalah area persawahan.
Dari informasi yang terhimpun, sejak Jepang meninggalkan Indonesia seluruh pesawat dialihkan ke Lapangan Udara Bugis. Pesawat yang ditinggalkan oleh tentara Jepang sebagian sudah tidak laik terbang.
Tanah berupa landasan pacu diambil alih negara Indonesia dan sepenuhnya dikelola penduduk setempat hingga manjadi area persawahan. Lambat laun area persawahan lenyap berganti dengan perumahan seiring perkembangan zaman dan kebutuhan penduduk akan rumah tinggal.
Wah, menarik juga ya kisahnya. Siapa sangka Malang pernah punya dua lapangan udara dan menjadi daerah yang sarat dengan sejarah yang menakjubkan.
Bagaimana sahabat Kompasianer yang budiman, gak pengen ke Malang kah? (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI