Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapa Sangka Malang Punya Dua Lapangan Udara di Masa Pendudukan Jepang

17 Desember 2023   20:40 Diperbarui: 18 Desember 2023   09:44 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat Jepang di Lapangan Udara Sundeng | dok. Ian Sanu Shetty

Siang itu mentari tengah terik-teriknya. Saya ingin segera menuju ke pom bensin Dirgantara setelah perjalanan dari Madyopuro karena bar speedometer motor sudah berkedip-kedip.

Setelah memasuki pom bensin dan melewati antri panjang, motor saya seolah melonjak kegirangan dan ia pun melaju lebih ringan.

Saat berhenti di perempatan lampu merah, saya tercenung. Ingatan saya kembali pada cerita almarhum Bapak tentang adanya lapangan udara di kawasan Dirgantara pada masa pendudukan Jepang.

Replika pesawat Tachikawa Ki-55
Replika pesawat Tachikawa Ki-55 "Cukiu" | Foto : historia.id - Randy Wirayudha 
Saya memandang sekeliling lalu berbalik dan berniat mengitari perumahan Dirgantara di samping kiri pom bensin ini. Tak sampai di situ, setelah beberapa saat mengitari kompleks perumahan ini, saya melanjutkan niat mengelilingi perumahan Sawojajar yang terkenal seperti labirin.

Saya mencoba mencari tahu apakah masih ada jejak petunjuk lapangan udara yang tertinggal.

Lapangan Terbang Sundeng

Pada masa pendudukan Jepang, Bapak saya adalah seorang Kaigun (sebutan untuk tentara angkatan laut) dan saat itu tidak bertugas di Malang. Bapak bertugas di Semarang sebagai mualim sebuah kapal perang Kainan Maru dengan kesatuan Akatsuki Butai.

Beliau pernah bercerita bahwa sebenarnya pada masa itu kawasan perumahan Dirgantara dan Sawojajar dekat kawasan kwang san (dulu) ini dijadikan lapangan udara oleh tentara Jepang. Bukan sebagai lapangan udara utama, namun hanya sebagai cadangan.

Bapak menjelaskan bahwa Jepang selalu membuat landasan atau lapangan udara di negeri jajahannya untuk memudahkan akses bagi tentaranya. Bahkan mereka bisa membuat lebih dari dua lapangan udara di dalam satu kota. 

  Ilustrasi situasi lapangan udara di era pendudukan Jepang  | Foto : Fb. Ilham (Grup Masa Hindia Belanda)
  Ilustrasi situasi lapangan udara di era pendudukan Jepang  | Foto : Fb. Ilham (Grup Masa Hindia Belanda)

Hal ini dimaksudkan jika lapangan udara utama atau kelas satu musnah oleh perang, mereka masih mempunyai cadangan akses untuk melakukan perjalanan melalui udara.

Jepang mengerahkan romusha untuk membangun akses penerbangan ini. Romusha adalah buruh paksa Jepang selama Perang Dunia II. 

Ilustrasi romusha atau kerja paksa  | Foto : pojoksatu.id
Ilustrasi romusha atau kerja paksa  | Foto : pojoksatu.id

Kata “romusha” berasal dari bahasa Jepang yang terdiri dari “ro” yang artinya buruh dan “musha” berarti prajurit atau tentara.

Gambaran romusha dipulangkan setelah Jepang kalah | Foto : pinterest @Mazdarwan
Gambaran romusha dipulangkan setelah Jepang kalah | Foto : pinterest @Mazdarwan

Romusha merupakan warga pribumi Indonesia yang dipaksa untuk bekerja dalam mengerjakan proyek infrastruktur membangun jalan, pelabuhan, landasan pacu, dan proyek konstruksi lainnya.

Malang Kota Militer

Kota Malang mempunyai banyak gelar, dan salah satunya adalah sebagai Kota Ksatrian atau Kota Militer. Di kota ini banyak didirikan tempat pelatihan militer, asrama dan mess perwira di kawasan Rampal. 

Peta Kota Malang dari Seksi Geografi Sekutu, koleksi Monash University | Foto : terakota id
Peta Kota Malang dari Seksi Geografi Sekutu, koleksi Monash University | Foto : terakota id

Terdapat beberapa titik militer Jepang di Malang yang akhirnya dikuasai oleh BKR/TKR pada waktu itu (1945), yaitu markas Kenpei Tai, Jl. Semeru 42, markas Katagiri Butai, Rampal dan Lapangan terbang Bugis. [terakota.id]

Pada masa penjajahan Jepang, lapangan terbang di Malang terdapat di kawasan Bugis (sekarang Bandara Lanud Abdulrahman Saleh) yang pernah dipakai Angkatan Laut Jepang dan dibangun pada pemerintah kolonial sejak 1937 hingga tahun 1940. 

Marsda Udara Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Sp.F atau dikenal dengan nama julukan
Marsda Udara Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Sp.F atau dikenal dengan nama julukan "Karbol" | symbolhunt.com

Yang menarik dan jarang orang tahu adalah bahwa di kawasan Sundeng (sekarang Sawojajar) pada masa itu juga dibangun lapangan terbang. Saat ini kawasan ini menjadi perumahan Dirgantara dan Sawojajar. [malang.co.id]

Menjadi Perumahan Nasional 

Dalam grup media sosial Sejarah dan Budaya Malang Raya, seorang kontributor utama bernama Ian Sanu Shetty memberikan penjelasan tentang sejarah lapangan udara di kawasan Sundeng ini.

Dengan melampirkan data berupa screenshot dari media merdeka.com yang menjelaskan bahwa pada era pendudukan Jepang wilayah persawahan di sebelah timur Kali Sundeng yang datar dan luas dimanfaatkan untuk lapangan terbang serta markas pasukan udara dari Angkatan Darat Jepang.

Pada era perang dunia II satuan udara Jepang sebagai satuan mandiri belum terbentuk sehingga ditempatkan dalam Kaigun (Angkatan Laut) dan Rikugun (Angkatan Darat).

Lapangan udara Bugis (sekarang Lanud Abdulrahman Saleh) dioperasionalkan sebagai lapangan terbang tempur kelas satu yang siap beroperasi selama 24 jam penuh.

 Pesawat pembom ringan Kawasaki Ki-48 Sokei Type 99 (Aircam Aviation Series no. 32) | Foto : historia.id - Rendy Wirayudha
 Pesawat pembom ringan Kawasaki Ki-48 Sokei Type 99 (Aircam Aviation Series no. 32) | Foto : historia.id - Rendy Wirayudha

Kini lapangan udara kawasan Sundeng ini menjadi perumahan nasional yang padat dan terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu Perumahan Dirgantara, Perumahan Sawojajar I, dan Perumahan ASABRI.

Ternyata data membuktikan bahwa Malang pernah punya dua lapangan udara di masa pendudukan Jepang. Meski kadang saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin terdapat sawah di atas landasan pacu (aspal), karena lagi-lagi Bapak bercerita bahwa sebelum dibangun perumahan lahan luas tersebut adalah area persawahan.

Ilustrasi tentara Jepang | Foto : ruangpengetahuan.co.id
Ilustrasi tentara Jepang | Foto : ruangpengetahuan.co.id

Dari informasi yang terhimpun, sejak Jepang meninggalkan Indonesia seluruh pesawat dialihkan ke Lapangan Udara Bugis. Pesawat yang ditinggalkan oleh tentara Jepang sebagian sudah tidak laik terbang.

Tanah berupa landasan pacu diambil alih negara Indonesia dan sepenuhnya dikelola penduduk setempat hingga manjadi area persawahan. Lambat laun area persawahan lenyap berganti dengan perumahan seiring perkembangan zaman dan kebutuhan penduduk akan rumah tinggal.

Pesawat tempur Jepang Yokosuka K5Y | wikipedia.com
Pesawat tempur Jepang Yokosuka K5Y | wikipedia.com

Wah, menarik juga ya kisahnya. Siapa sangka Malang pernah punya dua lapangan udara dan menjadi daerah yang sarat dengan sejarah yang menakjubkan.

Bagaimana sahabat Kompasianer yang budiman, gak pengen ke Malang kah? (Yy)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun