Dalam Boso Walikan susunan bahasa dalam kalimat merupakan campuran antara kata-kata umum yang dapat dibalik dengan kata-kata yang lazim yang tidak dibalik.
Contohnya : “Ayo ker, numpak rotom ae timbangane uklam” atau “Ayo rek naik motor saja daripada jalan kaki”.
Dapat kita amati bahwa dalam kalimat di atas yang berubah adalah kata ker (rek), rotom (motor), dan uklam (mlaku/jalan kaki), sedangkan numpak (naik) dan timbangane (daripada) tidak dibalik. Demikian juga kata mlaku yang diucapkan dengan kata uklam yang diucapkan demikian agar pengucapan dapat lebih mudah.
Susunan kalimat tersebut telah melekat dalam bahasa pergaulan sehari-hari warga asli kota Malang. Boso Walikan ini merupakan cermin sebuah kebudayaan setempat yakni budaya Malangan.
Sebuah Identitas
Bahasa daerah adalah sebuah identitas daerah setempat. Masyarakat kota Malang sangat bangga dengan kekayaan yang khas ini. Oleh karena itu pemerintah kota Malang juga berupaya untuk melestarikan Boso Walikan ini.
Hal ini diperteguh dengan pelaksanaan komitmen DPRD Kota Malang dengan mengusulkan Perda Arema. Drs. H. Sutiaji (walikota saat itu) menegaskan Boso Walikan menjadi satu kesatuan dan identitas warga Malang. Tidak hanya kota Malang melainkan warga kota Batu dan kabupaten Malang pun juga menggunakan bahasa yang sama. (NMP-2020).
Sebagai komitmen bersama, pemerintah kota Malang pun menggunakan Boso Walikan dalam tiap program atau event yang mereka selenggarakan dengan pertimbangan lebih merakyat dan membumi di bumi Arema.
Seiring berkembangnya waktu Boso Walikan tetap lestari dalam dialek sehari-hari kera ngalam (dibalik arek Malang). Bahasa khas ini sangat identik dengan Bhumi Arema atau kota Malang, meskipun Yogyakarta mempunyai Bahasa Walikan sendiri.
Betapa kayanya bumi nusantara kita yang tercinta ini. Satu hal yang penting adalah meskipun kita telah memiliki bahasa daerah atau bahasa khas sendiri atau menguasai bahasa asing kita tetap harus menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang utama.