“Bahagialah jika seorang ksatria dapat kesempatan menunaikan tugas suci membela tanah airnya atau membela kebenaran untuk menghancurkan angkara murka. Jika ia gugur dalam perang, maka rohnya akan dipapak oleh bidadari-bidadari yang cantik untuk diantar ke Indraloka, dan tempat yang indah sudah tersedia baginya.” (Sumber: Perang Bali 239 ― I Gusti Ngurah Pindha (Pelaku Sejarah, Anggota DPR RI tahun 1982-1987 1924-1991))
Berbicara tentang ksatria, ada sebuah kisah yang sangat langka dan nyaris tak terusik oleh masyarakat di sekitar daerah asal muasal dari ksatria itu sendiri.
Kota Malang, salah satu kota yang mempunyai kekayaan sejarah di masa lampau. Bumi Arema mempunyai begitu banyak peninggalan sejarah yang tersebar di beberapa daerah di Malang Raya.
Adalah Bunulrejo, salah satu dari 57 kelurahan di kota Malang yang ternyata menyimpan sejarah yang sangat unik. Siapa sangka ada ksatria yang sakti mandra guna di balik cikal bakal nama Bunulrejo yang seperti mempunyai makna biasa-biasa saja.
Bunulrejo dulu dikenal dengan desa Bulul dan kemudian menjadi Bunul, masuk dalam wilayah Asisten Wedana (sekarang kecamatan Blimbing) berdasarkan ketetapan Gementeeblad no. 108 tahun 1937.
Melalui temuan prasasti Bunulrejo yang terukir di balik arca Ganesha buatan tahun 856 Saka (4 Januari 935 M) digambarkan bahwa di kelurahan Bunulrejo, kecamatan Blimbing, kota Malang terdapat sebuah taman dan telaga teratai pada masa kekuasaan sang maharaja Medang (Mataram Baru) Mpu Sindok yang bergelar Isyanawikrama Darmmatunggadewa.
Rakai (setingkat gubernur) pemegang daerah lungguh (apanage) Kanuruhan tangan kanan Mpu Sindok ini merasa terpukau pada seorang pemuda Jawa Kuna bernama Bulul yang mempunyai keahlian dalam mengelola sebuah daerah. Rakai Kanuruhan Dhyah Mungpang mengeluarkan waranugraha atau penghargaan tinggi pada pemuda Bulul atas keahlian dan jasa-jasanya itu.
Arca Ganesha yang menyimpan kisah sejarah asal mula desa Bunulrejo dengan Bulul sebagai pemuda yang berjasa pada desanya ini tersimpan di Museum Mpu Purwa yang berlokasi di Jln. Soekarno Hatta B-210 Kota Malang.
Mpu Bulul Seorang Ksatria
Bulul merupakan nama seorang pemuda Jawa Kuna yang hidup pada abad X Masehi yang tinggal di desa Kajatan (nama desa Kajatan tertuang dalam prasasti Sangguran 928), di wilayah watak Kanuruhan (Kanjuruhan) di bawah kekuasaan kerajaan Medang (Mataram Baru).
Pemuda Bulul mendapat waranugraha atau anugerah sebuah status sima (perdikan) yaitu penghargaan untuk mengelola desa sekaligus hasil bumi dan hasil pajaknya sepenuhnya menjadi milik penerima penghargaan dan dipergunakan untuk pemeliharaan taman dan desanya sampai akhir zaman. [kliktimes.com tag yayuk sulistiyowati]
Penghargaan ini ditandai dengan sebuah prasasti Kanuruhan yang terpahat di balik arca Ganesha. Seperti kita kenal, Ganesha adalah dewa yang menyerupai seekor gajah. Sejak peresmian arca ini oleh Rakai Dyah Mungpang, desa Kajatan resmi menjadi milik Bulul dan menjadi sebuah wilayah otonom yang sepenuhnya dikelola oleh Bulul.
Bulul adalah pemuda desa Kajatan yang berjiwa ksatria dan patriotisme. Ia telah berhasil menjaga keamanan desanya yang pada waktu itu terkenal tidak aman karena maraknya pembunuhan, perampokan, begal dan pencurian yang meresahkan warga.
Kondisi kekacauan ini juga berhubungan dengan cerita legenda masyarakat setempat bahwa arca Ganesha merupakan penjelmaan “maling aguno” (maling atau pencuri yang sangat lihai dan sakti mandraguna) yang dikutuk oleh seorang wali menjadi arca batu.
Bulul juga berjasa karena perhatian dan kecintaannya terhadap alam lingkungannya. Ia telah membangun telaga penuh bunga teratai atau padma yang bertaburan di atas telaga lengkap dengan taman dengan bunga warna-warni di sekelilingnya.
Suatu hal yang luar biasa karena teratai atau padma merupakan bunga yang dianggap mengandung kesucian dalam ajaran Hindu dan Budha. Keberadaan taman dan telaga ini terwujud sesuai nazarnya, jika daerahnya yang pada saat itu dilanda situasi mencekam menjadi daerah yang aman maka ia akan membuat sebuah telaga dan taman yang dihias dengan berbagai macam bunga.
Bulul tak hanya membudidayakan teratai, namun ia membudidayakan bermacam-macam bunga hias dan bunga sembahyang yang digunakan dalam tradisi Hindu dan upacara-upacara kerajaan. Ia pun dikenal sebagai pemuda yang ahli merangkai bunga untuk kegiatan upacara ritual kerajaan. Bukan hanya sekedar ahli merangkai saja, tetapi Bulul juga memberi pelatihan bagi warganya untuk menanam dan merangkai bunga.
Berkat Bulul warga desanya memiliki kemampuan membudidayakan bunga dan mampu merangkai bunga untuk kebutuhan upacara-upacara keagamaan Hindu dan upacara-upacara kerajaan pada saat itu. Dalam hal ini Bulul sangat berjasa dalam menaikkan taraf hidup dan ekonomi warga sekitarnya, dan karena keahliannya itu ia disebut “Mpu” Bulul.
Sesuai dengan daerah di mana Mpu Bulul hidup dan tinggal, dia menjadi tokoh yang namanya menjadi cikal bakal nama Bunulrejo. Bulul yang huruf konsonan ‘l’ dalam aksara Jawa bersinggungan dengan huruf ‘n’ menjadikan pengucapan “Bulul” menjadi “Bunul”. Kata rejo merupakan tambahan yang dalam bahasa Jawa bermakna makmur atau sentosa. (Yy)
***
Sumber : Malang Cilin Digital Acces :
Eko-Sosio-Kultura Lokal Kota Malang dalam Perspektif Historis
"Eksotisme Taman Bunulrejo Era Kerajaan Medang dan Upaya Pelestariannya" - Yayuk_2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H