Pada suatu Minggu siang bolong, aku menyusuri padatnya jalan di Kota Malang. Matahari panas menyengat. Debu-debu pun melebur dan melekat di wajah dan raga tak terelakkan.Â
Seperti biasa, kurapatkan "Grey"ku (kini sudah berpindah tangan) di sisi trotoar Ijen Boulevard, di depan sebuah restoran ternama.Â
Kuisi amunisi dalam botol kecilku dari tugu air minum yang bebas dikonsumsi oleh para pengguna jalan yang menjulang di dekatku.
Kuhempaskan tubuhku di bangku besi tempat termenungku biasanya. Di bangku taman yang viral sebagai bangku asmara. Menyoal bangku asmara akan kuceritakan di tulisan selanjutnya...
Bangku itu kosong, dan lagi-lagi aku beruntung bisa duduk sendirian, sedangkan di sisi kanan kiri dan di depanku bangku penuh terisi para pasangan muda mudi yang tengah kasmaran.
Kumatikan aplikasi order online'ku, sudah berjam-jam berkeliling belum juga tersapa. Ah sudahlah, semua ada waktunya.Â
Wanita Jalanan
Duduk di tengah keramaian, hatiku sepi dan pikiranku jauh menerawang. Aku bertanya-tanya dalam hati; untuk apa sebenarnya ini semua kulakukan, berkeliling tak tentu arah di jalanan yang padat, duduk bodoh-bodoh di pinggir jalanan yang panas dan bertabur debu.
Jauh-jauh mengantar pesanan makanan-makanan lezat, dan rela mengantri panjang di restoran favorit. Sambil menonton para pecinta kuliner menikmati makanan favoritnya, bahkan tanpa bisa membelinya.
Pernah suatu ketika aku diskusi dengan seorang kawan, dan tanpa debat menyebut bahwa "kita ini wanita jalanan". Sengaja aku tak menyebutkan profesiku selain side job ngojek ini.
Dalam pengamatan awamku dunia kami tak seperti kaum wanita dan ibu semestinya saat berada di rumah; segar dan cantik sambil melayani suami dan anak-anaknya. Duduk nonton sinetron dan drakor kesukaan.