Bak jamur di musim penghujan, warung kelontong bertebaran di berbagai daerah perkotaan, pinggir kota maupun pelosok. Mereka tumbuh di daerah-daerah strategis dan menggunakan strategi yang tepat untuk menyaingi minimarket modern yang sebelumnya juga telah menguasai pasar rakyat di berbagai penjuru.
Sama halnya minimarket modern yang dalam radius tertentu terdapat lagi cabangnya, warung-warung kelontong yang dikelola oleh kaum etnis tertentu juga menanamkan strategi sedemikian.
Bukannya tergerus oleh kekuatan pasar modern, mereka justru semakin bertumbuh dan mempunyai jurus jitu dalam membidik pasar.
Bahkan saat badai pandemi melanda selama kurang lebih dua tahun, ketika hampir seluruh pergerakan perekonomian jalan di tempat, warung kelontong ini tetap berani membuka warungnya meskipun tak lagi 24 jam.
Semakin Menggurita
Fenomena menjamurnya warung kelontong bukanlah hal baru. Dalam radius tertentu, jika terdapat ruko atau rumah disewakan, warung ini dengan cepat berdiri dan memulai aktivitasnya.
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, setelah segala sektor mulai menggeliat, warung ini lahir dan terus lahir bahkan semakin menggurita di berbagai daerah.
Warung kelontong ini mempunyai ciri khas yang unik sekaligus menarik. Segala bentuk kebutuhan pokok dan sehari-hari tertata secara apik dan terbilang sangat lengkap, seperti sembako, perlengkapan sehari-hari, obat-obatan, makanan ringan hingga perlengkapan rumah tangga dan bahan bakar kendaraan tersedia di warung kelontong ini.Â
Saya juga tak menyangka, ketika saya membutuhkan makanan untuk anabul (anak bulu = kucing) saya yang mendadak kehabisan di tengah malam, ternyata di warung mereka juga tersedia meskipun tak selengkap penjual khusus makanan hewan.
Saya pribadi merasa dimudahkan oleh kehadiran mereka yang seolah tidak ada matinya.