Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Gulali dan Emput Mbok Ni

14 November 2022   18:10 Diperbarui: 26 November 2022   08:52 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gulali colek gula aren jadul | khan.web.id

 "Rek, itu Mbok Ni…”, kudengar Juki berteriak keras, telunjuknya menunjuk perempuan berkebaya berwarna pink pucat. Ia dan Antok melompat turun dari pohon waru.

Aku, Roi dan Iyan pun mendongak dan buru-buru turun. Aku yang di dahan pohon paling atas pun berusaha cepat turun meskipun agak kesulitan. Aroma harum gulali gula aren Mbok Ni seolah menusuk-nusuk hidungku. 

Ilustrasi anak-anak bermain di lapangan | dok. pribadi 
Ilustrasi anak-anak bermain di lapangan | dok. pribadi 

Kami berlarian menyambut Mbok Ni yang berjalan menuju pojok lapangan sekolah sambil menyunggi keranjang sambil menenteng dingklik kayu. Mbok Ni tersenyum gembira dan mempercepat jalannya. Perempuan paruh baya ini terlihat trengginas dan sangat lihai berjalan meskipun kakinya berbalut sewek

Juki dan Antok berlari paling cepat, dan di lapangan rumput pojok bagian barat sekolah mereka langsung ngglempoh menunggu Mbok Ni duduk dan mengatur dagangannya. 

“Tumben baru datang Mbok, anak-anak sudah menunggu dari tadi”, tanya Pak Sis penjual es jeruk orson sebelah tempat mangkal Mbok Ni.

“Iyo Sis, aku ngantar anakku ke terminal mau ke Surabaya, malam nanti berangkat ke Batam. Alhamdulillah dapat kerjaan di Playwood,” jawab Mbok Ni sambil meletakkan gulungan handuk merah alas sunggiannya.

“Alhamdulillah Mbok,” Pak Sis menyahut sembari menyodorkan segelas es jeruk pada Mbok Ni. Mbok Ni tidak langsung meminumnya, ia letakkan di atas batu besar di sebelah ia duduk di atas dingklik mungilnya.

Aku, Iyan, Roi, Antok dan Juki sudah duduk melingkari keranjang bakul Mbok Ni. Seperti biasanya Mbok Ni membagi-bagikan kerupuk rakyat pada kami sebagai bonus sambil menunggu Mbok Ni beraksi memilin-milin gulalinya. 

“Mbok, pleiwut itu apa?”, aku bertanya sambil terus mengunyah kerupuk. Jujur aku penasaran dan kata yang sangat asing bagiku pada waktu itu.

“Itu lho le, perusahaan kayu besar di Batam… jauh di sana di dekat luar negeri”, Mbok Ni menjawab dengan raut yang terlihat gembira.

“Kalau sudah besar nanti aku juga mau Mbok kerja di Batam,” aku menganggapinya dengan ikutan senang karena mendengar Batam dekat luar negeri.

“Amin, Mbok doakan kalian semua nanti jadi orang sukses. Amin ya rabbal alamin,” doa Mbok Ni yang tengah memilin gulali pertama. Aroma gula aren yang khas dari gulali Mbok Ni membuatku tidak sabar lagi mengemutnya.

Gulali colek gula aren jadul | khan.web.id
Gulali colek gula aren jadul | khan.web.id

Gulali berwarna kecoklatan di atas nampan plastik biru itu dicolek, ditarik-tarik, dililitkan, diputer-puter pada stik bambu membentuk lilitan yang membentuk oval. Bentuknya seperti permen lollipop, rasanya manis dan gurih khas gula aren. 

Hmm, aku tak sabar menunggu giliran. Lagi-lagi Juki dan Antok sudah mulai main sembur-semburan emput sembari menjilat-jilati permen gulalinya.

Makan gulali tidak lengkap rasanya jika tidak pakai emput. Emput digunakan sebagai toping gulali. Mbok Ni sering bercerita emput dibuat dari jagung dicampur sedikit kacang tanah yang disangrai dan setelah matang, ditumbuk agak halus diberi sedikit gula dan garam. Emput ini dicontong dalam kertas sebagi pelengkap makan gulali. 

Permen gulali yang dicelupkan dalam larutan emput, rasanya semakin gurih. Setelah itu baru diemut dan hmmm rasanya nikmat sekali. Emput ini seringkali dipakai untuk mainan sembur-semburan, dan tidak ada yang merasa jijik  bahkan seperti ada sensasi tersendiri.

“Ini gulalimu Ris, Mbok beri bonus brem tapi tunggu lagi sebentar ya, main saja dulu nanti ambil di sini,” Mbok Ni meyodorkan gulali padaku. Aku pun mengangguk sambil mencomot secontong emput dan mulai membaur ke teman-temanku saling beradu sembur.

Kulihat Mbok Ni masih menarik-narik dan memilin-milin gulali untuk dibuat brem yang dijanjikan padaku. Di sekeliling Mbok Ni banyak anak-anak juga mengantri. Sayup-sayup kudengar anak-anak perempuan tertawa-tawa dan main sembur-semburan emput sambil menunggu permen gulali mereka.

"Ris, Aris… Mbok Ni sudah pulang. Ini bremnya dititipkan padaku," Pak Sis menyodorkan dua bungkus berbentuk kotak kertas pipih berisi gulali yang dipilin-pilin sampai berubah berwarna pucat, dibentuk segiempat dan dibungkus plastik dan kertas.

Brem gulali dari gula aren ini baru bisa kunikmati besok atau lusa, tunggu mengeras. Kalau saja aku punya kulkas nanti malam pasti sudah mengeras dan bisa segera kunikmati. Biasanya aku titip Roi, tetapi Roi sudah keburu pulang karena dijemput kakaknya.

***

"Papa, ayok beli itu!", Neta merajuk memintaku membeli sepotong permen gula. Permen gula itu berbentuk kelinci gembung warnanya merah menyala.

"Beli yang lain saja nak, nanti batuk lho…," aku berusaha membujuk Neta supaya tidak membeli permen gula itu. Aku khawatir Neta tak bisa mengkonsumsi makanan sembarangan yang belum jelas kebersihannya. Kiosnya penuh sesak, dan antrinya juga cukup panjang.

"Aku mau itu papa, baunya harum bentuknya lucu…", Neta masih saja merajuk.

Dalam pameran "Kotaini Tempoe Doeloe" ini banyak sekali makanan jadul yang dijual di sepanjang jalan poros jantung kota. Dari sekian banyak jajanan jadul yang beraneka ragam, Neta putri semata wayangku hanya tertarik membeli permen gula itu.

Demi menyenangkan hati Neta, kuterobos kerumunan menuju kios serba merah di seberang itu. Neta tertawa gembira dalam gendonganku. 

"Asyiiiik, aku mau permen yang bentuknya naga dan bunga ya pa…", seru Neta gembira, aku pun mengangguk dan memesan dua macam permen gula pada Ibu yang menjual permen gula itu.

"Saya catat dulu ya Om, masih antri 2 orang lagi. Silakan duduk dulu sambil menunggu," seorang gadis remaja berambut panjang mempersilakan aku duduk.

Aku duduk di sebuah kursi rotan sambil memangku Neta. Tangannya memainkan tali jaketku dan memilin-milinnya dengan jari kecilnya. Mataku tertuju pada nampan hijau berisi gulali di atas meja sebelah gadis remaja tadi. Harum khas gulali Mbok Ni menari-nari di lubang hidungku, sama persis. Di sebuah wadah plastik merah tersusun emput-emput dalam contongan kertas roti.

Aku mencium bau harum yang tak asing, ingatanku pun melayang dua puluh tahunan lalu ketika duduk jongkok di dekat keranjang Mbok Ni. Aku merindukan rasa gulali khas buatan Mbok Ni yang sejak lulus SD tak lagi kujumpai, kalah saing dengan snack-snack kemasan pabrik.

Setelah pembeli lain berlalu, kuberanikan diri mengajak Ibu yang menjual permen gula itu ngobrol.

"Saya pesan sepuluh gulali dan emputnya juga ya Bu, obat rindu pada gulali dan emput Mbok Ni yang jualan di sekolah SDN Bhineka V dua puluh tahunan lalu. Orangnya baik sekali, sering memberi bonus kerupuk dan brem", ucapku pada Ibu yang meracik permen gula di depanku. 

"Oh Mbok Ni yang jualannya disunggi itu ya Mas?, Itu Ibuk saya. Beliau sudah meninggal karena sakit tua. Sejak Ibuk meninggal, saya keluar kerja dari Playwood Batam, pulang dan meneruskan jualan gulali ini," Ibu yang mengaku bernama Isna itu bercerita panjang lebar sambil memilin gulali gula aren itu hingga stik kesepuluh yang kupesan.

Sore, hujan 14 November 2022

Fiksi Kuliner 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun