Gerakan guru menulis yang akhir-akhir ini digaungkan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas seorang pendidik. Gencarnya gerakan ini juga bukan saja untuk meningkatkan jenjang kepangkatan namun lebih untuk meningkatkan semangat dalam menanamkan literasi bagi diri sendiri dengan tujuan menjadikan diri sebagai teladan bagi banyak orang khususnya bagi para peserta didik. Melalui karya berupa tulisan, guru dapat membagi ilmunya baik secara umum maupun secara khusus sesuai dengan profesionalismenya sebagai guru mata pelajaran. Namun melihat realita yang terjadi saat ini muncul pertanyaan : mengapa masih banyak guru yang belum tergerak untuk menulis?
Penulis merasa perlu menambahkan bahwa yang menjadi momok yang menyebabkan guru enggan menulis adalah munculnya rasa kurang percaya diri atau kurang berani. Padahal kita belum tahu juga apakah tulisan kita nanti benar-benar dikonsumsi atau dibaca. Lingkungan kedinasan juga dapat menjadi penghambat. Tidak semua rekan atau komunitas di sekolah mendukung kegiatan ini di tengah kesibukan kegiatan sebagai pengajar.
Hal lain yang paling ironis sebagai penghambat adalah bahwa guru tidak suka membaca. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Dapat diartikan bahwa dari 1,000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. (Kominfo.com 10/10/2017).
Kenyataan tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini bertentangan dengan pernyataan Dr. Roger Farr seorang Emeritus Chancellor's Professor of Education, Indiana University, Bloomington, IN, USA yang dikutip oleh Tim Gerakan Literasi Nasional. Menurut Farr, membaca adalah jantungnya pendidikan. Tanpa membaca pendidikan akan mati. Selain itu, Glenn Doman (tokoh Pendidikan dunia) mengatakan membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. (Kupang.tribunnews 16/12/2015)
Menulis Sebagai Habit
Guru sebagai pegiat utama literasi merupakan sosok yang mempunyai kemampuan membaca, yang artinya guru selain membaca buku juga akan membaca segala fenomena yang terjadi dalam kehidupan. Semakin sering keterampilan membaca diasah, semakin banyak bahan yang dapat ditulis. Kemampuan merenung dalam memikirkan sesuatu atau deep thinking atau kesanggupan untuk berpikir mendalam juga terasah.
“Percepatan Transformasi Digital Nasional yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, bertujuan untuk membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait pemanfaatan Teknologi baru, serta meningkatkan kecakapan digital masyarakat dalam berineteraksi di ruang Digital. Transformasi Digital harus disikapi dengan serius, sehingga dapat membawa manfaat positif bagi kehidupan. salah satu upaya dalam mendukung percepatan transformasi digital adalah penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) di Bidang Digital. Sumber Daya Manusia yang siap dengan memahami, menguasai dan memperlakukan peran Teknologi dengan baik, sehingga membawa manfaat yang baik pula. sebaliknya, sumber daya manusia yang tidak siap dengan Transformasi Digital akan tertinggal dengan perkembangan Teknologi yang ada di Era Digital saat ini”tutur Lies Fahimah, Asisten Administrasi Umum Setda Provinsi Kalteng (diskominfo.kalteng.go.id : 20/05/2021)
Dalam hal ini sumber daya yang menjadi sasaran utama transformasi ini para tenaga pendidik; dosen, guru, para pendidik juga siapa saja yang menekuni bidang pendidikan. Namun kenyataannya, saat ini kita dihadapkan pada tidak mudahnya sebuah proses transisi ini. Sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah guru sebagai sosok yang “ditiru” atau teladan belum semua yang cakap digital.
Seperti ungkapan Meidine Primalia seorang Economic Tutor – CV Ruang Siswa Cendekia dan Official Campus Ambassador at International MUN, Bogor dalam webinar #makincakapdigital wilayah DKI Jakarta dan Banten; bahwa “pendidik bisa disebut dengan digital immigrant yaitu mereka yang masih proses transisi digital”. Artinya pendidik masih beranggapan bahwa media baru akan menambah kerumitan kerja dan hanya terfokus pada hal-hal yang dampaknya negatif saja, sedangkan para peserta didik dianggap sebagai digital native yang memanfaatkan media baru dalam kehidupan nyata. (avd.kompas.id : Juni, 2021).