Mohon tunggu...
Cahaya Varas Simanjuntak
Cahaya Varas Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Natuna di Garis Api: Diplomasi atau Tontonan Belaka?

8 Desember 2024   22:19 Diperbarui: 8 Desember 2024   22:52 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kepulauan Natuna, sebuah gugusan pulau di perairan utara Indonesia, telah menjadi panggung utama konflik geopolitik. Lokasinya yang strategis di Laut Natuna Utara menjadikannya pusat persinggungan antara klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 dan klaim Nine-Dash Line oleh China. Situasi ini memperlihatkan lemahnya penegakan hukum internasional dan mengundang pertanyaan: apakah diplomasi Indonesia cukup kuat atau sekadar menjadi penonton di tengah percaturan kekuatan global?

Menurut UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea), Indonesia memiliki hak eksklusif atas sumber daya alam di wilayah ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkalnya. Namun, klaim Nine-Dash Line oleh China, yang mencakup sebagian Laut Natuna Utara, secara terang-terangan bertentangan dengan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang membatalkan dasar historis klaim tersebut. Kehadiran kapal-kapal patroli dan nelayan China di wilayah ini jelas melanggar Pasal 56 dan 57 UNCLOS tentang hak berdaulat negara pantai.

Peran Diplomasi Indonesia: Tantangan di Panggung Internasional

Diplomasi Indonesia dalam menyikapi sengketa Laut Natuna Utara berada pada persimpangan tajam antara menjaga martabat kedaulatan dan mengelola kompleksitas hubungan bilateral, terutama dengan China, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sebagai negara yang aktif dalam ASEAN dan pengusung prinsip bebas-aktif, Indonesia memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menegakkan aturan internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah menetapkan perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Namun, hingga kini, diplomasi Indonesia tampak masih berhenti pada langkah-langkah simbolis. Pernyataan tegas yang dikeluarkan pejabat tinggi negara terkait klaim sepihak China kerap tidak diikuti oleh langkah konkret di arena diplomasi global. Indonesia belum cukup memanfaatkan platform internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau mekanisme arbitrase internasional, untuk memperkuat posisi hukumnya secara formal.

Selain itu, keberadaan kapal-kapal patroli Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia yang tidak direspons dengan tindakan diplomatik yang lebih agresif menjadi preseden buruk. Alih-alih menginisiasi koalisi regional melalui ASEAN untuk menekan China secara kolektif, Indonesia lebih sering memilih jalur dialog bilateral yang cenderung kompromistis. Pendekatan ini mempertaruhkan kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai penjaga stabilitas kawasan.

Kelemahan diplomasi Indonesia dapat terlihat pada pola komunikasi yang lebih defensif daripada proaktif. Padahal, upaya diplomasi yang cerdas dan strategis dapat dilakukan, seperti membangun narasi global tentang pentingnya supremasi hukum internasional di Laut China Selatan. Hal ini bisa diperkuat dengan melibatkan negara-negara lain yang juga memiliki sengketa maritim dengan China untuk bersama-sama mendesak penegakan UNCLOS.

Keengganan pemerintah untuk membawa isu ini ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Arbitrase Internasional juga patut dipertanyakan. Alasan bahwa langkah ini dapat memperburuk hubungan bilateral dengan China seharusnya tidak menjadi penghalang jika menyangkut kepentingan kedaulatan negara.

Tantangan Geopolitik: Natuna dalam Pusaran Kepentingan Global

Laut Natuna Utara tak hanya sekadar bentangan perairan strategis di peta dunia, melainkan simpul vital dalam dinamika geopolitik kawasan Asia-Pasifik. Letaknya yang berada di jalur perdagangan internasional menjadikannya salah satu wilayah paling diperebutkan di tengah rivalitas kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Kawasan ini juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yang dikenal sebagai arena sengketa maritim paling intens di dunia, melibatkan klaim-klaim agresif dari Beijing yang mengabaikan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.

Posisi Strategis dan Relevansi Global

Natuna memiliki makna geopolitik yang signifikan karena menjadi titik persinggungan antara kepentingan keamanan, ekonomi, dan politik. China, dengan doktrin Nine-Dash Line-nya, terus berusaha memasukkan Natuna ke dalam klaim historis yang tidak diakui dunia internasional. Di sisi lain, AS, melalui kebijakan Freedom of Navigation Operations (FONOPs), kerap mengirimkan kapal perang untuk menantang klaim-klaim ini, sehingga meningkatkan eskalasi ketegangan.

Indonesia, meskipun secara hukum tidak terlibat langsung dalam sengketa Laut China Selatan, kerap menjadi sasaran dari upaya ekspansionis China, termasuk melalui pelanggaran perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna. Ketegangan ini menjadi tantangan berat bagi diplomasi Indonesia yang harus menyeimbangkan hubungan baik dengan China tanpa mengorbankan kedaulatan teritorialnya.

Dilema Strategis dalam Rivalitas Global

Ketegangan geopolitik ini memposisikan Indonesia dalam dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia harus memastikan kedaulatan wilayahnya terjaga, termasuk melindungi potensi sumber daya alam yang melimpah di perairan Natuna. Di sisi lain, hubungan ekonomi yang erat dengan China membuat pendekatan konfrontasional menjadi pilihan yang mahal. Kegagalan diplomasi untuk merespons dinamika ini dapat menciptakan preseden negatif, memperlemah posisi Indonesia di arena internasional, sekaligus memicu pelanggaran berulang dari kekuatan eksternal.

Kurangnya Keberlanjutan Diplomasi: Tantangan Konsistensi dalam Menegakkan Kedaulatan


Diplomasi Indonesia dalam menghadapi isu Laut Natuna Utara seringkali terbatas pada reaksi insidental terhadap pelanggaran yang terjadi, tanpa disertai kerangka strategis yang berkesinambungan. Sebagai contoh, langkah-langkah diplomatik seperti protes resmi kepada pemerintah China dan pernyataan keras terhadap pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia jarang ditindaklanjuti dengan aksi yang lebih mendalam di forum internasional. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam memanfaatkan mekanisme diplomasi global, termasuk melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi maritim internasional.

Selain itu, respons diplomasi Indonesia cenderung bersifat defensif daripada proaktif. Ketidakhadiran Indonesia dalam menginisiasi dialog multilateral yang menekan China untuk menghormati hukum internasional seperti UNCLOS 1982 memperlihatkan kurangnya upaya sistematis untuk mengamankan posisi Indonesia secara global. Lebih lanjut, upaya yang sifatnya ad hoc, seperti patroli sementara di perairan Natuna, menunjukkan ketidakkonsistenan yang dapat melemahkan klaim kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Masalah lain adalah diplomasi bilateral yang terlalu bergantung pada retorika "hubungan baik" tanpa diimbangi oleh tekanan yang nyata terhadap pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, pendekatan Indonesia terlihat kurang tegas, meskipun data menunjukkan adanya intensifikasi pelanggaran oleh kapal-kapal patroli China di wilayah ZEE Indonesia. Ketidaktegasan ini menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh aktor-aktor internasional untuk terus menguji batas kedaulatan Indonesia.

Keberlanjutan diplomasi bukan sekadar tentang pernyataan resmi, tetapi juga tentang membangun narasi hukum yang kuat, melibatkan koalisi regional dan internasional, serta memastikan tindak lanjut dari setiap pelanggaran yang terjadi. Dalam konteks Natuna, tanpa keberlanjutan diplomasi yang jelas, Indonesia tidak hanya mempertaruhkan kedaulatannya tetapi juga kredibilitasnya sebagai pemain utama di kawasan Asia-Pasifik.

Minimnya Investasi Pertahanan Laut: Menggadaikan Kedaulatan di Pintu Gerbang Nusantara


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kewajiban strategis untuk memperkuat kemampuan pertahanan lautnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan minimnya alokasi anggaran dan investasi yang signifikan untuk memperkuat armada laut. Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk sektor pertahanan laut Indonesia hanya berkisar pada 0,8% dari PDB, jauh di bawah standar minimal yang disarankan oleh banyak pakar keamanan internasional, yakni 2%.

Keterbatasan ini tercermin dalam kapasitas armada penjaga laut yang masih sangat terbatas, baik dari segi jumlah kapal, kemampuan patroli jarak jauh, hingga teknologi pengawasan maritim yang canggih. Akibatnya, Indonesia kesulitan untuk melakukan patroli reguler di wilayah-wilayah strategis seperti Natuna Utara, yang rawan pelanggaran oleh kapal-kapal asing, termasuk kapal patroli China. Hal ini tidak hanya menciptakan celah dalam pengawasan wilayah tetapi juga melemahkan daya tawar Indonesia dalam diplomasi internasional.

Minimnya investasi ini juga mencerminkan lemahnya prioritas pemerintah dalam melihat pertahanan laut sebagai instrumen vital bagi kedaulatan. Padahal, Laut Natuna Utara adalah salah satu kawasan paling kaya sumber daya alam, termasuk cadangan gas yang dapat menjadi aset strategis bagi pembangunan nasional. Tanpa kemampuan pertahanan yang memadai, potensi ini rentan dieksploitasi oleh aktor asing, sementara Indonesia justru kehilangan kendali atas kekayaan yang seharusnya menjadi haknya.

Langkah solutif yang perlu diambil mencakup peningkatan alokasi anggaran pertahanan laut hingga mencapai standar internasional, modernisasi armada melalui pengadaan kapal-kapal patroli canggih, serta pengembangan teknologi pemantauan berbasis satelit. Selain itu, sinergi antara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) harus diperkuat, sehingga pertahanan maritim dapat berfungsi tidak hanya sebagai penjaga wilayah, tetapi juga sebagai pilar kedaulatan yang diakui dunia. Dengan demikian, Laut Natuna bukan lagi menjadi ruang abu-abu di peta geopolitik, melainkan simbol kedaulatan yang tak tergoyahkan.

Ketergantungan Ekonomi pada China: Dilema Kedaulatan di Tengah Dinamika Global


Ketergantungan Indonesia pada China dalam sektor ekonomi telah menjadi pedang bermata dua dalam menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara. Sebagai mitra dagang terbesar, China menyumbang lebih dari 20% total perdagangan internasional Indonesia, dengan nilai ekspor utama berupa batu bara, minyak kelapa sawit, dan gas alam. Selain itu, investasi langsung dari China, termasuk dalam proyek strategis seperti infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI), telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang kompleks: di satu sisi mendapat manfaat ekonomi, tetapi di sisi lain menghadapi tekanan geopolitik yang sulit dihindari.

Ketergantungan ini menciptakan dilema diplomasi yang signifikan. Ketika kapal-kapal patroli dan nelayan China berulang kali melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, respons pemerintah sering kali terkesan berhati-hati, bahkan cenderung kompromistis. Hal ini didasari kekhawatiran akan dampak buruk terhadap hubungan perdagangan dan investasi yang bernilai strategis. Namun, pendekatan ini membuka ruang bagi China untuk terus memanfaatkan ketergantungan ekonomi sebagai alat diplomasi koersif, melemahkan posisi tawar Indonesia di arena internasional.

Keberlanjutan ketergantungan ekonomi ini juga menciptakan risiko yang lebih besar, di mana kedaulatan teritorial dan kepentingan nasional bisa tergadai demi stabilitas hubungan bilateral. Padahal, sejarah geopolitik menunjukkan bahwa ketergantungan ekonomi yang tidak diimbangi dengan diversifikasi dan kemandirian strategis hanya akan membuat negara kehilangan kontrol terhadap kebijakan dalam negeri.

Solusi untuk mengurangi ketergantungan ini harus dimulai dengan diversifikasi mitra dagang dan investasi. Pemerintah Indonesia perlu memperluas kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain, termasuk Uni Eropa, Jepang, dan India, yang dapat memberikan alternatif pasar yang lebih seimbang. Selain itu, penguatan ekonomi domestik melalui industrialisasi berbasis sumber daya lokal dan pembangunan infrastruktur independen harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian, Indonesia dapat mengelola hubungan ekonominya dengan China tanpa harus mengorbankan prinsip kedaulatan dan integritas wilayah.

Menuju Diplomasi yang Berdaya dan Pertahanan yang Tangguh

Dalam dinamika Laut Natuna Utara, Indonesia berada di persimpangan antara tantangan geopolitik, kelemahan pertahanan, dan dilema ketergantungan ekonomi. Semua ini menggambarkan perlunya strategi multidimensi yang tidak hanya fokus pada respons sesaat, tetapi juga pada penguatan jangka panjang yang berkelanjutan. Laut Natuna adalah simbol kedaulatan Indonesia yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar angka dalam neraca perdagangan atau pernyataan diplomatik yang rapuh.

Solusi yang efektif memerlukan penguatan pertahanan laut melalui modernisasi alutsista, peningkatan patroli maritim berbasis teknologi, serta penggalangan kerja sama internasional yang lebih tegas untuk menegakkan hukum laut. Di sisi diplomasi, Indonesia harus memainkan peran proaktif, tidak hanya dalam forum ASEAN, tetapi juga di arena global, guna menciptakan tekanan kolektif terhadap pelanggaran aturan internasional.

Pada akhirnya, mengelola ketergantungan ekonomi harus menjadi bagian dari strategi yang lebih besar untuk menciptakan kemandirian strategis. Dengan diversifikasi mitra dagang, industrialisasi domestik, dan penguatan ekonomi berbasis sumber daya lokal, Indonesia dapat mengurangi risiko tekanan geopolitik dari kekuatan besar seperti China.

Laut Natuna bukan hanya milik Indonesia; ia adalah titipan bagi generasi mendatang. Dalam situasi yang terjadi ini, diplomasi saja tidak cukup; tindakan nyata dan strategi jangka panjang sangat diperlukan. Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat untuk menghindari persepsi sebagai penonton dalam konflik yang menyangkut kepentingan nasional. Di garis api ini, hanya tindakan tegas yang dapat memastikan bahwa Natuna tetap menjadi milik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun