Mohon tunggu...
Yandika Welra
Yandika Welra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

si kidal

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kebutuhan Mendesak dan Solusi Jangka Panjang BBM

3 Juli 2013   08:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:05 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="547" caption="Sumber: http://whatindonews.com"][/caption] Entah siapa yang paling benar, polemik kenaikan harga BBM bersubsidi meninggalkan adu argumen di antara kedua belah pihak yang saling bertarung logika: koalisi pemerintah versus oposisi. Keduanya sama-sama mengaku sebagai pembela masyarakat, sama-sama menuangkan kalimat “demi rakyat” agar simpati tak melayang. Bau-bau politik kian menyengat sepekat aroma bensin, mengingat isu sentral ini meluncur ketika umat Indonesia serempak menghitung mundur atas helatan Pemilu di tahun 2014 nanti. Tapi, sudahlah, toh pemerintah juga telah ketok palu, bahwa BBM jadi naik. Harga premium digenjot menjadi Rp. 6.500 per liter, sedang solar menjadi Rp. 5.500. Konon, harga BBM ini terpaksa dinaikkan karena subsidi pemerintah terhadap BBM yang tidak tepat sasaran. Tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap penggunaan BBM jauh berada di bawah orang-orang kaya. Intinya, keringanan biaya seliter premium atau solar justru lebih sering digunakan oleh mereka yang sejahtera. Permasalahan baru kemudian muncul. Kenaikan harga BBM mampu membangunkan harga-harga berbagai komoditas untuk ikut naik. Lebih-lebih pelaksanaan tarif baru BBM tersebut disahkan menjelang bulan puasa dan tak lama sebelum tahun ajaran baru dimulai. Agar dapur tetap ngepul, maka subsidi BBM yang urung digunakan tadi dialokasikan ke dalam berbagai jenis kompensasi melalui Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). Tentunya, program ini juga ditujukan kepada rumah tangga berstatus sosial ekonomi rendah. Rakyat kenyang, pemerintah senang. Tapi mau sampai kapan hal yang demikian diberlakukan? BBM merupakan salah satu sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Keberadaannya semakin lama akan semakin berkurang. Bukan tidak mungkin, di suatu saat nanti alasan pemerintah menaikkan harga BBM tidak lagi karena permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran, tapi lebih kepada permasalahan ketersediaan BBM yang semakin hari pasti akan semakin berkurang. Produksi terus menurun, sementara kenaikan jumlah konsumsi semakin tak terbendung, akibatnya harga BBM dengan amat mudah melambung tinggi. Boleh jadi BLSM diciptakan pemerintah sebagai jawaban atas kenaikan harga BBM. Tapi itu sifatnya hanya sementara, yang diganjar hanya dengan Rp. 150.000 per rumah tangga sasaran dengan durasi lima bulan. Setelah lima bulan, apa mereka-mereka yang berhak ini akan tetap “disuapi”? Betul memang, masih ada model kompensasi lainnya. Tapi semuanya seragam, sifatnya hanya bantuan, tak tahan lama. Peluh pemerintah dalam mengakali akan hadirnya berbagai bantuan seperti tak diimbangi dengan usaha pemerintah dalam mencari jalan keluar yang bersifat pencegahan. Langkah preventif pemerintah seakan kalah pamor–atau malah memang tidak ada–bila dibandingkan dengan gerakan sosialisasi pemerintah atas berbagai macam program kompensasi akibat kenaikan BBM. Bisa saja, sebagian alokasi pemotongan subsidi tadi direlokasikan kepada penelitian tentang sumber daya alternatif pengganti BBM. Sehingga, walau di masa depan nanti Indonesia benar-benar nyata terkena krisis BBM, kita sudah siap sedia dengan penemuan-penemuan terbaru yang bersifat substitusi. Walaupun harga BBM membumbung tinggi sekalipun, dampak yang dirasakan nanti tak akan terlalu signifikan. Atau pemerintah dengan dana subsidi tadi bisa lebih concern menciptakan program-program yang mampu mengurangi ketergantungan atau bahkan menekan lajunya kebutuhan masyarakat akan BBM. Hal ini bisa didukung melalui produksi massal kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan bakar listrik. Selama ini, kehadiran mobil atau sepeda motor listrik di tanah air hanya menggaung sepintas waktu. Kalau pemerintah mau serius, ini bisa menjadi sebuah langkah dinamis bagi kebaikan bangsa. Selanjutnya, untuk menekan daya konsumsi BBM, pemerintah perlu mengetatkan jumlah produksi kendaraan bermotor berbahan bakar minyak, serta sebaliknya meningkatkan kualitas maupun kuantitas moda transportasi darat di Indonesia. Dengan begitu, minat masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum akan semakin meninggi. Seiring dengan hal tersebut, pelan namun pasti, populasi kendaraan pribadi di jalan raya akan berkurang dominasinya, sehingga secara tak langsung penggunaan BBM juga akan cenderung kian menurun. Sebenarnya, kalau pemerintah mau membagi fokusnya antara kebutuhan mendesak dengan solusi jangka panjang, pasti akan membawa faedah yang lebih baik. Tindakan pencegahan tetap jauh lebih berdaya guna daripada "melatih" segelintir orang untuk terus nyaman di zona sosial ekonomi rendahnya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun