Hamparan hijau yang terbentang pada kedua sisi jalan terkesan hampa dalam keindahannya, alunan angin menjelang senja yang lembut nan menusuk perlahan-lahan melepaskan mentari hangatnya. Sedikit demi sedikit, pemandangan cakrawala yang kelabu dan sepi mulai terhias dengan pepohonan merindu yang menjulang tinggi, meninggalkan bisingnya kehidupan perkotaan dan menenggelamkan sosok yang menyendiri dengan kicauan jangkrik serta tarian awan yang bertujuan untuk menggemakan harapan dari hati-hati pilu yang selamanya ingin bergelayut di alam mimpi.
Keheningan yang berkepanjangan menyelimuti kawasan di sekitar pemakaman desa Kemiri, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri pada 24 Maret 2021. Nyanyian burung samar-samar menyatu dengan lambaian silir hari sore, membalut udara sekitar dengan aroma senja yang penuh akan perasaan renjana.Â
Setiap batang pohon yang bersemi di sekeliling wilayah pemakaman terasa seakan-akan menanggung berbagai macam kisah hidup yang keruh dan kelam, sampai-sampai kesuraman yang nyeri serta ngeri terkesan selalu melapisi desa Kemiri. Kesunyian dan kehampaan menggema di hutan yang mengelilingi desa Kemiri, seolah-olah cakrawala fajar di sana tak pernah melepaskan dirinya dari bayangan langit malam hari.Â
Pada suatu pelosok dekat pemakaman desa Kemiri, berdiri sebuah gubuk kecil yang terlihat bersendiri dan tak berdaya di bawah naungan pepohonan yang rindang. Dinding-dinding kusam milik gubuk tersebut terlihat sangat kontras dengan dedaunan hijau yang mengitarinya dengan binar mukjizat kehidupan, bak setangkai bunga leyot yang terdampar di lautan hijau yang luas nan buas tak karuan. Hantaman arus air sungai terdengar seperti gonggongan rintik-rintik hujan yang telah luput dari genggaman awan kelabu, daratan kasar perlahan-lahan memadu dan menyatu dengan rintihan dunia menjadi suatu tanah air yang tenggelam akan perasaan rindu.Â
Sejak empat tahun yang lalu, rumah kecil tersebut merupakan kediaman dari Mbah Sukem, seorang lansia dalam kondisi yang memprihatinkan karena telah dibuang oleh anak-anak serta cucunya yang tidak memiliki rasa tanggung jawab dan belas kasih. Berdasarkan deskripsi dari salah satu warga desa yang biasanya dipanggil dengan julukan Mas Anang, Mbah Sukem dibuang oleh cucu perempuannya di daerah Badas, Kabupaten Kediri. Setelah ditemukan oleh Pak Lurah desa Kemiri, beliau sempat dipindahkan ke berbagai tempat. Namun, karena melihat parasnya yang sudah tua dan tak berdaya, Pak Lurah memutuskan untuk membangun sebuah gubuk untuk Mbah Sukem di sekitar wilayah pemakaman desa Kemiri agar beliau dapat terlindung dari teriknya matahari pagi dan dinginnya rembulan malam.Â
Mbah Sukem, dengan sepasang mata rembulannya, memiliki sepasang kaki yang tak lagi mampu untuk menopang tubuhnya yang merana sehingga harus menggunakan kekuatan dari kedua tangannya yang ringkih untuk bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dari kejauhan, tubuh mungilnya terlihat sedang berdiam diri di bawah naungan sebuah pohon kecil yang tingginya kira-kira hanya mencapai dada orang dewasa. Kedua ujung bahu beliau condong mengarah ke permukaan Bumi, seakan-akan tulang belikatnya harus memikul beban dari semua pilu dan rindu yang bernuansa manusiawi.Â
Dengan bajunya yang genting dan sarungnya yang tipis, Mbah Sukem menyapu dedaunan musim hujan yang terjatuh dengan tangan ringkihnya yang tak kunjung berhenti gemetar. Ia tetap memberi jawaban kepada orang-orang yang memanggilnya, tetapi matanya terlihat kabur dan berkaca-kaca, seakan-akan pikiran dan hatinya sedang menjelajahi suatu dunia baru yang dapat memperlakukannya dengan lebih lembut. Renjana yang tersandang di rembulan malam mencurahkan isi hatinya melalui tatapan Mbah Sukem.Â
Nostalgia dan kenangan milik masa lampau yang selalu menghantui seolah-olah terpaku di setiap garis berkisah yang terukir di wajah beliau, menciptakan sebuah peta terlukis dari sentuhan rindu yang terbentang pada seluruh permukaan kulitnya. Memar-memar ungu yang bermekaran di lututnya bagaikan bentangan danau yang permukaannya dilapisi dengan cakrawala penuh akan seroja berkelopak biru. Semburat memar yang berwarna ungu kebiru-biruan tersebut bersemi karena Mbah Sukem harus menggunakan tangan serta dengkulnya sebagai alat transportasi, meninggalkan jejak-jejak pilu di atas daratan milik Sang Ibu Pertiwi.Â
"Dua," jawab Mbah Sukem ketika saya bertanya tentang putranya. "Saya punya dua putra. Tidak perhatian. Masa orang tua dibuat jadi umpannya harimau."
Rambutnya yang perlahan-lahan harus melepaskan paras hitamnya seakan-akan sedang merefleksikan langit desa Kemiri yang suram nan kelabu, setiap helainya terkesan kusut karena sudah lama tidak terurus. Ketika saya menawari Mbah Sukem untuk membantunya mencelupkan diri ke sungai sebentar agar ia dapat membersihkan tubuhnya, beliau menunjukkan penolakan yang cukup bulat karena ketakutannya terhadap air sungai yang dingin dan menusuk.Â
Mbah Sukem secara insting menjulurkan kedua tangannya saat roti sisir mentega memasuki jangkauan penglihatannya, menyobek-nyobek lapisan roti dengan antusias dan melahapnya dengan mata yang berbinar-binar. Beliau tersenyum hingga kedua matanya menyabit bak rembulan manis yang bersinar di bulan Februari, bibirnya yang gemetaran lantas mengeluarkan suara tawa yang menyandang semua ucapan terima kasih dan perasaan bersyukur yang ia rasakan seolah-olah roti tersebut telah mengembalikan sedikit harapannya yang dahulu sempat lenyap di tangan manusia lainnya.