Awalnya ada rasa tidak percaya,kalau gambar-gambar itu dia yang membuat.  Pada suatu kesempatan, saya ajak anak itu berbicara empat mat . Kemudian saya menyodorkan pensil dan kertas. Tanpa banyak instruksi, dia tenggelam dan asik membuat coret-coretan  di selembar kertas HVS. Tak sampai dalam hitungan 5 menit dia menyerahkan hasil karyanya kepada saya dengan mata berbinar. Saya merinding seketika,indah,dan ini luar biasa.
Timbul penyesalan dalam hati. Dua tahun anak ini bersama saya belajar di kelas, kenapa baru saat itu saya tahu akan kecerdasan yang dimilikinya. Saat itu yang saya kenal si anak lemah dalam hitungan. Selalu saja kalau ada soal neraca masa yangbbanyak hitungan matematikanya,selalu dia kosongkan,bahkan tidak dijawab sama sekali.
Saat itu,sekitar tahun 2013 sebagai guru saya baru mengenal 9 kecerdasan manusia (multipel intelegensi). Saat itu sebagai guru saya sangat fokus dalam penuntasan kurikulum.Saat itu saya masih menjadikan  nilai akademik siswa sebagai tolak ukur  kecerdasan. Saat itu remedial berulang-ulang dilakukan agar mencapai KKM.
Saat itu saya belum mengenal kalau siswa adalah benih yang harus ditumbuhkan sesuai kodratnya. Harus dirawat juga sesuai kodratnya. Saat itu  semua siswa saya generalisasi. Saat itu saya tidak mau tahu akan potensi unik yang dimiliki siswa. Â
Saya yakin, terlambat bukanlah kegagalan. Yang terpenting sekarang mulai melakukan perubahan sedikit demi sedikit, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H