Setiap terjadinya perubahan peraturan, atau adanya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, pasti menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat. Pro dan kontra dengan kebijakan baru terjadi. Ada yang menolak, ada yang yang menerima dan ada yang tidak memperdulikan sama sekali.
Saat pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan sudah pasti melewati suatu kajian yang panjang dan sudah melibatkan orang-orang yang ahli dan kompeten dibidangnya. Namun karena faktor kebiasaan masyarakat kita, kalau tidak dibuat "ribut" tidak asik rasanya.
Ribut memperbincangkan kesana kemari, tanpa memahami konten sebenarnya . Sibuk mempertentangkan padahal belum mengkaji lebih dalam. Menolak melakukan padahal belum tahu untung dan ruginya.
Sikap inilah yang terjadi saat pemerintah mengeluarkan sistem zonasi saat penerimaan siswa baru. Selain itu penerimaan siswa baru melalui Jalur Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) menuai permasaahn komplek, karena banyak ditemuinya SKTM palsu. Bahkan berita terakhir , menyatakan bahwa ancaman 6 tahun penjara bagi orang tua yang membuat DKTM palsu.
Ribut? Â Pasti tidak hanya sekedar ribut, namun sudah memasuki fase shock. Bayangkan orang yang mempunyai kemampuan finasial cukup, ikut -ikutan berame rame membuat SKTM. Ini pertanda bahwasanya ,orang tersebut belum mendalami lebih jauh dan membaca lebih banyak atas perubahan peraturan yabg dikeluarkan pemerintah tahun ini.
Saya juga mendapati banyak komentar dari orang tua, bahwasanya mereka sangat kecewa sekali dengan peraturan pemerintah tentang pemberlakuan sistem zonasi saat memasuki sekolah. Golongan ini beranggapan bahwa pemerintah sudah menghalangi keinginan anaknya untuk masuk ke sekolah favorit.
Dengan tidak diterimanya anaknya di sekolah favorit membuat orang tua ribut rame-rame memprotes kebijakan ini.
Saat saya sekolah dulu, dari tahun  1980 an sampai 1990 an, saya tidak mengenal sekolah favorit. Orang tua mendaftarkan anak-anaknya di sekolah yang terdekat dengan rumah. keunggulan  yang terasa saat itu, adalah saat berangkat ke sekolah, kami tidak perlu diantar oleh orang tua. karena kami bisa berangkat bersama- sama dengan teman-teman yang rumahnya satu jalur . Saat kami berangkat ke sekolah, orang tua juga bisa berangkat ke tempat kerja, tanpa ada beban sama sekali untuk mengantarkan anak-anaknya.
Saat pulang sekolah, kami juga pulang ke rumah beraama-sama.sambil berjalan kami saling bercengkerama dan bercerita. Sehingga tidak heran kalau generasi saat itu saling kenal , jangankan dengan teman di desanya, namun bisa kenal dengan teman dari desa lain.
saat diberi tugas oleh guru, kami dengan mudah menentukan dimana mau dikerjakan. karena rumah kami saling berdekatan.
Mari bandingkan dengan anak-anak sekarang, demi  mengejar sekolah favorit, mereka sudah terisolasi dengan sendirinya dari lingkungan tempat tinggal. Orang tua rela melepas anaknya setiap hari dengan jarak tempuh 15 -20 km setiap hari demi bersekolah di sekolah favorit.