Sumber foto: http://www.djangkarubumi.com/2014/04/martabak-telur.html
Secarik kertas di tangan Badrun tiba-tiba bergetar, satu helai kwitansi bermaterai  dangan satu helai kertas lusuh yang penuh dengan coretan angka membuat hatinya perih.
Bagaiman tidak, setiap bulan  mengasur hutang, namun jumlahnya bukannya berkurang , namun semakin bertambah.  Badrun sudah berusaha pinjam sana pinjam sini untuk mengangsur hutang kepada tuan Takur  yang dikenalnya beberapa bulan yang lalu.
Setiap mengangsur hutang , Badrun harus menandatangani kwitansi yang berisikan total sejumlah piutang tambah bunga plus denda.
Diawali dengan meminjam uang  kepada tuan Takur,  Badrun memulai usaha menjual martabak manis keliling dengan gerobak btua yang dimilkinya.  Badrun merasa  yakin uang 5 juta bisa diangsur dalam satu bulan, melihat prospek martabak manis di sekitar tempat tinggalnya sangat menggiurkan. Karena berada di lokasi kampus dan komplek perkantoran.
Satu bulan  menjalankan usaha dengan uang pinjaman tersebut, Badrun merasakan apa yang targetkan tidak tercapai. Badrun tidak menyadari kalau di awal pembukaan usaha, adalah jadwal libur mahasiswa. Sehingga daerah  tempat Badrun berjualan sanagt sepi .
Akhirnya di bulan pertama Badrun belum mampu mengasur uang  yang dipinjamnya pada tuan Takur.  Badrun kemudian diharuskan menandatangani  kwitansi  baru, dan jumlah hutang terbaru sudah meningkatkan dibandingkan dengan julah hutang sebelumnya.
Diawal Badrun meminjam uang sebanyak Rp. 5.000.000, bunga 10 %, sehingga total yang tertulis di kwitansi terbaru adalah Rp.5.000.000. Perjanjian baru keterlembatan dalam 1 hari dikenai denda sebanyal Rp.100.000 per hari.
Badrun menyadari kalau hidupnya semakin sulit, karena modal 5 juta yang dipinjam diawal sudah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga  dan Badrun tidak punya modal lagi untuk membuka usahanya.
Atas saran seorang teman,  Badrun dianjurkan untuk mendatangi seseorang, sebut namanya nyonya Nani. Atas kemurahan hati nyonya Nani , Badrun kemudian dipinjamkan modal sebanyak Rp. 5 juta  dengan perjanjian yang hampir sama dengan tuan Takur.
Bulan kedua usaha Badrun bukannya bertambah maju, malah jualan martabak Badrun sepertinya tidak disukai konsumen di daerah tersebut. Karena Badrun tidak mampu menyesuaikan dengan selera anak kekinian. Setiap pengunjung yang datang selalu menanyakan martabak dengan aneka rasa seperti keju, coklat, strobery, jagung  dan lain-lain. Sementara Badrun hanya menjual martabak dengan satu jenis yaitu rasa original.
Bulan kedua Badrun mendatangi Tuan Takur, berbekal uang Rp. 1 juta , Badrun mengangsur hutangnya, setelah  dua bulan Badrun belum mengasur sama sekali.
Bulan kedua Badrun kemudian menandatangani kwitansi baru dengan jumlah yang fantastis. An membuat seluruh tubuh Badrun bergetar.
Piutang diawal Rp. 5 jt, tambah bunga 1 jt dan denda  keterlambatan 1 hari Rp.100.000, sehingga hutang terbaru semuanya berjumlah:Rp. 9 juta. Badrun mengangsur 1 juta, sisa hutang menjadi Rp. 8 juta. Kalau bulan depan badrun tiadak mengangusr jumlah akan meningkat dua kali lipat, begitulah seterusnya. Sementara hutang yang diakui bukan hutang diawal yang berjumlah Rp 5 juta, namun hutang diakhir plus bunga dan denda.
Badrun semakin terpuruk, disaat mendatangi  nyonya Nani, yang telah meminjamkan uang kepadanya satu bulan yang lalu sejumlah 5 juta. Badrun dikenai pasal yang hampir sama seperti yang sudah diterapkan oleh tuan Takur.
Badrun mencoba bermohon kepada tuan Takur dan nyonya Nani, namun sia-sia saja. Karena tuan Takur dan Nyonya Nani merasa berada dipihak yang benar dengan menyalahkan Badrun kenapa tidak mengangsur piutang diwaktu yang sudah ditentukan.
Sepertinya harga diri dan martabat Badrun sudah terinjak-injak oelh sang penguasa duit. Sang pengausa mengambil banyak dari yang berhutang , tanpa punya rasa kemanusian sama sekali.
Sengsara dibelit hutang rentenir, membuat Badrun tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya meratapi nasib. Para Kolektor yang ditugasi tuan Takur dan nyonya nani mulai berdatangan ke rumah. Televisi, kulkas , radio butut pun akhirnya mereka bawa. Karena ketidakmampuan Badrun.
Seorang tukang martabak keliling  yang terjebak dengan hutang piutang yang sangat menyengsarakan.
Zaman modern sekarang praktik rentenir masih merajalela. Praktik rentenir sudah berhasil menyengsarakan masyarakat kalangan bawah.
Badrun melakukan hal tersebut bisa jadi karena ketidaktahuannya, kalau haram hukumnya bagi muslim terlibat dalam rentenir. Apalgi memulai usaha dan akan menghidupi anggota keluarga dengan uang rentenir.
Masih banyak Badrun-Badrun lain yang menjadi korban di negeri ini, mereka terejbak dalam lingkaran setan yang seakan-aka tidak akan pernah ada ujungnya. Berhutang sepanjang hayat mereka.
Kalau kita menilik dari sisi Islam, Rentenir adalah Riba, dosa besar bagi yang melakukannya maupun yang bersaksi atasnya.
Kalau saja masyarakat saling bahu membahu , saling tolong menolong dan saling peduli antar sesama, maka kasus Badrun tidak akan terjadi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H