Bulan kedua Badrun mendatangi Tuan Takur, berbekal uang Rp. 1 juta , Badrun mengangsur hutangnya, setelah  dua bulan Badrun belum mengasur sama sekali.
Bulan kedua Badrun kemudian menandatangani kwitansi baru dengan jumlah yang fantastis. An membuat seluruh tubuh Badrun bergetar.
Piutang diawal Rp. 5 jt, tambah bunga 1 jt dan denda  keterlambatan 1 hari Rp.100.000, sehingga hutang terbaru semuanya berjumlah:Rp. 9 juta. Badrun mengangsur 1 juta, sisa hutang menjadi Rp. 8 juta. Kalau bulan depan badrun tiadak mengangusr jumlah akan meningkat dua kali lipat, begitulah seterusnya. Sementara hutang yang diakui bukan hutang diawal yang berjumlah Rp 5 juta, namun hutang diakhir plus bunga dan denda.
Badrun semakin terpuruk, disaat mendatangi  nyonya Nani, yang telah meminjamkan uang kepadanya satu bulan yang lalu sejumlah 5 juta. Badrun dikenai pasal yang hampir sama seperti yang sudah diterapkan oleh tuan Takur.
Badrun mencoba bermohon kepada tuan Takur dan nyonya Nani, namun sia-sia saja. Karena tuan Takur dan Nyonya Nani merasa berada dipihak yang benar dengan menyalahkan Badrun kenapa tidak mengangsur piutang diwaktu yang sudah ditentukan.
Sepertinya harga diri dan martabat Badrun sudah terinjak-injak oelh sang penguasa duit. Sang pengausa mengambil banyak dari yang berhutang , tanpa punya rasa kemanusian sama sekali.
Sengsara dibelit hutang rentenir, membuat Badrun tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya meratapi nasib. Para Kolektor yang ditugasi tuan Takur dan nyonya nani mulai berdatangan ke rumah. Televisi, kulkas , radio butut pun akhirnya mereka bawa. Karena ketidakmampuan Badrun.
Seorang tukang martabak keliling  yang terjebak dengan hutang piutang yang sangat menyengsarakan.
Zaman modern sekarang praktik rentenir masih merajalela. Praktik rentenir sudah berhasil menyengsarakan masyarakat kalangan bawah.
Badrun melakukan hal tersebut bisa jadi karena ketidaktahuannya, kalau haram hukumnya bagi muslim terlibat dalam rentenir. Apalgi memulai usaha dan akan menghidupi anggota keluarga dengan uang rentenir.