Saya merasakan suasana di pesta yang saya kunjungi hari ini kurang meriah dan tidak semarak layaknya seperti pesta perkawinan biasanya. Perbedaan itu terlihat dari pakaian yang digunakan oleh kedua mempelai dan pelaminan yang digunakan untuk bersanding.
Sekilas, dari komposisi warna saja sudah tidak sinkron antara pakaian adat yang digunakan dengan pelaminanan tempat mereka bersanding. Kedua pengantin mengenakan pakaian khas batak, yang didominasi oleh warna, merah, kuning dan hitam. Sementara itu pelaminan yang digunakan untuk bersanding adalah pelaminan minimalis, yang terdiri dari dinding dan gapura yang berwarna putih dan dihiasi dengan bunga nan berwarna–warni. Kalau boleh saya sebut seperti pelaminan bergaya eropa.
Pelaminan bergaya Eropa saat ini sangat disukai oleh para keluarga yang melaksanakan hajat pernikahan putra-putri mereka. Dari sekian banyak undangan pesta pernikahan yang saya hadiri, sebagian besar saat ini sudah menggunakan pelaminan minimalis bergaya Eropa, dan meningglakn pelamina tradisional. Walau masih ada juga keluarga-keluarga tertentu yang masih kukuh untuk mempertahankan khasanah budaya dalam pesta pernikahan putra-putri mereka. Maklum pesta pernikahan merupakan pesta yang tidak setiap waktu bisa dilaksanakan.
Tidak ada yang salah dari apa yang saya lihat, dan tidak ada juga suatu aturan yang mewajibkan orang-orang untuk menggunakan pelaminan khas daerah, dan tidak ada juga sanksi bagi orang-orang yang menggunakan pelaminan ala minimalis.
Meningkatnya mobilitas manusia, membuat gaya, pola hidup dan selera setiap manusia juga berubah drastis. Perubahan yang terjadi biasanya menyesuaikan dengan kebutuhan dan trend disaat itu. Entah dengan alasan apa kenapa banyak orang-orang saat ini meninggalkan pelaminan tradisional khas daerah masing-masing dan berpaling ke pelaminan minimalis bergaya Eropa.
Beberapa alasan yang pernah saya dengar mungkin bisa diterima, salah satunya adalah saat kedua mempelai berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Misalnya mempelai perempuan berasal dari Padang, dan mempelai laki-laki bersal dari Jawa.
Dari kesepakatan keluarga dalam menentukan tema pesta, apakah bergaya padang atau Jawa tidak diperoleh kata kesepakatan. Akhirnya kedua keluarga memutuskan untuk menggunakan pelaminan minimalis bergaya Eropa. Dan tidak menggunakan kedua pelaminan khas daerah masing-masing, jelas tujuannya adalah netralitas.
Kalau dilihat dari kamus bahasa Indonesia, arti kata “pelaminan” adalah tempat duduk pengantin. Kalau di daerah saya di Minang Kabau, pengantin disebut sebagai raja satu hari. Disebut sebagai raja satu hari karena kedua mempelai duduk di pelaminan selama satu hari. Dimana dahulunya pelaminan hanya digunakan khusus untuk raja dan kaum bangsawan.
Setiap pelaminan tradisional mempunyai makna simbolik yang sudah dituahkan dari tetua dahulunya. Setiap simbol mempunyai makna khusus dan bahkan mengandung unsur-unsur kebaikan.
Asesori utama dalam pelaminan Jawa adalah : Gebyok, Gebyok adalah Sejenis papan besar penuh ukiran yang berbentuk pintu dan jendela rumah Joglo yang merupakan rumah khas daerah Jawa. Gebyok yang menampilkan replika dua pintu diposisikan di belakang mempelai sehingga ia menunjukkan bahwa kedua mempelai akan memasuki pintu atau dunia baru yang berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya.