Mohon tunggu...
Yuzelma
Yuzelma Mohon Tunggu... Guru - Giat Literasi

Ilmu adalah buruan, agar buruan tidak lepas, maka ikatlah dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

20 Menit Bersama Sopir Taksi Wanita

9 Januari 2017   22:40 Diperbarui: 11 Januari 2017   03:00 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca yang sangat panas saat itu, membuat saya enggan pulang ke rumah dengan menggunakan bus Transjakarta. Disebabkan karena halte menuju bus Transjakarta berjarak sekitar 50 meter dari tempat saya bekerja.

Tolong diantar ke jalan  Sudirman, gang Pelita, pak. Sambil membuka pintu dan duduk di jok belakang dalam sebuah taksi yang sudah saya telepon mellaui operator sebelumnya.

Tanpa melihat ke sana kemari, saya mulai membuka HP saya, suatu kebiasaan yang sering saya lakukan, jika tengah menaiki kendaraan umum. Sebenarnya saya lebih suka menyimpan HP di dalam tas dan mengajak ngobrol orang ada duduk di dekat saya. Namun karena kondisinya lagi naik taksi, saya merasa nyaman saja membuka HP.

Sebenarnya sikap sosial saat berada di angkutan umum adalah , mengajak sopir mengobrol. Dan jangan sepanjang jalan hanya diam saja, karena pada dasarnya sopir adalah manusia juga, dan harus diperlakukan sebagai manusia layaknya.

Maaaf bu, mau diantar kemana tadi? Sopir taksi bertanya, saat itu saya kaget, kok suara sopir taksi bunyi suara perempuan? Setelah saya melirik ke depan barulah saya menyadari kalau sopir taksi yang saya sapa tadi bukanlah seorang bapak , namun adlah seorang ibu.

Dengan memohon maaf, saya meminta si ibu sopir yang berbadan besar, gemuk berambut pendek dan memakai topi memaafkan tindakan saya. Siapapun meihat disaat itu dari belakang pasti tidak menyangka kalau sopir taksi adalah seorang ibu.

Kalau di kota besar seperti Jakarta, sopir taksi perempuan itu sudah biasa. Namun di daerah saya itu sesuatu yang luar biasa. Mengherakan kalau ada seorang perempuan menjalankan profesi seorang sopir taksi atau sopir angkutan umum lainnya.

Sesaat itu juga HP merupakan barang yang tak berguna bagi saya. Hp kemudian saya simpan di dalam tas. Si ibu sopir menjadi daya tarik tersendiri bagi saya sebagi sumber segala informasi . lumayan nih menjadi tulisan yang akan saya tulis di Kompasiana dan di blog saya.

Waktu perjalanan dari sekolah ke rumah saya sekitar 25 menit. 5 menit telah berlalu. Namun masih ada 20 menit lagi yang bisa saya manfaatkan untuk memperoleh beragam informasi akan saya ambil dari beliau. Syukur syukur macet dikit, tapi jangan macet lama-lama, ntar argo taksi jalan terus he he.

Sudah lama menjalani profesi sebagai sopir taksi bu? saya memecah rasa malu saya yang sudah terlanjur menyapa beliau dengan bapak, dengan memulai pertanyaan dengan jurus menggali-gali berita.

Sudah hampir 6 tahun bu, si ibu sopir taksi menjawab tanpa menoleh ke arah saya.  Lah iyalah, kalau menoleh ke belakang tabrakan beruntun ntar mobil. He he.

Sebelumnya bekerja sebagai sopir taksi  ibu bekerja dimana? saya kemudian bertanya lagi dengan penuh penasaran.

Tidak lama setelah itu,  si ibu sopir menjawab dengan nada datar, sopir juga bu. pandangannnya lurus ke depan. Merasa tidak enak bertanya profesi terus saya mengalihkan cerita ke yang lain, yaitu tentang kemacetan di kota saya.

Ibu kerja dimana? Si ibu kemudian balik menanyai saya dengan agak menoleh ke belakang karena pas di lampu merah.

Setelah menjelaskan profesi saya sebagai guru, kemudian saya balik bertanya. Berapa orang putranya bu?

Dengan penuh hati-hati saya balik bertanya ke ibu sopir taksi. Saya tidak mengira dia menoleh kebelakang dengan tersenyum . Saya punya anak 3 bu. Yang tua sudah kuliah di perguruan tinggi negeri di kota ini. Nomor 2 sekolah disalah satu SMA favorit di kotaku. No 3 di SMP favorit di kotaku.

Menjadi tanda tanya bagi saya, anak seorang sopir taksi bisa sekolah di sekolah favorit. Tentu suaminya termasuk kategori berduit. Bisa jadi dia menjadi si ibu  sopir taksi hanya untuk mengisi waktu luang saja.

Saat pertanyan demi pertanyaan timbul dalam fikiran saya, si ibu sopir taksi kemudian berkata ”suami saya sudah meninggal 7 tahun yang lalu bu. dia mengalami kecelakan dan meninggal di tempat".

Pertanyaan demi pertanyaan dalam benak saya saya akhir terjawab dengan sendirinya, dengan mulainya seorang sopir taksi terbuka bercerita dengan saya.

Bagaimanakah caranya dia bisa mengelola finansialnya sebagai sopir taksi yang mempunyai anak tiga dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka di perguruan tinggi dan sekolah favorit di kota? Bak seorang penggali berita, saya mencoba untuk mempelajarinya, dari cerita-cerita beliau kesehariannya.

Jadi selama 6 tahun belakangan ini,  ibu sudah menjalani profesi sopir taksi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sekaligus befungsi sebagai bapak? Nafas saya mulai sesak seperti orang yang sudah berjalan cepat sejuah 5 Km.

Ya betul bu, ibu sopir taksi mulai meyakinkan saya, kemudian tanpa diminta, si ibu mulai membeberkan rahasianya bagaimana mengelola keuangannya demi menghidupkan ketiga anaknya.

Menjadi sopir taksi di daerah saya dan di tegah-tengah kondisi perekonomian sekarang. Harga barang pokok naik, jumlah kendaraan bermotor khususnya roda dua semakin bertambah. Taksi dipilih hanya sebagai alternatif saja. Seperti yangs aya alami disaat itu. Saya naik taksi karena tidak sanggup dengan cuaca yang sangat panas. Padahal kalau naik taksi saya akan dikenai ongkos maksimun Rp. 60 ribu. Kalau naik Bus Trans paling Rp. 4.000/org. Jumlah yang sangat jauh perbedaanya.

Bagaimana caranya sehingga anak-anak ibu bisa sekolah di sekolah favorit? padahal uang sekolahnya lumayan besar. Kemudidan saya balik bertanya.

Tanpa merasa terganggu dengan pertanyaan saya, si ibu kemdian menjelaskan  ke saya sambil mengendari kendaraan ke arah rumah saya.

Sederhana saja bu, dalam 1 hari berapa pendapatan bersih saya 30% nya saya tabungkan. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Misalnya kalau dalam 1 hari saya dapat bonus Rp. 100.000,- maka Rp. 30.000 saya tabungkan, untuk beasiswa anak –anak saya.

Walau saya seorang sopir taksi , saya mempunyai mimpi anak-anak saya menjadi dokter dan orang hebat, dan tidak seperti saya.

Saya terdiam seketika, namun dengan cepat saya menimpali kembali perkataannya. Ibu, ibu adalah seorang ibu yang super hebat. Saya mengacungkan kedua jempol saya ke arah si ibu, disaat taksi mau memasuki gerbang komplek rumah saya.

Ibu adalah seorang single parent yang sangat mencintai dan menghormati suami ibu. Ibu sudah menjaga amanah suami ibu dengan sangat baik. Jangan bilang ibu tidak ada apa-apanya.

Di zaman modern sekarang banyak ibu-ibu yang ingin hidupnya senang saja. Dan sibuk dengan dirinya sendiri. dengan fasilitas yang diberikan oleh suaminya mereka gunakan untuk wara wiri.

Seratus jempol untuk ibu, ibu seorang yang mulia, semoga Allah SWT memberikan limpahan kasih sayang, dan razekinya kepada orang-orang seperti ibu. Bekeja mulia demi masa depan anak anak titipan suami.

Dengan mengambil kembalian uang yang diberikan si ibu, saya pamit mau turun taksi.

Sambil membuka pintu rumah saya malah berfikir terus menerus, apa yang sudah saya perbuat untuk menghantarkan anak-anak saya ke masa depan yang lebih baik, dengan memberikan fasilitas pendidikan yang terbaik.

20 menit bersama seorang ibu yang berprofesi sopir taksi yang hanya lulusan SMP telah membuka mata hati saya, bahwasanya seorang wanita adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Disini pelajaran hidup yang bisa kita ambil, seorang ibu serendah apaun pendidikan, harus memiliki skill yang bisa dijadikan sebagi modal hidup. Jangan terlena dengan kekayaan yang diberikan oelh orang tua. Jangan terbuai dengan fasilitas mewah yang diberikan oleh suami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun