Pulang Malam Asal Selamat
Di suatu malam yang dingin dan sepi, lampu-lampu jalan menyala remang, menerangi perjalanan Ardi pulang ke rumah. Umurnya baru saja genap 20 tahun, namun dunia seakan menuntutnya untuk cepat dewasa. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Ardi pulang terlambat karena sibuk bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil di pinggir kota.
Ketika Ardi tiba di rumah, jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Ia menghela napas, merasa letih dan kesal. Biasanya, jika pulang selarut ini, ia mengharapkan sedikit perhatian dari orang tuanya, mungkin teguran atau sekadar pertanyaan tentang mengapa ia pulang terlambat. Namun, yang ia dapati hanyalah rumah yang sepi dan gelap, tak ada satu pun lampu yang menyala di ruang tamu.
"Kenapa sih, mereka nggak pernah nungguin aku pulang?" gerutu Ardi dalam hati sambil melepaskan sepatunya.
Ardi merasa diabaikan, seakan-akan orang tuanya tidak peduli padanya. Ia berpikir, bukankah seharusnya orang tua khawatir kalau anaknya pulang larut malam? Ardi masuk ke kamarnya dengan hati yang semakin gundah, menatap dinding kamar yang penuh dengan poster impiannya untuk menjadi seorang pengusaha sukses.
Di tengah kebisuannya, Ardi duduk di meja belajar, mengambil sebuah foto lama. Di foto itu, terlihat ia masih kecil bersama ayah dan ibunya di taman. Ia teringat bagaimana dulu orang tuanya begitu protektif, selalu melarangnya bermain terlalu jauh atau pulang terlalu larut. Tapi sekarang, semuanya berbeda.
Esok harinya, saat sarapan, Ardi akhirnya tak tahan untuk bertanya pada ayahnya yang sedang membaca koran.
"Ayah, kenapa sih kalian nggak pernah peduli kalau aku pulang larut malam? Apa kalian nggak khawatir sama aku?" tanyanya dengan nada sedikit emosi.
Ayahnya menurunkan koran dan memandang Ardi dengan senyum tipis. "Ardi, kamu sekarang sudah dewasa. Kamu sudah 20 tahun. Kami tidak ingin terus-terusan memegang tanganmu dan membatasi gerakmu. Kami ingin kamu belajar untuk bertanggung jawab atas dirimu sendiri."
Ardi terdiam. Itu bukan jawaban yang ia duga. Ayahnya melanjutkan, "Mungkin terlihat seperti kami tidak peduli, tapi sebenarnya kami percaya padamu. Kami ingin kamu memahami konsekuensi dari setiap keputusan yang kamu buat, termasuk pilihanmu untuk pulang malam. Kepercayaan ini adalah cara kami menunjukkan bahwa kami yakin kamu bisa menjaga dirimu sendiri."
Ibu Ardi yang duduk di sebelah menambahkan, "Dulu, kami memang selalu khawatir, selalu menunggumu pulang dengan cemas. Tapi sekarang, kami memilih untuk menunjukkan kepercayaan kami dengan cara yang berbeda. Kami tahu kamu cukup bijak untuk mengambil keputusan yang terbaik buat dirimu."
Perkataan orang tuanya menyentuh hati Ardi. Ia mulai mengerti bahwa pola asuh orang tuanya telah berubah seiring dengan pertumbuhannya. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai anak kecil yang harus selalu dijaga, tapi sebagai seorang dewasa yang harus belajar menghadapi dunia dan segala risikonya.
Malam itu, saat Ardi pulang larut seperti biasa, ia merasa berbeda. Ketika membuka pintu rumah yang gelap dan sepi, ia tidak lagi merasa diabaikan. Ia tahu bahwa dalam kegelapan itu, ada kepercayaan besar yang diberikan orang tuanya padanya. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi justru karena mereka percaya bahwa Ardi sudah mampu menjaga dirinya sendiri.
Ardi tersenyum kecil. "Pulang malam asal selamat," gumamnya sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Kini ia paham, perhatian tidak selalu harus ditunjukkan dengan cara mengawasi atau menunggu, tapi bisa juga dengan memberikan ruang bagi seseorang untuk tumbuh dan belajar sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H