Perempuan sebagai pusat cinta dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi selanjutnya. Saat ini, saya melihat banyak aktivis perempuan yang berupaya melakukan perubahan melalui transformasi eksternal secara revolusioner.
Transformasi eksternal ini melibatkan perubahan di luar diri perempuan, seperti perubahan sosial, budaya, hukum, dan politik yang mendukung kesetaraan gender. Langkah-langkah ini mencakup advokasi kebijakan dan perlawanan terhadap diskriminasi, kekerasan, serta ketidakadilan yang dialami perempuan di masyarakat.
Pemikiran Simone de Beauvoir dalam karyanya menginspirasi perempuan untuk meraih kebebasan dan kesetaraan dengan menentang struktur sosial yang membatasi peluang dan kebebasan mereka. Namun, saya melihat bahwa gerakan ini, ketika diterapkan secara tidak tepat, berpotensi merusak tatanan keluarga secara keseluruhan.
Ketika tatanan keluarga berubah dengan mengaburkan peran dan fungsi yang jelas, anak-anak mungkin kehilangan rasa stabilitas dan keamanan yang mereka butuhkan. Kondisi ini dapat berdampak pada perkembangan emosional mereka, memicu rasa cemas, stres, dan bahkan masalah perilaku. Ketahanan psikologis dalam keluarga yang melemah akan memengaruhi kemampuan anak untuk mengelola emosi, berinteraksi sosial, serta membangun hubungan yang sehat.
Kondisi ini juga memunculkan berbagai isu kesehatan mental dan tingginya angka kasus bunuh diri di kalangan remaja, yang mungkin disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap situasi keluarga yang penuh tekanan. Hilangnya peran perempuan sebagai pengasuh utama di rumah menjadi salah satu penyebab yang perlu diperhatikan.
Kritik terhadap peran perempuan yang semakin mengadopsi peran maskulin dalam masyarakat juga relevan. Meskipun tidak ada yang salah dengan menjadi wanita karier dan berkontribusi secara finansial dalam keluarga, hal ini sering kali tidak diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya peran sebagai pendidik.
Di era modern ini, pendidikan anak sering kali diserahkan kepada pengasuh atau lembaga pendidikan tanpa pengawasan yang memadai dari orang tua. Akibatnya, nilai-nilai moral dan spiritual yang seharusnya ditanamkan sejak dini sering terabaikan, yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas emosional dan kesehatan mental anak.
Penting bagi kita untuk mengarahkan kembali fokus pada bagaimana perempuan dapat menjadi pendidik yang lebih efektif daripada sekadar menuntut kesetaraan dalam ranah regulasi. Pendidikan yang baik harus tetap menjadi tanggung jawab utama orang tua, terutama ibu, yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter dan mental anak-anak mereka.
Perubahan evolusioner dalam gerakan feminisme harus dimulai dengan pendekatan filsafat yang membahas kedudukan perempuan sebagai hamba dan makhluk sosial. Filsafat perempuan dalam Islam, misalnya, menekankan bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, namun dengan tanggung jawab yang berbeda. Pendekatan ini dapat menjadi dasar bagi perempuan untuk memahami peran dan kontribusi mereka secara lebih utuh dan komprehensif.
Filsafaat Perempuan dalam islam membedah bagaimana kedudukan Perempuan sebagai hamba dan makhluk sosial, hak berpendidikan dan bermasyarakat secara utuh dan menyeluruh.Â
Dari filsafat Perempuan kita bisa mengevaluasi secara kritis bahwa pandangan kedudukan Perempuan yang subordinatif sangatlah tidak benar. Apalagi ditinjau dari sudut pandang islam yang sangat menekankan hak yang setara tetapi berbeda soal tanggung jawab.Â