Mohon tunggu...
Yuyun Romaria
Yuyun Romaria Mohon Tunggu... profesional -

Senang membaca, sedang mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Implementasi UU Desa? Belajar di Malinau Saja!

14 November 2014   22:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:48 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_354136" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber gambar: www.gramediaonline.com"][/caption]

Judul Buku          : Revolusi Dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya kepada Rakyat

ISBN                      : 978-602-02-5099-1

Pengarang          : Dr. Yansen TP., M.Si

Editor                    : Doddy Mawardi

Penerbit              : PT Elex Media Komputindo

Cetakan               : I, Tahun 2014

Harga                    : Rp. 54,800 (Disc. 15% menjadi Rp. 46,580)

Tebal Buku          : xxviii + 180 Halaman

Membaca judul buku ini, kita seolah "dipaksa" tertarik untuk mencoba mendalami bab per bab dan mencari tahu apa makna penggunaan kata "revolusi" yang dituliskan sebagai judul. Apakah yang dimaksud adalah bentuk perlawanan rakyat karena dimulai dari desa ataukah ini hanya sekedar konsep yang menggunakan kata "revolusi" agar memancing rasa ingin tahu khalayak ramai yang kemudian membaca dan akhirnya menerapkan konsep itu. Rangkaian bab per bab dalam buku ini ternyata sanggup menjelaskan penggunaan kata "revolusi" tersebut.

Buku ini terdiri dari tujuh bab dengan rentetan halaman bab demi bab yang cukup berimbang antara satu bab dengan bab yang lainnya. Tentu saja, alangkah lebih baik sebelum membaca bab per bab, kita kunyah dulu beberapa bagian yang dikemas dalam bentuk testimoni, kata pengantar, serta prolog.  Untuk testimoni walau terlalu panjang - khususnya pada bagian testimoni sang motivator - bagian ini cukup memberikan gambaran seperti apa sebelum dan sesudah penerapan GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) di Kabupaten Malinau. Buat pembaca yang masih awam dimana letak Kabupaten Malinau (karena saya juga sebelumnya penasaran dan akhirnya berhasil masuk ke web resmi Kabupaten ini) saya lampirkan peta Kabupaten tersebut sebagai berikut:

1415955354664662598
1415955354664662598
Sumber gambar: www.malinau.go.id

Kata bijak dari Yunani "Nil Novi Subsole" yang berarti di bawah matahari sebenarnya tidak ada yang baru menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam buku ini. Tentu saja Prof. Sadu Wasistiono tidak asal comot kata bijak ini namun mengarahkannya pada sebuah konsep yang sebenarnya sejak lama sudah ada, namun kini lebih dikembangkan oleh Pak Yansen. Konsep itu adalah konsep pengembangan masyarakat atau community development yang mengejawantah dalami berbagai model di berbagai negara. Ada "Saemaul Undong" di Korea Selatan dan "Ujamaa Villages" di Tanzania. Sayang tak ada sedikit ulasan tentang apa yang terjadi di Tanzania sebagaimana ulasan tentang "Saemaul Undong" yang disampaikan dengan ringkas dan jelas serta mendukung gagasan GERDEMA. Walau demikian, mendapatkan dua istilah baru ini kembali "memaksa" saya untuk menuliskannya dalam aplikasi catatan di telepon genggam untuk di kemudian hari mencoba mencari tahu lebih dalam.

Bagian prolog buku ini sebaiknya tidak usah dibaca karena isinya yang mencoba meringkas hampir keseluruhan isi buku. Tapi, ada hal yang menarik ketika menyinggung soal pendapat Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa seorang ilmuwan harus memihak kepentingan orang banyak dan tidak hanya diam dan mencoba bersikap netral. Hal yang mungkin banyak terjadi di negeri ini dimana kaum ilmuwan lebih banyak berupaya mencari "posisi aman" dengan memilih untuk tidak terlibat dalam upaya-upaya positif untuk memajukan masyarakat miskin dan kaum yang termarjinalkan. Jadi, sebaiknya bagian prolog ini dilahap juga sebagai penolong bagi pembaca untuk memahami setiap bab dalam buku ini karena kalau tidak dibaca sayang juga upaya Prof. Soesilo Zauhar yang telah menuliskannya di pagi hari yang menggigil di bawah kaki bukit Panderman.

Menggugat konsep pembangunan menjadi bab pembuka dengan membahas pola pembangunan yang terjadi saat ini, bahkan yang telah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun lampau. Konsep pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ternyata belum sepenuhnya dijalankan dan hanya menjadi slogan semata. Kebijakan yang turun dari atas ternyata tidak cocok dilakukan di Indonesia yang notabene adalah masyarakat multikultural. Bagaimana kita bisa mengharapkan hasil yang berbeda jika melakukan hal yang sama terus-menerus? Itu perkataan Albert Einstein yang dikutip dalam bab satu buku ini sehingga lahirlah gagasan kalau kita ingin mendapatkan hasil yang berbeda maka harus ada perubahan yang sistematis dan menyeluruh. Perubahan tersebut terletak pada nilai, cara berpikir, budaya, dan kesungguhan untuk mengaplikasikannya secara nyata dalam semua perilaku, baik perilaku dalam birokrasi maupun perilaku personal masyarakatnya. Dengan kesungguhan tersebutlah, maka GERDEMA bisa dimulai dan dijaga keberlangsungannya dengan memberikan kepercayaan penuh pada masyarakat desa untuk menerapkannya.

Sebuah program akan memperoleh hasil yang maksimal jika dipandu oleh visi. "Terwujudnya Kabupaten Malinau yang Aman, Nyaman, dan Damai melalui Gerakan Desa Membangun" adalah visi bersama yang disepakati menjadi pemandu pembangunan Kabupaten Malinau ke depan. Visi tersebut kemudian dijabarkan menjadi 10 Misi Pembangunan yang berisi cara-cara yang akan dilakukan untuk mencapainya. Kesepuluh misi ini disederhanakan menjadi 4 pilar pembangunan yaitu: pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, ekonomi daerah dengan cara ekonomi kerakyatan, dan pembangunan sektor pemerintahan. Tentunya semua misi dan pilar tersebut tak mungkin dilaksanakan jika tidak ada komitmen. Untuk itulah dibuat suatu komitmen yaitu "Mewujudkan Malinau sebagai kabupaten pariwisata, membangun pertanian melalui revitalisasi, dan mewujudkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai rumah sakit rujukan". Dengan komimen tersebut niscaya Malianau akan menjadi heart of Borneo yang sesungguhnya.

Revolusi bisa bermakna perubahan yang cukup mendasar pada suatu bidang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana dengan GERDEMA? Layakkah penggunaan kata revolusi di sini? Kalau pada awal bab telah disampaikan bahwa pola pendekatan yang diambil pemerintah selama ini selalu sama dan berulang-ulang maka penggunaan kata revolusi yang dibahas dalam bab ini layak, karena ada perubahan yang mendasar yang telah dilakukan. Hal ini dimulai dari memampukan aparat desa untuk mengelola sendiri keuangannya hingga benar-benar menaruh kepercayaan penuh pada mereka dalam implementasi program tersebut. GERDEMA sendiri mempunyai esensi yaitu: gerakan itu berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan menghasilkan manfaat untuk masyarakat desa. Dengan demikian perubahan itu akan tampak dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat itu sendiri. Manfaat ini dapat terlihat dari kondisi sebelum dan sesudah GERDEMA dilakukan. Jumlah masyarakat miskin berkurang dan tata kelola pemerintahan desa yang semakin lama semakin baik. Dalam bab ini ada satu hal yang menarik yaitu tentang bercermin pada filosofi monyet. Niat yang luhur terkadang tidak membuahkan hasil yang baik dan bahkan cenderung merusak jika tidak dimengerti esensinya.

Keberhasilan sebuah program tentu tak terlepas dari peran para pemimpin. Demikian pula dalam menyukseskan GERDEMA, ada beberapa nilai utama yang harus dimiliki antara lain: nilai kecerdasan spiritual, nilai kecerdasan emosional, nilai kecerdasan intelektual, nilai kecerdasan ekonomi, dan nilai kecerdasan nasionalis kebangsaan. Dengan adanya nilai-nilai utama ini dalam diri aparatur maka semangat kepemimpinan GERDEMA akan semakin kuat dan mengakar.

Bab kelima dari buku ini menjelaskan tentang profil desa dimana sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata tinggal di desa namun pembangunan di desa sendiri masih cenderung terabaikan. Bab ini juga membahas tentang hubungan antar lembaga seperti apa yang harus terjadi dalam GERDEMA yang ternyata menuntut peran maksimal seorang kepala desa sebagai penghubung antar semua lembaga yang ada di desa tersebut.

Pelaksanaan GERDEMA memerlukan proses yang mudah untuk dipahami. Semua hal menyangkut perencanaan, pembiayaan, pengawasan, evaluasi, pertanggung-jawaban, pembuatan indikator kinerja serta penghitungan capaian keberhasilannya harus mudah dipahami terutama oleh aparat desa. Dengan dimengertinya hal-hal ini dengan baik serta adanya hubungan yang baik pula antar aparat desa maka GERDEMA akan berjalan dengan baik pula. Bab keenam dari buku ini membahas secara detail apa-apa yang harus ada dalam hubungan antar aparat desa, berbagai bidang atau program yang dapat dikerjakan di desa, deskripsi 13 nilai ideal yang menentukan keberhasilan GERDEMA di suatu desa, mekanisme perencanaan GERDEMA, pelaksanaan keuangan GERDEMA, dan tentunya pengawasan terhadap keuangan GERDEMA. Kesemua detail tersebut sangatlah mudah dipahami dan tentunya dengan pola pendampingan yang baik GERDEMA akan mudah diterapkan di masing-masing desa.

Setelah membaca bab demi bab dalam buku ini, tak terasa sampailah saya pada bab terakhir buku ini yang menjabarkan tentang rekam jejak sebelum dan sesudah GERDEMA dilakukan. Berbagai hasil survey dari mulai tingkat pemahaman akan GERDEMA hingga persepsi akan dampak GERDEMA pada kemajuan desa dipaparkan dengan baik. Jujur, membaca buku ini nyaris seperti membaca sebuah buku yang ringan. Artinya, tidak ada materi yang terlalu berat untuk dipahami. Apakah ini bentuk asli dari tesis yang diajukan Pak Yansen atau sudah mengalami modifikasi sehingga nyaman dibaca, saya tidak tahu dan itu tidak terlalu penting juga. Yang penting adalah konsep GERDEMA mempunyai latar belakang yang jelas, implementasi yang berhasil, dan bisa direplikasikan di tempat lain. Hal ini persis dengan apa yang diimpikan oleh adanya Undang-Undang Desa dalam UU No. 6 tahun 2014.

Mengakhiri ulasan ini, tak salah rasanya kalau saya mengutip kembali tulisan Prof. Sadu di dalam kata pengantar bahwa melalui buku ini, Dr. Yansen TP., M.Si, menawarkan gagasan untuk secara sungguh-sungguh membangun desa dengan memberi kepercayaan penuh pada masyarakat desa. Kenapa demikian? Karena masyarakat desa adalah manusia merdeka yang memilki kehendak dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri. Wah, kalau sudah demikian, rasanya tak salah kalau saya menyatakan: Jika ingin mengimplementasikan Undang-Undang Desa sebaiknya belajarlah dahulu ke Kabupaten Malinau.

Semoga GERDEMA semakin menggema, tak hanya di Kaltara tapi juga di seluruh Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun