Awal Mula
Peristiwa Gerakan September 30 tahun 1965 menyisakan memori pahit dalam sejarah berdirinya negara ini.Â
Peristiwa yang disingkat menjadi G30S/PKI atau Gerakan September 30 Partai Komunis Indonesia ini terjadi diiringi dengan rangkaian pemberontakan lain yang masih memiliki latar belakang Partai Komunis Indonesia yang terjadi di beberapa daerah.Â
Kala itu Partai Komunis Indonesia atau PKI merupakan salah satu partai dengan basis pergerakan terbesar di Indonesia pasca pemilu 1955.Â
PKI berdampingan dengan partai besar lainnya di era orde lama, seperti PNI, Masyumi, NU. PKI merupakan partai dengan aliran ideologi komunis yang memiliki sejarah panjang dalam kelahiran ideologi komunis di Indonesia.Â
Hadirnya PKI menambah warna ideologi dalam kancah perpolitikan di Indonesia saat itu. Hingga puncaknya rencana pemberontakan yang dilancarkan pada malam 30 September dan berakhir 1 Oktober 1965 menjadi akhir dari berdirinya PKI di Indonesia.
Pasca G30S/PKI, terjadi peristiwa "pembersihan" yang dipercaya dinisiasikan oleh militer pada saat itu. Hal ini memicu pembantaian besar-besaran yang terjadi di Sumatera, Jawa, dan Bali.Â
Pembantaian manusia yang dilakukan untuk membersihkan simpatisan komunis PKI yang dilancarkan kala itu menjadi dasar terjadinya kejahatan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).Â
Gugurnya perwira militer Indonesia di Lubang Buaya, menimbulkan kebencian yang menyebar secara masif ke setiap individu yang ada di Indonesia terhadap PKI. Sehingga pembersihan komunis yang disebut dengan peristiwa pembantaian 1965-1966 dapat terjadi.Â
Pada Juli 2012, Komnas HAM mengeluarkan sebuah laporan setebal 800 halaman yang menyatakan peristiwa 1965 merupakan kasus pelanggaran HAM berat (Gross Human Rights Violation).
Pembersihan yang dilakukan secara masif dan menyeluruh terhadap simpatisan komunis, diawali dari daerah Jakarta, lalu menyebar ke provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sampai Bali dan juga pulau Sumatera.Â
Peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu berbulan-bulan saja, jika dibandingkan pembantaian dan percobaan penghilangan ras, suku, agama atau yang disebut dengan kejahatan genosida yang dilakukan Nazi terhadap kaum Yahudi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, sedangkan peristiwa pembantaian pembersihan komunis berlangsung cepat.Â
Selain pembunuhan juga terdapat pengasingan dan penahanan tanpa proses pengadilan bagi simpatisan PKI. Tahanan politik diasingkan ke pulau-pulau luar di Indonesia, Pulau Buru maupun Kamp Pelantungan.
Pembunuhan dan penahanan yang dilakukan merupakan upaya pembersihan negara dari komunis, simpatisan-simpatisan PKI yang saat itu bukan hanya tokoh atau figur politik ikut ditahan dan dibunuh.Â
Banyaknya organisasi underbow PKI menjadikan peta simpatisan tersebar dari kalangan seniman dengan Lekra nya juga perempuan dengan Gerwani juga dengan petani dan rakyat biasa.Â
PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia dengan jumlah pendukung sekitar 300 ribu orang. Pembunuhan dilakukan dengan cara yang masif dengan sistem penegakan hukum personal tanpa adanya penegak hukum yang berwenang.Â
Korban-korban dibunuh dengan golok, pedang dan senjata api, mayat-mayat dibuang ke sungai-sungai dan terdapat pula yang dikubur dengan sistem kuburan massal.
"G30S, pembunuhan massal 1965-1966, dan penahanan politik yang dialami oleh anak bangsa, baik yang di Pulau Buru maupun di Kamp Pelantungan, dan penjara lainnya merupakan peristiwa yang sengaja dimanipulasi dan dihilangkan dari masyarakat luas. Faktanya, semasa pemerintahan Soeharto hanya peristiwa G30S versi pemerintah-yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sedangkan pembunuhan massal dan kasus tahanan politik lainnya, terutama Pulau Buru disisihkan dari memori kolektif bangsa. Buku pelajaran di sekolah tidak pernah menyinggung kedua hal itu, dan menyinggung tentang peristiwa pasca 1 Oktober 1965 merupakan hal yang tabu pada masa pemerintahan Soeharto" (John Roosa, 2008).
Di balik Pembersihan
Pasca reformasi 1998, jatuhnya rezim Orde Baru menghilangkan kekuasaan dari Soeharto yang sudah berkuasa pasca peristiwa G30S/PKI dan juga pembantaian yang mengikuti setelahnya.Â
Reformasi menghasilkan sebuah titik terang akan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi kala itu. Munculnya Komnas HAM dan lahirnya UU no 26 tahun 2000 yang menjadikan pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diungkap kembali.Â
Komnas HAM menjadi garda terdepan dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu, terdapat kasus Pembersihan Komunis yang didalamnya terdapat kasus pembunuhan, penghilangan, penahanan yang bertentangan dengan asas HAM itu sendiri.
Tak ada satu pun kebenaran yang diungkap oleh pemerintah hingga saat ini mengenai besar korban yang terbunuh ataupun korban penghilangan secara paksa.Â
Ada beberapa sumber yang menyebut korban terbunuh dan hilang berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta jiwa. Melihat fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa para korban Tragedi 1965 merupakan korban dari ambisi politik kelompok tertentu di Indonesia pada waktu itu.
Banyak versi mengenai siapa dalang di balik kasus pembantaian yang terjadi dengan waktu yang singkat ini. Bahkan beberapa peneliti Indonesianis yang mengungkap kasus pembantaian ini, menyatakan bahwa terdapat intervensi Amerika Serikat melalui CIA (Central Intelligence Agency).
Untuk merencanakan pembantaian massal di Indonesia guna menghilangkan komunis di Indonesia. Dan dalam manuver politik ini, Amerika Serikat berkerja sama dengan  militer Indonesia saat itu.
Joseph Lazarsky, wakil kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto. "Kami memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus ditangkap," kata Lazarsky.Â
"Angkatan bersenjata memiliki 'daftar tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan. Kami tahu apa yang mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan, jika kamu membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan." (Kutipan San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990 dan Kutipan The Washington Post, 21 Mei 1990).
Di balik konspirasi dan intervensi asing dalam kasus ini, peristiwa pembantaian massal yang melanggar HAM merupakan hasil dari ambisi politik kelompok tertentu, dan tentunya kelompok penguasa, dengan latar belakang perang dingin, bukan tidak mungkin Amerika Serikat memang ikut menjadi dalang kasus pembantaian massal ini, dan penguasa saat itu juga ikut didalamnya.Â
Sampai saat ini pemerintah belum memberikan penjelasan dan pengungkapan fakta, hanya dibentuk beberapa lembaga pengungkapan namun sampai hari ini terlihat hanya berjalan di tempat. Bahkan upaya Presiden Joko Widodo pada periode pertamanya dianggap hanya sebagai janji kosong politik belaka.
Pemerintahan Presiden Jokowi, memasukan pokok-pokok mengenai penyelesaian pelanggaran HAM kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.Â
Pemerintah menggelar Simposium Nasional bertajuk "Simposium Nasional:Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" pada bulan April 2016, dihadiri oleh penyintas, eks-tapol '65, akademisi, perwakilan daerah, serta pegiat HAM.Â
Namun, setelah simposium berlangsung pemerintah hanya melakukan jalan di tempat dalam pengusutan kasus pelanggaran HAM berat ini. Sampai akhirnya tidak ada pengungkapan lebih lanjut terhadap kasus ini, dan semakin banyak tokoh kunci, saksi hidup yang lanjut usia dan tidak dapat mengungkapkan pengakuannya terhadap peristiwa pembantaian massal 1965-1966 dan akhirnya tidak ada kejelasan mengenai siapa dalang di balik pembantaian massal 65-66.
Dampak Pembantaian 65-66
Sudah hampir 54 tahun, kasus pembantaian massal tersebut berlalu dan sudah lama pula tidak ada kebenaran yang diungkapkan mengenai kasus ini. Pembersihan komunis yang dilakukan saat itu bukan hanya membunuh manusia dengan golok, celurit, atau senjata api, namun juga dengan cara-cara penahanan di pulau terluar dan diasingkan dengan kurangnya bahan makanan untuk bertahan hidup.Â
Beberapa dari tahanan mati karena kekurangan bahan makanan, dan karena penyakit yang diderita. Sampai akhirnya dibebaskan mereka tetap menjadi tahanan rumah dan bahkan 'tahanan negara' dimana mereka eks-tapol 65-66 tidak dapat leluasa bergerak sebab dicap sebagai komunis.
Bahkan setelahnya dampak birokrasi juga dilakukan oleh pemerintah dengan mendiskriminasi orang-orang yang diduga dan dituduh pernah bergabung dengan PKI yang telah menjadi organisasi dan partai terlarang, juga dengan ideologi komunisnya yang diharamkan ada di Indonesia sampai hari ini.Â
Diskriminasi yang dilakukan dengan melarang keturunan darah PKI untuk berkarir di beberapa profesi, salah satunya larangan menjadi pegawai negeri sipil. Hal ini juga masuk kedalam pelanggaran HAM sebab, merebut kebebasan sesorang dalam memilih kehidupannya.
Selain itu, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah tidak pernah membahas mengenai peristiwa Pembersihan Komunis ini.Â
Sejarah kolektif yang diberikan kepada siswa sekolah adalah upaya pemerintah untuk membentuk 'sejarah baik' dengan memilih sejarah yang dibenarkan oleh pemerintah yaitu pemberontakan PKI 30 September 1965.
Hal ini diperkuat dengan propaganda pemerintah saat itu dengan munculnya film dan berita terkait kepahlawanan Soeharto dalam menumpas PKI.
Sampai akhirnya pembatasan eks-tapol dan terduga simpatisan PKI dihilangkan pasca reformasi, diskriminasi akhirnya hilang, korban ambisi politik kelompok akhirnya dapat bebas memilih kemana jalan hidupnya.
Namun tidak dipungkiri stigma terhadap eks terduga simpatisan PKI masih melekat bahkan sampai saat ini melekat di beberapa keluarga yang di diskriminasi hingga hari ini.
Tindakan Seharusnya
Pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan keinginan untuk mengungkap kasus pembersihan komunis 1965-1966.Â
Kapan pemerintah akan menunjukkan keinginan baik untuk mengungkap kasus ini, agar penyintas yang ada sampai saat ini tidak berada dalam keadaan tidak jelas sebab, diskriminasi masih terjadi, anggota keluarga masih hilang tidak jelas entah kemana.Â
Setelah reformasi, lima presiden tidak mampu mengungkap kasus ini secara tegas dan jelas, apa yang menyebabkan ini terjadi? Lingkar penguasa yang masih erat kaitannya dengan peristiwa itu? Atau memang kasus ini hanya dianggap angin lalu?
Jika membuka lembaran sejarah mengenai kasus pembantaian massal besar di dunia, kita bisa melihat kasus genosida yang dilakukan Nazi pada perang dunia kedua. Nazi menghilangkan jutaan kaum Yahudi di dunia, dengan korban terbanyak dari negara Polandia.Â
Dengan menggunakan metode kamp-kamp konsentrasi, dengan gas beracun dan pembunuhan langsung, Nazi dengan pasukan Schutzstaffel/Waffen-SS (SS) yang salah satu tugasnya adalah melakukan pembasmian kaum Yahudi di bawah komando Heinrich Himmler sebagai Reichsfuhrer-SS atau pemimpin SS dalam pemerintahan Nazi Jerman kala itu melakukan pembantaian massal terhadap kaum Yahudi dan ini merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
Setelah perang berakhir, hadir sebuah majelis pengadilan bagi pelaku kejahatan perang juga kejahatan HAM saat perang. Pengadilan Nuremberg yang merupakan pengadilan tempat diadilinya petinggi Nazi dan petinggi militer Nazi Jerman. Dengan empat dakwaan, dakwaan tersebut adalah atas kejahatan sebagai berikut:
* Turut serta dalam suatu perencanaan atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace)
* Merencanakan, memprakarsai, dan mengadakan peperangan agresi militer dan ataupun kejahatan lainnya terhadap perdamaian
* Kejahatan perang (War crime)
* Kejahatan kemanusiaan
Dari empat dakwaan tersebut terdapat satu dakwaan mengenai kejahatan kemanusiaan dalam hal ini HAM, dan tokoh-tokoh SS dan perencana Holocaust atau pembantaian massal terhadap kaum Yahudi yang dilakukan mendapat hukuman yang sesuai dan tepat tanpa memakan waktu yang lama pasca berakhirnya perang dunia kedua saat itu.
Inilah yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dengan secepatnya mengadakan pengumpulan bukti-bukti, fakta dan penyintas yang masih ada sampai hari ini.Â
Siapa yang dapat mengadakan pengadilan semacam Pengadilan Nuremberg di Indonesia? Sudah pasti yang dapat mengadakan peradilan ini adalah lembaga independen yang tidak ada ikatan dengan pemerintah, namun pemerintah berfungsi sebagai fasilitator bukan eksekutor. Mungkin Komnas HAM merupakan lembaga yang tepat.
Selain itu pengadilan juga harus terbuka dan tidak tertutup, bila perlu adakan siaran langsung televisi dalam peradilan ini. Hari ini memang sudah semakin banyak pegiat HAM di Indonesia, dan rasanya kasus ini tidak kunjung di sikapi dengan baik oleh pemerintah, bahkan hanya menjadi janji politik untuk kampanye.Â
Penegak hukum perlu lebih independen dan tegas, agar kasus HAM semacam ini dapat terselesaikan, bila perlu adakan Pengadilan Lubang Buaya bagi tersangka kasus ini.Â
Namun, siapa dalang sebenarnya? Apakah masih ada? Masih ada di negara ini? Hal ini yang perlu diperhatikan. Rasanya Pemerintah terlalu lamban mengambil langkah dalam upaya penegakan hukum khususnya untuk kasus pelanggaran HAM seperti ini.Â
Semoga pemerintah sadar, agar kasus pelanggaran HAM dapat terungkap dan penyintas dapat tenang bukan hanya kasus pembersihan komunis 65-66 tapi juga kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya.
Daftar Pustaka
Buku:
Cribb, Robert, "How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)" Violence in Indonesia Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhfer. Hamburg: Abera, 2001. 82-98.
Crouch, Harold,(1978) The army and politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press
George H. Stein, Waffen-SS: Hitler Elite Guard's at War
Pour, Julius. (2010) Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang/catatan Julius Pour, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Weiner, Tim (2007). Legacy of Ashes - The History of the CIA. Penguin Books.
Dalam Jaringan (online):
u-s-history.com
tribunal1965.org
tirto.id
tempo.co
(Semua diakses pada 5 Mei 2020, pukul 20.00 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H